Oleh: Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Zalim, satu kata yang menggambarkan kegagalan proyek Food Estate untuk ketahanan pangan nasional berdampak besar pada lingkungan juga masyarakat sekitar. Mengapa?
Melansir media tempo, masyarakat setempat mengalami banjir yang tidak biasa, yakni banjir yang membawa lumpur bahkan lebih intens dibanding sebelum adanya deforestasi. Bagai jatuh tertimpa tangga, sudahlah tempat tinggal yang terdampak, mata pencaharian masyarakat pun hilang. Pepohonan dan tanah yang biasa diolah diambil hasilnya, kini tidak bisa lagi diandalkan.
Masyarakat seolah pasrah, sebab hanya bisa bersuara tanpa kejelasan kapan problematika yang dihadapi akibat deforestasi ini bisa berakhir.
Sebelumnya di tahun 2020, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyampaikan peringatan ancaman krisis pangan dunia akibat virus Corona. Tidak berselang lama. Di Jakarta, pertengahan 2020 rezim mengambil momentum krisis pangan ini dengan melakukan reformasi dalam kebijakan sektor pangan. Adapun proyek food estate ini merupakan kolaborasi sejumlah kementerian, mulai dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pertanian, hingga Kementerian Pertahanan. Proyek ini digadang-gadang bisa menjadi solusi atas kekhawatiran akan adanya krisis pangan.
Dilansir media Tempo, di antaranya provinsi Kalimantan dijadikan pulau kemandirian logistik. Tepat di tanggal 2 nov 2020, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.24 tahun 2020 tentang kawasan hutan untuk pembangunan food estate berlaku, puluhan alat berat menderu di tengah hutan di gunung mas, wilayah Kalimantan.
Lalu, 1 april 2021, rezim kembali mengeluarkan aturan perencanaan hutan, perubahan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 tahun 2021.
Begitu peraturan sah dibuat, kemudahan pelaksanaan pembukaan kawasan food estate berjalan. Bahkan penyederhanaan syarat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) salah satu instrumen untuk memastikan & memberikan rekomendasi pertimbangan lingkungan pada tingkatan pengambilan keputusan yang bersifat strategis, dikerjakan secara cepat yang cukup berisi analisa pakar terhadap proyek terkait tanpa perlu dilengkapi data-data lapangan.
Menteri, baru melakukan konsultasi publik KLHS program perkebunan sigkong pada Feb 2021. Setelah dibuka lahan, proses penanaman dipercepat. Seharusnya menurut analisa para petani setempat tanah itu diolah setidaknya dalam kurun beberapa bulan sampai satu tahun. Mempersiapkan tanah menjadi lahan yang siap ditanami. Tapi ketika proses itu dipercepat seperti yang terjadi sekarang. Pohon singkong tidak bisa tumbuh sesuai ekspetasi.
Dilansir dari Kompas, lahan pengembangan lumbung pangan Nasional mencakup wilayah provinsi : Sumatera utara : 16 rb Ha, Sumatera selatan : 32 rb Ha, Kalimantan tengah 311 rb Ha, Papua : 3,2 juta Ha. Deforestasi Neto dan Bruto untuk Papua paling besar dibuka lahannya dari hutan menjadi proyek non hutan seluas 9x wilayah Jakarta.
Masih dikutip dari media Tempo, Agrinas akronim dari PT. Argo Industri Nasional dengan Kementerian Pertahanan bekerjasama dan mensosialisasikan proyek food estate pada pemda setempat dan mengaku sebagai mitra. Anehnya di kesempatan lain Agrinas membantah jika perusahaannya disebut sebagai pelaksana proyek food estate Kementerian Pertananan.
Pt. Banua Gemilang (di Tarakan) yang diberikan peran bagian menanam singkong. Setelah ditelusuri tim media Tempo, kantor perusahaan itu merupakan toko telepon seluler.
Tentu ini menjadi pertanyaan besar, kenapa proyek yang begitu besar terkesan tidak transparan dan terburu-buru? Proyek pun berpotensi memicu bencana ekologis sebab menabrak aturan tata kelola lingkungan akibat perencanaan yang seolah belum matang.
Cacatnya Politik Demokrasi-Kapitalis-Sekuler
Sistem politik demokrasi mempunyai celah ditunggangi kepentingan elit penguasa dan pengusaha, juga berpotensi celah adanya rezim oligarki. Sebab kedaulatan dalam demokrasi berada di tangan rakyat yang notabene diserahkan ke para dewan wakil rakyat.
Kemudian dewan wakil rakyat berwenang membuat UU, lalu Presiden sebagai pelaksana UU, serta Makhamah Agung dipilih sebagai penegak hukum tertinggi. Di sinilah letak cacatnya, standar baik buruk diserahkan pada para penguasa yang notabene sama-sama manusia. Baik menurutnya belum tentu baik untuk rakyatnya. Bahkan akan sangat fatal jika semua lembaga Yudikatif (Makhamah Agung), Eksekutif (Presiden) dan Legislatif (DPR) sampai disatukan dan dikuasai satu rezim sebab akan melahirkan rezim oligarki.
Adanya potensi rezim oligarki seolah begitu nampak nyata. Dari penelusuran berbagai fakta di atas, pembuatan UU dibuat seolah agar proyek bisa cepat berjalan dan tidak masuk kategori ilegal. Turut sependapat menurut para pemerhati lingkungan proyek strategis ketahanan pangan ini secara kasat mata dinilai serampangan.
Kini, kegagalan proyek food estate meninggalkan dampak besar pada lingkungan juga masyarakat. Hutan hilang, proyek seolah mangkrak. Lahan yang telah dibuka tidak menghasilkan. Begitupun masyarakat tereliminasi kehilangan sumber penghasilan dari hasil hutan.
Padahal sebelumnya anggaran yang digelontorkan untuk proyek food estate ini bernilai fantastis. Semakin aneh, saat rezim kembali memasukkan food estate dalam anggaran ketahanan pangan 2024 yang ditetapkan sebesar Rp108,8 Triliun meski program ini dinilai gagal ungkap Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin di laman dpr(dot)go(dot)id.
Lalu, di dua tahun sebelumnya, penelusuran tim media Tempo mendapati beberapa potong papan kayu hasil pohon yang ditarik sedikit ke dalam hutan. Seolah ada pemotongan kayu pohon secara tersembunyi. Pertanyaannya, kemana perginya pohon-pohon yang telah ditebang? Masyarakat pun saat ditanya minim informasi sebab proyek dijaga ketat. Apakah ini ada indikasi illegal logging yang dilegalkan?
Nestapa masyarakat semakin berkepanjangan. Masihkah bisa rezim serta sistem kepemimpinannya yakni demokrasi-kapitalis diharapkan bisa memberikan solusi? Harus berapa banyak lagi jatuh korban akibat kebijakan proyek strategis nasional yang tidak sesuai peruntukkannya? Di Kupang, NTT, November 2023 seorang lelaki merobek perutnya sendiri akibat pasrah belum bisa memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sekalipun telah berusaha bekerja. Harus berapa banyak lagi rakyat mati hanya karena kelaparan? Ya Allah …
Dimana Empati?
Jelang gegap gempita pesta demokrasi, menjadi rahasia umum adanya biaya pemilu yang mahal pastilah membutuhkan dana yang besar. Apakah berbagai anggaran benilai fantastis yang digelontorkan untuk proyek ketahanan pangan ada hubungannya dengan pencalonan pemilu?
Kemungkinan itu bisa saja terjadi sebab dalam sistem demokrasi kedaulatan dan kekuasaan diwakilkan para penguasa. Yang mana punya celah ditunggangi kepentingan. Berbagai bukti percepatan dan pembuatan UU yang seringkali terjadi, membuat masyarakat kini resah. Sebetulnya proyek food estate ini hakikatnya untuk kepentingan siapa? Rakyat yang mana? Dimana konsep keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang selalu dielu-elukan dalam butir nilai Pancasila?
Mengutip buku karya Michael J. Sandel, seorang pemikir barat yang memiliki kegelisahan moral dan intelektual terhadap konsep keadilan. Ia menyampaikan dalam bukunya, “keadilan itu cara yang benar untuk memberikan nilai terhadap sesuatu”. Nilai di sana adalah baik, benar atau salah, buruk dalam bersikap melihat sebuah realita/fakta. Termasuk memberikan keadilan dan kesejahteraan serta berempati yang selayaknya diterapkan oleh sebuah negara.
Hanya saja, J. Sandel masih belum menemukan jawaban atas konsep adil yang baik dan benar di negara tempat tinggalnya yakni barat. Padahal baratlah negara pengemban sistem demokrasi-kapitalis-sekuler tulen.
Maka sudah sangat jelas deforestasi hari ini berpotensi memperburuk kondisi tidak hanya pada masyarakat sekitar dan negeri ini, juga termasuk dunia sebab tidak diimbangi dengan penjagaan ekosistem alam, serta mubazirnya penggelontoran dana yang fantastis dari anggaran negara.
Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin menyatakan proyek food estate sejak awal sudah dinilai gagal. Karena secara teknis dilaksanakan di lokasi-lokasi yang tidak mendukung iklim di Indonesia. Sebagaimana ia contohkan, tanaman pangan tidak cocok di tanah gambut, akan tetapi pelaksanaannya justru di tanah gambut.
Kini nasi sudah menjadi bubur, proyek besar faktanya tidak menghasilkan kecuali nestapa bagi rakyatnya juga lingkungan hutan berkepanjangan. Sebuah fakta yang harus diakui, demokrasi dengan sistem ekonomi kapitalisme-sekulernya terbukti tidak lagi mampu menyelesaikan problematika yang terjadi. Ditambah rezim yang seolah tidak transparan, telah gagal memegang amanahnya. Pangkal persoalan deforestasi tidak lain akibat keserakahan sistem hari ini.
Solusi Sistem Kepemimpinan Islam Menjaga Alam juga Manusia
Sebenarnya memanfaatkan hutan itu tidak akan menjadi persoalan jika prosesnya tetap menjaga lingkungan. Dengan menjaga ekosistem alam saat menebang pohon untuk pembukaan lahan akan dikaji lebih dalam, dibagi berapa persen yang boleh diolah menjadi non hutan, dan berapa persen yang harus tetap dalam kondisi hutan. Hanya saja dalam iklim demokrasi ternyata solusi yang digagas hanya sebuah ilusi.
Jauh sebelumnya di 1400an tahun silam sistem kepemimpinan Islam yang dibawa dan dicontohkan manusia terbaik, yakni Nabi Muhammad Saw. telah memiliki cara pengelolaan sumber daya alam juga penanganan saat terjadi krisis pangan.
Nabi Saw. bersabda;
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Termasuk pemanfaatan hutan, sistem kepemimpinan Islam membolehkan tapi dengan syarat tidak boleh dieksploitasi berlebihan apalagi sampai diprivatisasi ataupun di swastanisasi oleh sekelompok penguasa ataupun pengusaha.
Rasulullah Saw. pernah mengambil kembali tambak garam yang awalnya diberikan pada satu orang, untuk dikembalikan pada kepemilikan umum. Peran Rasulullah Saw. di sini tidak sebatas sebagai Nabi tapi juga sebagai kepala negara. Secara langsung mencontohkan pada umatnya bahwa Islam mampu menjadi problemsolving rakyatnya dengan peran negara yang menerapkan.
Islam mampu memberikan solusi dalam pemanfaatan SDA termasuk hutan. Tidak hanya memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat tapi juga keberlangsungan ekosistem alam.
Kemudian di kepemimpinan masa kekhilafahan Umar bin Khattab pernah terjadi musibah paceklik. Kekeringan melanda Hijaz, membuat banyak rakyatnya kelaparan. Sebagai seorang pemimpin Umar bin Khattab ra. tahu betul tanggung jawabnya sangat besar, beliau bahkan sangat khawatir bilamana Umar telah makan namun masih ada rakyatnya kelaparan. Beliau segera mengambil kebijakan dengan menarik dari pos dana Baitul Mal untuk diberikan pada rakyatnya. Bahkan beliau sendiri yang ikut memikul dan mengatarkannya.
Inilah konsep adil yang nampak ketika Islam betul-betul diikuti dan diterapkan dalam lingkup negara. Memang sejarah tidak boleh dijadikan rujukan. Tapi perlu diketahui sejarah dalam peradaban Islam mengkondisikan negara dengan suasana keimanan, setiap kebijakan melalui proses istinbat/menyandarkan hukum dengan tetap berpegang pada Al Quran dan Hadist.
Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya”.(Hadits riwayat Al-Bukhari dalam shahihnya (893) dan Muslim No.4828.
Sekiranya para penduduk negeri ini beriman, selayaknya sedikitpun tidak ada alasan untuk ragu menerapkan Islam tidak hanya dalam lingkup individu dan masyarakat tapi juga negara.
Wallahu’alam bishowab.
Views: 10
Comment here