Penulis: Shofiyyah El Kareem (Penulis Ideologis)
wacana-edukasi.com, OPINI– Sedih. Satu kata yang mewakili isi hati. Melihat kondisi rusaknya generasi masa kini yang kian tak terkendali. Sungguh mengoyak nurani. Lagi dan lagi, darah membanjiri bumi. Lima orang anggota keluarga mati dibunuh oleh tetangga sendiri. Tersebab cintanya ditolak, senjata tajam pun bertindak.
Dilansir dari republika.co.id, Kepolisian Resor Penajam Paser Utara (PPU) Kalimantan Timur, mengungkap bahwa terdapat kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang remaja berinisial J (16 tahun) terhadap satu keluarga berjumlah lima orang. Diduga motif pembunuhan yang terjadi di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu karena persoalan asmara dan dendam pelaku terhadap korban. Antara pelaku dengan korban saling bertetangga (08/02/2024). Diketahui, pembunuhan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata tajam “parang”.
Kemudian, tak hanya menghabisi nyawa satu keluarga di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, PPU, J alias SJ, 16, seorang siswa SMK, juga menyetubuhi jasad SW, 34, istri korban Waluyo, 35, dan RJ, 15, yang tak lain adalah anak pertama Waluyo (jawapos.co.id, 08/02/2024).
Dengan demikian, pemuda tersebut menjadi viral lantaran telah melakukan suatu hal yang memalukan sekaligus memilukan. Bukan prestasi yang ditorehkan, tapi aib. Melakukan pembunuhan dan setelahnya menyetubuhi jasad dua orang perempuan yang sudah tak bernyawa merupakan tindakan amoral yang menyisakan luka tak terperi.
Kasus di atas jelas menjadi bukti ke sekian kalinya bahwa kerusakan generasi di dalam sistem kapitalisme memang marak terjadi. Sistem kapitalisme dengan asasnya sekulerisme, yakni sebuah asas yang menginginkan adanya pemisahan agama dari kehidupan telah menjadi racun di tubuh masyarakat. Dari hari ke hari menghasilkan kerusakan yang semakin dahsyat.
Kapitalisme telah melahirkan kebebasan berperilaku. Manusia merasa serba bebas, boleh melakukan apa saja yang disuka. Dia tidak mau mengindahkan norma apapun, termasuk norma agama sekalipun. Hidup suka-suka dan berharap setelah mati kelak masuk surga.
Lebih dari itu, apa yang telah terjadi menunjukkan bahwa sistem pendidikan ala kapitalisme telah gagal menghasilkan generasi yang berkualitas. Produk yang dihasilkan, generasi dengan keimanan yang rapuh. Alhasil, seorang hamba berani melanggar aturan Sang Pemilik semesta.
Sejatinya iman yang selalu melekat erat dalam diri seseorang, maka dapat menjadi rem bagi yang bersangkutan untuk tidak bermaksiat. Yakin bahwa Allah Maha Melihat setiap perbuatan hamba atau CCTV Allah bekerja selama kurun waktu 24 jam, maka dengan kesadaran penuh seorang individu merasa cemas jika sampai melakukan tindakan di luar batas. Takut, kelak dihisab berat di akhirat.
Kemudian, seseorang yang berada di circle pertemanan yang salah, lambat laun menjadi bubrah. Dia bukan orang yang kuat mewarnai lingkungan, tapi justru mudah diwarnai. Benar halnya yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. dalam hadis: “Perumpamaan teman yang baik dan yang jahat adalah seperti orang yang membawa minyak wangi dan tukang pandai besi. Yang membawa minyak wangi, boleh jadi dia memberimu, atau kamu membeli daripadanya, atau paling tidak kamu mendapatkan harum semerbak daripadanya. Adapun tukang pandai besi, boleh jadi bajumu terbakar karenanya, atau kamu mendapatkan bau busuk daripadanya.”(HR Al-Bukhari dan Muslim).
Merujuk pada hadis di atas, pemilihan circle pertemanan ini menjadi hal penting. Insyaallah berteman dengan teman-teman yang saleh dan salehah akan saling menguatkan di jalan takwa. Sedangkan, berteman dengan circle yang salah dapat mengantarkan pada kerusakan. Misalnya saja, seseorang yang bergabung dalam komunitas orang-orang mabuk alias suka miras, maka kemungkinan besar lama-kelamaan dia akan menjadi pecandu miras pula. Begitu seterusnya.
Hal yang lebih parah lagi, lingkungan masyarakat era now semakin cuek. Tingkat kepedulian terhadap sesama minim. Sehingga, saat kemaksiatan terjadi di depan mata sekalipun, masyarakat justru tetap bungkam. Tidak melakukan tindakan pencegahan.
Begitulah. Berawal dari persoalan asmara, berakhir pada lenyapnya lima nyawa dalam satu keluarga. Memang benar, si pembunuh sudah menerima sanksi. Namun, perlu digarisbawahi bahwa sanksi yang tidak memberikan efek jera jelas akan membuat pelakunya tidak takut untuk mengulangi hal yang serupa. Sudah menjadi rahasia umum hukum di alam kapitalisme terkadang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Contohnya, ada orang maling ayam dipenjarakan dua tahun, sementara pejabat negara yang melakukan korupsi hanya dihukum satu tahun. Kemudian, di negeri penganut kapitalisme hukum masih bisa dibeli dengan uang maupun jabatan. Maka, mustahil dapat mewujudkan keadilan.
Berbeda halnya dengan Islam. Dalam sistem Islam diterapkan syariat Islam secara kaffah. Aturan yang berlaku adalah aturan-aturan yang berasal dari Sang Pencipta. Sehingga, mustahil tidak mampu mewujudkan keadilan. Karena, siapapun orangnya sekalipun putra penguasa, selama dia melakukan kesalahan, maka yang bersangkutan akan dijatuhi hukuman. Telah terbukti bahwa selama 14 abad saat Islam menorehkan tinta emasnya keadilan ada di mana-mana. Para pejabat yang berwenang tidak mudah diiming-imingi dengan harta, tahta, atau bahkan wanita. Tersebab, kualitas iman melekat kokoh dalam jiwa.
Syariat Islam merupakan syariat yang sempurna dan mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan manusia di setiap waktu dan tempat. Maka, berkenaan dengan kasus pembunuhan, Allah SWT telah berfirman yang artinya, “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah (neraka) Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang sangat besar.” (QS An Nisa’: 93)
Berikutnya, dalam Surat Al Isra’ ayat 33 , Allah pun telah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.”
Berdasarkan dua dalil di atas, maka dapat diambil benang merah bahwa Allah mengharamkan pembunuhan tanpa disertai dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Seandainya pembunuhan terjadi, maka pelaku pembunuhan dikenai sanksi qisas sebagaimana perintah Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 178, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh.”
Namun, seandainya keluarga dari pihak terbunuh menggugurkan qisas, maka pelaksanaan hukumannya dibatalkan. Selanjutnya, pihak keluarga memiliki dua pilihan, yakni memaafkan atau meminta diyat. Adapun besar diyat untuk satu orang dewasa adalah sebanyak 100 ekor unta, di mana 40 di antaranya dalam keadaan bunting.
Dengan pelaksanaan qisas, maka akan terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Seseorang yang sudah mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh tentu akan berpikir jutaan kali sebelum melakukan aksinya. Akhirnya, kemungkinan besar dia akan mengurungkan niatnya. Dengan demikian, jiwa-jiwa terpelihara dari aksi bunuh-membunuh.
Wallaahu’alam bish-shawwab.
Views: 12
Comment here