Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Jajaran Polres Metro Jakarta Barat mengungkap modus kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bayi, yang melibatkan ibu kandung di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Dari hasil penyelidikan pihak Polsek Tambora atas kasus TPPO bayi, terungkap modusnya berawal dari perkenalan ibu bayi berinisial T (35), dengan tersangka berinisial EM (30), yang berperan sebagai mediator dari grup aplikasi medsos percakapan. Saat itu ibu bayi yang tengah hamil 8 bulan kesulitan untuk membayar biaya persalinannya di salah satu rumah sakit di Jakarta Barat. Kemudian tersangka menawarkan sejumlah uang untuk mendapatkan anak bayi. Atas kesepakatan bersama, tersangka menjanjikan uang sebesar Rp 4 juta dengan pembayaran awal sebesar Rp 1,5 juta. Namun, setelah beberapa bulan sisa uang yang dijanjikan tak kunjung dibayarkan. Lantaran merasa ditipu dan keinginan berjumpa anaknya di halangi tersangka, ibu bayi kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Tambora. Sebelumnya, diketahui tersangka EM telah melakukan transaksi jual-beli bayi sebanyak empat kali, tiga kali dari ibu warga Karawang dan satu lainnya dari Surabaya, dengan harga antara Rp 3 juta, hingga Rp 5 juta. (www.beritasatu.com)
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi, menyebut bahwa terungkapnya kasus perdagangan bayi oleh Polres Metro Jakarta Barat merupakan fenomena gunung es. Menurutnya, meskipun terdapat lima bayi yang diamankan dalam perdagangan gelap tersebut, masih banyak kasus serupa yang belum terungkap lantaran tidak tercium aparat berwenang. (www.mataramantaranews.com)
Dari beberapa kasus perdagangan bayi yang terjadi, faktor utama yang memicu terjadinya tindak kejahatan ini adalah kemiskinan. Dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme ini, kondisi masyarakat miskin berdampak pada sulitnya orang tua memenuhi kebutuhan pokok anak-anaknya. Tak hanya itu, kemiskinan juga menjadikan orang tua tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal lain yang juga terjadi adalah lemahnya pengawasan keluarga terhadap anak-anaknya lantaran orang tua sibuk bekerja mencari nafkah, termasuk para ibu. Berbagai kondisi yang memprihatinkan ini tidak jarang mendorong mereka melakukan tindak yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, termasuk keterlibatannya dengan menjual bayinya sendiri.
Kemiskinan yang tidak terselesaikan hingga hari ini, sejatinya merupakan buah penerapan sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ini telah melegalkan liberalisasi ekonomi yang menjadikan hajat hidup rakyat dikuasai oleh para korporat. Alhasil, rakyat sulit mengakses kebutuhan asasiyahnya, termasuk pendidikan dan kesehatan. Rakyat harus memiliki pendapatan besar untuk bisa hidup layak, sementara saat ini lapangan pekerjaan tidak terbuka lebar, kalaupun ada hanya sebagai buruh dengan gaji yang pas-pasan atau bahkan sangat rendah. Pekerjaan sebagai buruh saja masih diperebutkan rakyat di negeri ini. Di sisi lain, kemiskinan sistemik bisa menjadi pintu kemaksiatan, hingga hilangnya naluri keibuan. Kemiskinan juga dimanfaatkan sebagian pihak untuk mendapatkan keuntungan, sebagaimana mediator dalam kasus perdagangan bayi. Permintaan dan penawaran pada hal yang haram pun tak sedikit kita temukan dalam negara yang menerapkan sistem Kapitalisme.
Telah tampak nyata, bahwa negara dalam sistem Kapitalisme lepas tanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya, berikut menjamin perlindungan bagi mereka. Negara hanya menjadi pelayan korporasi yang abai terhadap kepentingan rakyatnya. Banyaknya kasus perdagangan bayi hanya direspon negara dengan langkah kuratif, yakni membuat UU Nomor 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sanksi yang diberikan pun tidak menjerakan, sehingga kasus serupa masih terus terjadi.
Perdagangan manusia, termasuk bayi hanya akan tuntas di bawah negara yang menerapkan aturan Islam kaffah. Dalam Islam, tanggung jawab negara diserahkan kepada kepala negara, yaitu Khalifah sebagai Imam atau pemimpin dari kaum muslimin. Sebagai raa’in, kepala negara harus melindungi rakyatnya dari segala bahaya dan menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyatnya, individu per individu. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya, karena kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat atas amanah kepemimpinannya itu.
Khalifah harus melayani kebutuhan masyarakat sesuai syariat Islam, seperti jaminan kebutuhan pokok dengan bekerja keras mengentaskan kemiskinan dan kelaparan. Selain itu, menjamin keamanan, pendidikan dan layanan kesehatan warganya secara cuma-cuma, semua ini akan diwujudkan Khalifah melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Islam juga memiliki sistem pendidikan yang mencetak individu yang beriman dan bertakwa, sabar dalam menghadapi ujian dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan atas dorongan Iman. Para orang tua pun akan dipahamkan akan kewajiban-kewajibannya terhadap anak. Selain itu, Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, sehingga mencegah orang melakukan kejahatan. Negara akan menjatuhkan sanksi keras pada sindikat atau pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan perdagangan orang, termasuk bayi, sekalipun pelakunya adalah orang tuanya sendiri. Sanksi yang diberikan akan dijatuhkan sesuai keterlibatan dan kejahatan yang mereka lakukan. Siapapun yang terlibat, akan diberi sanksi tanpa pandang bulu.
Selain peran negara, Islam menetapkan peran keluarga, yakni ayah sebagai penanggung jawab nafkah pada istri dan anak-anaknya, sekaligus menjamin keamanan mereka dari berbagai gangguan. Di level masyarakat, setiap anggota masyarakat ada kewajiban untuk saling amar ma’ruf nahi mungkar dan tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan kepada siapa saja. Inilah keunggulan Khilafah yang menerapkan Islam kaffah, segala bentuk kejahatan akan dijauhkan dari kehidupan masyarakat.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 17
Comment here