Opini

Menyoal Eksistensi Bansos di Kontestasi Pemilu

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI– Di tengah ekonomi mayoritas masyarakat yang dilanda krisis, bantuan sosial alias bansos tentu akan sangat membantu. Namun, apa jadinya jika pemberian bansos diberikan hanya di masa/momen tertentu? Bukankah kebutuhan masyarakat tidak hanya di momen tertentu?

Sekalipun di 2023, outlook realisasi bansos mencapai Rp146,5 triliun. Sementara alokasinya pada 2024 kemudian dinaikkan, menjadi Rp157,3 triliun. Pada faktanya, hal ini dinilai sebagai tindakan kurang tepat. Sebab berbarengan di tahun ini presiden dengan jelas mengatakan presiden boleh ikut kampanye.

Cawe-cawenya presiden terhadap salah satu paslon yang merupakan anaknya, serta masifnya dugaan menggunakan program bantuan sosial sebagai alat kampanye pendongkrak suara, selayaknya membuat publik bertanya, bansos ini sebetulnya untuk kepentingan siapa? Meski rezim sendiri tetap menyatakan bahwa penyaluran BLT berupa beras 10kg tersebut telah disetujui DPR untuk menggunakan APBN dalam mekanisme penanganan ketahanan pangan akibat badai EL Nino.

Hanya saja banyak pihak menyayangkan dan menghimbau agar kepala negara tidak keluar jalur, dan seharusnya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) bisa bersikap lebih tegas.

Disadari, kekuasaan menjadi keniscayaan tujuan yang akan diperjuangkan dengan segala macam cara dalam konteks demokrasi.  Maka setiap jengkal adanya peluang memiliki celah untuk dimanfaatkan. Hal itu wajar karena sistem demokrasi meniscayakan kebebasan berperilaku. Apalagi sistem ini jelas mengabaikan aturan agama dalam bernegara.

Mengutip Frederic Charles Schaffer dalam bukunya Elections for Sale (2007) menjelaskan istilah “Pork barrel” mengacu pada praktik pemberian proyek atau dana pemerintah untuk suatu wilayah atau konstituen tertentu yang bertujuan agar mendapatkan dukungan politik. Hal ini pernah terjadi dalam sistem politik Amerika Serikat.

Istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada proyek-proyek yang mungkin tidak terlalu penting secara nasional, tetapi memberikan keuntungan lokal kepada para politisi yang mendukungnya.

Serba serbi bansos ini mirip di negeri pertiwi yang disalurkan bertepatan dengan pra pemilu. Sekalipun rezim memberikan pernyataan pemberian bansos tidak ada kaitannya dengan pemilu. Tetapi dengan fakta cawe-cawenya rezim yang menyatakan presiden boleh berkampanye disaat salah satu pasangan paslon merupakan anaknya, tentu menimbulkan keraguan.

Di sisi lain, seolah botol bertemu tutupnya. Dengan kesadaran politik yang rendah, kesenjangan pendidikan dan kemiskinan yang menimpa, masyarakat seolah digiring berpikir pragmatis, sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Momen bansos dinilai sebagian rakyat menjadi angin segar walaupun hanya sesaat dan tidak merata di masyarakat.

Kemiskinan menjadi problem kronis negara. Untuk mengentaskan problematika ini, harusnya ditangani secara komprehensif dengan menelusuri akar persoalannya. Bukan hanya sekedar dengan bansos berulang, apalagi meningkat hanya saat menjelang pemilu.

Bansos Bukan Solusi

Paska pemilu, adanya dugaan fenomena kelangkaan stok beras di pasaran yang berimbas pada kenaikan harga akibat adanya pembelian beras yang dilakukan pemerintah ke gudang atau agen yang selama ini menjadi tempat belanja para pedagang beras. Walaupun pemerintah tidak mengakui, tapi fakta kenaikan beras terjadi dan benar adanya.

Hari Santosa yang merupakan salah satu pedagang beras di Pasar Kranji, Kota Bekasi, merasa geram ketika mengetahui berita itu dilansir dari idxchannel.

Nyatanya bansos bukanlah solusi tuntas dari polemik kelangkaan dan kenaikan beras. Adanya standarisasi HET (harga eceran tertinggi) dikeluhkan para pedangang sebab standarisasi HET hanya diberlakukan di hilir, sementara di hulu tidak diberlakukan yang sama.

Kemana lagi rakyat mengadu? Semakin jelas demokrasi-kapitalisme tidak mampu mensejahterahkan rakyat. Kurangnya peran negara untuk menstabilitasi harga pasaran beras, alhasil harga bahan pokok pangan yang dilepas di pasaran makin melambung tinggi.

Melansir media undercover, harga beras di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, kualitas premium menyetuh angka 17.000 rupiah per kilogramnya. Ujar pedagang di Pasar Balendono mengaku sepanjang 25 tahun berjualan beras, ini yang termahal.

Rakyat itu harusnya tercukupi kebutuhan hidup layak, baik itu sandang, pangan & papan dari negara. Adanya bansos pun sebetulnya masih jauh dari kata hidup layak. Masih belum menjangkau semua masyarakat. Ditambah biaya untuk mengakses kesehatan dan pendidikan belum semua rakyat bisa menjangkaunya.

Bukti potret realita hidup dalam demokrasi-kapitalis, seolah rakyat diingat dan dicari suaranya hanya saat pemilu. Setelah kekuasaan didapat, janji-janji manis berulang kali lebih banyak mengecewakan rakyat.

Janji paslon yang baru dimenangkan dari pengumuman hasil quickcount, faktanya ternyata untuk merealisasikan makan siang dan susu gratis dengan menyunat subsidi BBM. Bahkan pengadaannya dilakukan bertahap dan perkiraan rencana tuntas sampai tahun 2029.

Tidak bisa dimungkiri sistem demokrasi-kapitalis nyatanya tiada makan siang gratis. Penyelesaian problematika masih terus tambal sulam. Pelaksanaan pemilunya berbiaya mahal, prosesnya yang menyusahkan dan panjang, giliran sudah dimenangkan tidak jarang inginnya balik modal. Masihkah berharap demokrasi-kapitalis memberikan kehidupan layak?

Solusi Komperhensif Ada di Sistem Islam

Sistem Islam tidak hanya bisa diterapkan oleh individu ataupun kelompok, melainkan negara juga sangat amat relevan menerapkan sistem Islam dalam mengatur dan menjaga juga mensejahterahkan rakyatnya. Sebab keberadaan pelaku subjek bernama negara ini perannya sangat dibutuhkan.

Sistem Islam mewajibkan Negara menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu, bukan sekelompok masyarakat/elit tertentu. Sistem Islam juga memiliki berbagai mekanisme dalam menghadapi krisis pangan.

Di zaman kekhilafahan, Islam sebagai sebuah sistem yang diterapkan, negara melakukan kebijakan dengan mengambil pajak dari para pejabat juga konglomerat/ orang kaya yang sifatnya temporal, untuk membantu banyak rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan. Jika dilihat sudah mencukupi dan tidak ada lagi krisis, pajak itu tidak diberlakukan lagi.

Sistem Islam juga menetapkan kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah Swt. Sehingga penguasa akan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syara’ bukan kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.

Kondisi keimanan yang dibangun mampu mewujudkan SDM yang berkepribadian Islam, termasuk pemimpin/penguasa yang amanah dan jujur dalam menjabat.

Negara juga berperan dalam mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam termasuk dalam memilih pemimpin, sehingga umat memiliki kesadaran akan kriteria dan kualitas yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Tidak mudah tersihir politik gimmik.

Dengan begitu seorang muslim yang menjadi pemimpin pun dipilih jelas berkualitas karena iman dan takwanya kepada Allah Swt serta memiliki kompetensi, tidak perlu gimmik ataupun pencitraan agar disukai rakyat.

Solusi komperhensif yang diberikan sistem Islam tidak hanya menuntaskan persoalan kesejahteraan rakyat, memilih pemimpin yang kompeten karena iman dan takwa, tapi juga mensuasanakan kondisi masyarakat yang tidak lagi menuhankan materi/kekayaan sebagai tujuan hidup. Melainkan memprioritaskan rida Allah Swt. dalam setiap aktivitasnya.

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here