Oleh : Imroatus Sholeha (Freelance Writer)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Ramadan sudah di depan mata, bagi kaum Muslim bulan Ramadan merupakan bulan yang Istimewa. Bulan penuh berkah amalan sholeh dilipatgandakan saatnya untuk berlomba-lomba meraih pahala sebanyak-banyaknya dan berharap meraih derajat takwa disisi Allah SWT.
Namun, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok akan mengganggu kekhusyukan ibadah di bulan yang mulia ini. Pasalnya sudah menjadi tradisi saat akan memasuki bulan Ramadan harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan.
Dikutip dari Liputan6.com, Sejumlah harga pangan masih mengalami kenaikan menjelang bulan suci Ramadan tahun ini. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PHPS), harga beras masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Harga beras medium secara rata-rata nasional berada di kisaran Rp 15.950 per kg, dan beras premium di harga Rp 17.350 per kg. Padahal HET beras medium adalah di kisaran Rp 10.900 per kg, dan HET beras Premium Rp 14.800 per kg. Komoditas pangan lainnya yang harganya masih mahal antara lain cabai, daging ayam, daging sapi, telur ayam ras dan kebutuhan pangan lainya yang seolah menjadi tradisi mengalami kenaikan jelang Ramadhan. (Selasa, 5 Maret 2024)
Hal ini dipengaruhi banyak faktor diantaranya tinggi nya permintaan selama bulan Ramadan menjadi faktor utama terlebih jika stok barang di pasar tidak mampu memenuhi permintaan, kebiasaan bersedekah dan berbagi di bulan Ramadan juga di manfaatkan sebagian pihak untuk meraup keuntungan.
Kondisi ini tentu semakin memberatkan rakyat khususnya di bulan yang mulia ini. Naiknya harga kebutuhan pokok tentu membuat pengeluaran semakin besar, apalagi jika hal ini tidak diikuti dengan bertambahnya pendapatan menambah beban ekonomi tentu menjadi pikiran bagaimana untuk terus terpenuhi kebutuhan setiap harinya saat sahur dan berbuka. Bahkan di beberapa daerah di saat ini harga beras mencapai satu juta per 50kg, sungguh harga yang fantastis mengingat Indonesia sebagai negeri Agraris.
Meski tradisi kenaikan harga menjelang Ramadan sudah terjadi berpuluh-puluh tahun, namun Pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan persoalan ini. Padahal dari Sabang sampai Merauke terbentang luas lahan untuk menyediakan stok pangan yang murah dan berkualitas. Namun nyatanya program kedaulatan pangan hanya menguntungkan para Kapitalis atau pemilik modal, rakyat dibiarkan berjuang sendiri menghadapi harga-harga yang terus melambung. Bantuan yang diberikan seperti bansos maupun pasar murah hanya bersifat sementara dan seringkali tidak tepat sasaran.
Inilah potret negara kapitalisme dimana pemilik modal yang berkuasa, sulit mewujudkan negara yang mandiri dan berdaulat dalam masalah pangan jika masih menerapkan sistem ekonomi kapitalis, sebab pemilik modal yang menguasai pasar termasuk kebutuhan pokok rakyat seperti beras, minyak goreng, BBM, dan kebutuhan mendasar lainya bebas dikontrol oleh pemodal.
Negara hanya menjadi regulator dan pembuat kebijakan yang sudah tentu lebih memihak pemilik modal. Terbukti melimpahnya sumber-sumber daya alam tidak lantas menjadikan masyarakat Indonesia hidup dalam kemakmuran. Sebab kekayaan sumber daya alam bebas dikuasai pemodal dan masuk kantong pribadi. Rakyat hanya menerima remahannya dengan menjadi kuli atau pedagang kecil di sekitar proyek.
Hal ini berbeda dengan konsep kepemilikan di dalam Islam. Dimana sumber-sumber daya alam termasuk dalam kepemilikan umum haram dikuasai pribadi maupun swasta. Negaralah yang berhak mengelola dan mendistribusikan nya untuk umat, baik distribusi secara langsung maupun menjamin ketersediaan segala kebutuhan rakyat dengan mudah, bahkan gratis baik pendidikan, kesehatan, bahan pangan, dan kebutuhan pokok lainya.
Sebab, pemimpin yang lahir dalam aturan syariat Islam memahami bahwa tugas penguasa adalah mengurusi urusan umat dan akan dimintai pertanggung jawaban disisi Allah SWT. Apabila berbuat dzalim terhadap rakyatnya. Sudah menjadi tanggung jawab penguasa memastikan kebutuhan rakyatnya terpenuhi apalagi dibulan Ramadan. Islam mendorong kaum muslim untuk memperbanyak ibadah dan amal sholeh di bulan yang mulia ini.
Rasulullah SAW bersabda: “Telah datang bulan Ramadan, bulan penuh berkah, maka Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa pada bulan itu, saat itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, para setan diikat dan pada bulan itu pula terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan,” (HR. Ahmad).
Namun syariat ini akan terasa berat jika dilakukan individu tanpa dukungan penuh dari negara. Seperti mahalnya bahan pangan yang solusi tuntas nya hanya bisa diselesaikan oleh skala negara. Untuk itu Islam memerintahkan negara sebagai ra’in (pelayan) umat, agar rakyatnya fokus dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadan tanpa dibebani dengan mahalnya kebutuhan pokok.
Hal ini terwujud dalam kebijakan negara dalam menstabilkan harga-harga pangan, memanfaatkan segala potensi dan kekayaan alam yang ada sepenuhnya untuk kebutuhan rakyat demi meraih ridho Allah SWT dan kenyamanan dalam menjalani ibadah di bulan puasa.
Negara juga wajib memberikan pendidikan Islam kepada rakyatnya agar memiliki pola pikir dan sikap yang sesuai tuntunan syari’ah di bulan Ramadan seperti menjauhi perilaku konsumtif. Peran negara seperti ini akan mendorong umat untuk bersegera dalam kebaikan sesuai tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya memaksimalkan bulan Ramadhan untuk beribadah dan beramal sholeh.
Dengan demikian semua ini hanya bisa terwujud dalam negara yang menjadikan Islam sebagai satu-satunya peraturan dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bish shawwab
Views: 17
Comment here