Oleh : Lely Novitasari
(Aktivis Generasi Peradaban Islam)
wacana-edukasi.com, OPINI– Kemiskinan ektrem kini menjadi problematika hampir seluruh dunia. Miliaran generasi di dunia hidup tanpa perlinsos (perlindungan sosial), jutaan warga RI terancam jatuh miskin ekstrem di tahun 2024. Untuk dalam negeri, ancaman ini dianalisis dari basis perhitungan penduduk miskin yang digunakan secara global ternyata berbeda dengan yang digunakan pemerintah selama ini.
Sangat besar kemungkinan adanya persoalan sistemik yang dihadapi dunia saat ini. Melihat berbagai kerusakan alam sampai adanya ancaman kemiskinan ekstrem bukanlah persoalan remeh temeh. Tentulah kondisi ini harus segera dicari akar persoalannya.
Sebuah kebijakan dari sistem pasti akan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Yang mana sistem kebijakan yang menghegemoni hampir di seluruh negara saat ini dicengkram oleh sistem ideologi Kapitalisme-sekuler.
Sistem ini memberi kebebasan dalam kegiatan ekonomi sehingga para pengusaha dapat menguasai hajat hidup rakyat termasuk memprivatisasi sumber daya negara. Kondisi ini merupakan konsekuensi dari negara yang hanya berperan sebagai regulator.
Regulator itu laksana negara berperan hanya sebagai pembuat undang-undang, kebijakan dan aturan. Seolah negara berlepas tangan akan kewajibannya dalam mengayomi rakyatnya. Begitu banyak fakta dari kebijakan yang diterapkan saat ini, yang ujungnya lebih mempermudah swasta, asing, aseng dan asong mengeksploitasi kekayaan alam, menguasai pasar bebas dibanding mempermudah rakyat mendapatkan haknya.
Alhasil gambaran kemiskinan ekstrem sangat mudah bisa dilihat hari ini. Sekalipun di sisi lain, proyek pembangunan kian masif digencarkan di dalam negeri, juga dikebutnya proyek pemindahan ibu kota, nyatanya kesenjangan sosial justru semakin ekstrem menggejala di seluruh aspek hidup masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada sebanyak 25,9 juta orang miskin di Indonesia per akhir Maret 2023. Lucunya standarisasi yang dibilang miskin menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, yakni batas penghasilan keluarga miskin adalah Rp 550.458 per kapita sebulan per rumah tangga.
Semakin mengkhawatirkan, melansir kompas(dot)com, data kemiskinan Indonesia ini dinilai tidak akurat lantaran masih mengacu pada standarisasi garis kemiskinan yang usang. Peneliti SMERU Research Institute, Asep Suryahadi mengatakan standarisasi itu tidak lagi relevan sebab masih mengacu pada metodologi pengukuran garis kemiskinan yang berlaku sejak tahun 1998 yang belum pernah dievaluasi.
Berdasarkan perhitungan SMERU, yang mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), per 2023, terhitung sekitar 78 juta orang Indonesia terkategori rentan miskin atau sekitar tiga kali lipat dari jumlah orang miskin saat ini. Sementara perhitungan Bank Dunia, di Indonesia semestinya ada 44 juta orang per 2022 yang terkategori miskin.
Asep Suryahadi berharap adanya wacana perubahan metodologi baru dari pemerintah segera bisa terealisasi. Dimana metodologi baru bisa dilakukan dengan strategi pertumbuhan ekonomi yang dibuat lebih inklusif, juga harus adanya kerelaan politik untuk mendata angka kemiskinan yang lebih tinggi.
Dengan begitu negara bisa menangkap fenomena kemiskinan di masyarakat agar tidak terjadi undercounting (masyarakat yang sebenarnya miskin tetapi tidak dihitung miskin) dan overcounting (masyarakat yang tidak miskin tetapi dihitung miskin).
Sementara Bank Dunia dilansir dari Kompas(dot)com, mengungkapkan ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk menurunkan kemiskinan. Pertama, memberikan bantuan sosial dan subsidi. Kedua, pemberdayaan masyarakat. Ketiga pembangunan infrastruktur pelayanan dasar.
Benarkah ketiga solusi di atas memberikan kemajuan dan mengentaskan kemiskinan?
Faktanya, negara hari ini berperan hanya sebagai regulator, tidak mengelola langsung kekuatan ekonomi. Negara membuka peluang investasi pada swasta, asing, aseng dan asong. Akibatnya SDA lebih banyak dikuasai pengusaha dan penguasa yang punya modal ketimbang rakyatnya.
Ditambah rendahnya pendidikan akibat tidak meratanya ekonomi serta sarana prasarana pendidikan yang layak di wilayah terluar, terjauh dan terdalam. Belum lagi output kurikulum hari ini yang lebih mengejar keterampilan menjadikan SDM lulusan sekolah hanya siap menjadi pekerja/buruh bukan pembuka peluang usaha ataupun pencetak ide gagasan untuk memajukan generasi dan masa depan bangsa.
Hingga realita saat ini semakin memperpuruk keadaan yakni minimnya lapangan pekerjaan. Banyaknya PHK massal, lulusan sarjana yang tidak terserap di perusahaan. Serta sulitnya membuka usaha sebab modal tidak didukung negara.
Adanya UU Omnimbus Law, Ciptaker menjadi produk hasil kebijakan sistem kapitalisme-sekuler yang justru mempermudah kekayaan alam diswastanisasi, rakyat sebagai perkerja tidak mudah mendapat pekerjaan tetap.
Tidak hanya di negeri ini, bahkan hampir di seluruh dunia, kebijakan sistem kapitalisme-sekuler telah memudahkan akses perusahaan lebih banyak mengambil untung, sementara rakyat hidup miskin.
Contoh lain, adanya bursa efek/pasar saham, dimana jutaan/ miliaran uang berputar di transaksi itu tanpa ada kejelasan barang dan jasa yang diperjual-belikan. Harusnya perputaran uang itu di pasar masyarakat bukan di pasar yang tidak jelas keberadaannya.
Kondisi ini menjadi ancaman nyata terhadap keselamatan generasi, dan masa depan jutaan bahkan miliaran manusia. Jika terus menerus kekayaan dunia dikuasai 1% manusia, sementara 99% manusia memperebutkan 1% remahan kekayaan.
Di sistem kapitalisme-sekuler apakah mampu membuat negara betul-betul menjadi laksana pelindung dan pengayom rakyatnya? Ataukah dengan berbagai realita kebijakannya serta pelayanan yang diperlihatkan hanya sekedar simbolis? Masihkah layak mempertahankan sistem ini?
Perubahan Mendasar Dengan Islam
Negara seharusnya hadir dan berperan sentral atas rakyatnya. Kebalikan dari konotasi negara saat ini yang sekedar sebagai regulator ataupun fasilitator.
Di sini Islam sebagai sebuah deen juga sebuah jalan hidup memiliki mekanisme dalam bernegara. Berbagai bukti sistem Islam diterapkan negara secara historis dan empiris pun ada dan bisa ditelusuri. Maka negara yang menerapkan Islam disebut sebagai Khilafah. Fungsi Khilafah yang menerapkan Islam memastikan negara berkewajiban memberikan naungan, perlindungan nyawa, harta, kehormatan, serta pengawasan sektor ekonomi sampai detail ke individu, sehingga menimalisir tindakan dzolim pada rakyatnya.
Bukti secara historis, di masa Kekhilafahan Umar Bin Abdul Aziz tidak ditemui rakyatnya yang mau menerima zakat. Inilah potret kemakmuran di zaman Islam diterapkan sebagai sebuah sistem yang mengatur urusan bernegara.
Secara empiris, Islam mampu menjadi problemsolving dari berbagai persoalan termasuk melalui pemanfaatan SDA. Dari penerapan hadist Rasulullah Saw. berkata, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” HR. Abu Dawud dan Ahmad.
Ditambah di hadist yang lain di sampaikan oleh Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan meminta beliau ﷺ agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi ﷺ pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan At-Timidzi).
Dari hadist-hadist di atas, mempertegas pemanfaatan sumber daya alam termasuk tambang garam dilarang untuk dikuasai satu individu. Secara logika jika dikuasai individu maka rakyat yang lain sulit mendapatkan manfaat dari hasil alam itu termasuk garam. Maka, negara berperan besar untuk mengelola dan mendistribusikannya kembali pada rakyatnya dalam bentuk pelayanan kesehatan dan pendidikan terjangkau, sarana dan prasarana yang memadai, dll.
Jika dirinci, solusi dalam mengentaskan problematika kemiskinan ekstrem di antaranya: Pertama, negara wajib berperan aktif mengelola kekuatan ekonomi, tidak lagi mengandalkan swasta dalam mengelola kekayaan SDA dan perindustrialisasi. Kedua, negara dituntut untuk menutup semua kecurangan ekonomi, yakni dengan mencegah praktik riba/ perbankan serta menutup akses bursa saham. Ketiga, negara berperan mendistribusikan ekonomi melalui zakat, sedekah, wakaf, juga mengelola langsung Baitul Maal.
Dengan berbagai peran negara di atas, perlindungan generasi dan rakyat yang menjadi prioritas negara. Maka kemiskinan ekstrem bisa dicegah dan rakyat tidak hanya hidup sejahtera tapi juga didorong dengan suasana keimanan hingga membuatnya mampu memahami hakikat tujuan penciptaan manusia. Meminimalisir manusia yang hidup menghamba hanya pada materi semata. Terbukti sistem Islam mampu mensuasanakan kesejahteraan, keadilan serta keimanan bagi setiap masyarakat yang bernaung di dalamnya selama berabad-abad lamanya.
Sejarahwan dari Barat, Will Durrent berturur dengan jujur. “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi, fenomena itu seperti masa mereka.” (The Story of Civilization)
Wallahu’alam bishowab.
Views: 13
Comment here