Oleh: Meilina Tri Jayanti, S.P. (Muslimah Indramayu)
wacana-edukasi.com, OPINI– Memasuki tahun 2024, untuk yang kesekian kalinya masyarakat harus menerima kenaikan harga pangan. Kali ini giliran komoditas beras yang mengalami kenaikan harga, setelah sebelumnya tepung tapioka, minyak goreng, berbagai jenis gula dan sayuran. Walaupun meggerutu, namun mereka harus tetap bisa membeli beras. Hal ini karena beras merupakan sumber makanan pokok masyarakat tanah air.
Mungkin sebagian besar masyarakat bertanya, mengapa Indonesia yang terkenal dengan negara agraris dan lumbung pangan, tetapi harga-harga komoditas pertanian terutama beras bisa mengalami kenaikan. Sebelum mengurai masalah kenaikan harga, alangkah lebih baiknya jika kita mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan harga.
Dalam teori ilmu ekonomi, faktor yang mengintervensi harga secara langsung adalah jumlah permintaan dan penawaran. Selain itu, ada juga faktor yang secara tidak langsung dapat memengaruhi terbentuknya harga. Untuk komoditas pertanian, faktor tidak langsung yang dimaksud adalah pengaruh perubahan iklim, serangan hama dan penyakit, terjadinya alih fungsi lahan pertanian, serta tidak efisiennya rantai distribusi/tataniaga produk pertanian.
Rantai distribusi yang panjang ini, diperparah dengan kondisi jalan yang rusak, terlebih lagi di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Daerah yang memiliki kondisi geografis, sosial dan ekonomi yang sulit berkembang. Biaya transportasi yang dikeluarkan pasti tinggi, akhirnya produk-produk pertanian akan sampai pada mereka dengan harga yang berkali lipat dibandingkan dengan daerah sentra produksi.
Bila diperhatikan, kenaikan harga beras dimulai sejak ahir 2023. Ditandai dengan menurunnya tingkat produksi beras di daerah-daerah sentra produksi gabah nasional seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, di antaranya ada beberapa daerah yang mengalami serangan hama tikus cukup tinggi. Ada juga daerah yang mengalami dampak perubahan iklim (el-nino berkepanjangan). Bahkan ada daerah yang menghadapi dua kondisi tersebut bersamaan. Laju alih fungsi lahan pertanian pun turut andil dalam pengurangan produksi gabah nasional.
Dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin meningkat, menjadikan produksi beras nasional tidak mampu memenuhi permintaan konsumsi. Akhirnya kebijakan impor produk pertanian termasuk beras tak mampu terelakkan.
Sebenarnya pemerintah memiliki lembaga Bulog yang bertugas mengelola persediaan, distribusi dan pengendalian harga beras, serta usaha jasa logistik sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku. Namun setelah status Bulog berubah menjadi Perum (Perusahaan Umum) sejak tahun 1998 sesuai saran IMF, Bulog mulai harus memikirkan perolehan laba. Sehingga kini aktivitas Bulog sulit untuk benar-benar menjalankan fungsinya.
Di sisi lain, sepatutnya ada ide yang cemerlang dari para pakar pertanian untuk mencegah terjadinya rawan pangan. Di zaman kemajuan IT yang pesat, kecerdasan para pakar pertanian diharapkan mampu menciptakan teknologi pertanian yang mumpuni. Dengan kecermatan memahami potensi lahan pertanian di Indonesia, teknologi tepat guna dapat diterapkan untuk meningkatkan produksi pertanian. Ini bukan perkara mustahil, apabila para pakar tesebut mendapat perhatian serta sokongan dana dari pemerintah.
Karena itu, memajukan sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sistem ekonomi negara. Aspek pertanian merupakan seni membentuk prilaku petani, mengelola lahan, mengendalikan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman), dan penerapan teknologi tepat guna. Tentunya dalam mengolaborasikan aspek-aspek tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Berbagai riset budidaya untuk menghasilkan varietas unggul produk pertanian, perlu dilakukan. Riset untuk menghasilkan alsintan (alat dan mesin pertanian) sesuai lokalita pun perlu diadakan. Penggemblengan terhadap tenaga-tenaga lapangan sebagai pihak yang berinteraksi langsung dengan petani juga tidak boleh diabaikan.
Dalam pandangan Islam, pembiayaan terhadap hal tersebut sangat mungkin dipenuhi, karena negara memiliki sumber pendapatan yang besar. Sumber pendapatan negara menurut syariat, terkumpul dari aktivitas ekonomi dan non ekonomi. Sumber aktivitas ekonomi terkumpul dari pengelolaan SDA secara langsung, sedangkan sumber dari non aktivitas ekonomi berasal dari ghonimah, fa’i, kharaj, jizyah, ‘usyr, zakat, harta wakaf dan shodaqoh.
Bermula dari penerapan sistem ekonomi Islam tersebut, selanjutnya negara akan menerapkan kebijakan pada sektor pertanian sebagai berikut:
Pertama, Memfasilitasi pendidikan: Sitem pendidikan yang diterapkan bertujuan untuk melahirkan para pakar di berbagai bidang termasuk pertanian. Dengan akidah Islam yang menjadi pondasi pengajarannya, akan membentuk tenaga-tenaga ahli pertanian yang amanah dalam menerapkan keilmuannya untuk kesejahteraan masyarakat dan kedaulatan negara.
Kedua, Mendirikan industri pertanian: Salah satu faktor kedaulatan negara adalah dengan memiliki industri alsintan (alat mesin pertanian) secara mandiri. Negara bisa melakukan penelitian sebelum menghasilkan alsintan yang aplikatif (tepat guna). Petani yang membutuhkan pun dapat memilikinya dengan harga terjangkau.
Ketiga, Pemetaan potensi lahan pertanian: Keadaan geografis suatu wilayah, akan menentukan jenis komoditas pertanian yang berbeda. Pada dasarnya suatu komoditas pertanian mampu berkembang dengan baik jika habitat tempat tumbuhnya sesuai. Ciri khas komoditas pertanian tersebut akan membentuk pola budidaya petani untuk mengembangkannya. Dari sini negara akan menerapkan kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian sesuai dengan potensi wilayahnya masing-masing.
Keempat, Pengendalian distribusi produk pertanian: Negara bertanggung jawab untuk memastikan seluruh masyarakat dapat mengakses pangan dengan mudah dan dengan harga terjangkau. Kelayakan kondisi jalan, pasar dan sarana tranportasi tak akan luput dari pantauan penguasa. Selanjutnya negara akan menerapkan regulasi hukum yang menjamin mekanisme harga komoditas pertanian berjalan transparan dan tanpa ada manipulasi berupa penimbunan komoditas pertanian dengan tujuan spekulasi.
Demikianlah prinsip-prinsip dasar yang menggerakkan sektor pertanian di era Islam. Sehingga output-nya mampu menstabilkan harga komoditas pertanian dan menjaganya agar tetap terjangkau oleh masyarakat.
Walaupun saat ini banyak pihak yang meragukan bahkan menganggap sistem Islam tidak layak untuk diterapkan, namun secara historis prinsip-prinsip tersebut mampu menjadikan negara Islam kala itu mengalami kemandirian pangan. Dan dengan kekhasan kepemimpinannya, negara Islam mampu berkontribusi menyumbangkan kekayaannya berupa bahan pangan ke negara kafir yang mengalami kelaparan.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Views: 19
Comment here