Surat Pembaca

Kasus Bullying Tak Mengenal Gender

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nurlaini

wacana-edukasi.com, — Akhir-akhir ini kasus bullying semakin terdengar akrab di telinga. Hal ini tentu saja membuat miris bagi pendengarnya. Terlebih lagi orangtua, rasa khawatir akan nasib anaknya di luar rumah pasti semakin besar. Hal yang membuat kita mengusap dada, pelaku bullying yang identik dengan laki-laki saat ini tak berlaku. Anak perempuan, calon ibu yang kelak akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, pun bisa menjadi pelaku. Kalau sudah begini, bagaimana dengan masa depan negeri ini?

Kasus bullying yang terjadi di Bengkong Sadai, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), pada Minggu, 29 Februari 2024, menjadi luka pilu yang mendalam bagi dunia anak khususnya di Kota Batam.
Anak yang seharusnya menjadi masa menyenangkan berubah menjadi masa yang pilu dengan ada nya kasus perundungan (bullying) yang kerap kali terjadi.

Nina selaku Wakil Ketua Divisi Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) dan Pengasuhan Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Kota Batam menjelaskan bahwa kasus ini bisa terjadi karena kurangnya pengawasan dan perhatian kepada anak, dan tingginya angka anak yang putus sekolah. Permasalahan ini yang menyebabkan anak berkumpul pada tempat atau lingkungan yang tidak semestinya, dan melakukan perilaku yang menyimpang. (batamnews.co.id/ 02032024)

Anak perempuan di bawah umur menjadi pelaku bullying terhadap sesama perempuan. Karena pelaku anak-anak, maka diterapkan hukum peradilan anak. Ketika anak sebagai berhadapan hukum, dengan sistem yang berlaku saat ini diterapkan sanksi yang lebih rendah. Model sistem peradilan seperti ini, yang merujuk pada definisi anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun menjadi celah banyaknya kasus bullying yang tak membuat jera pelaku. Kenapa demikian? Karena hukum yang diterima tidak setimpal dan terlihat ringan. Dalam hal ini, Islam memiliki sistem sanksi yang shahih sehingga mampu membuat jera termasuk dalam menetapkan pertanggungjawaban pelaku yaitu dalam batas balighnya seseorang atau usia 15 tahun.

Anak menjadi pelaku kekerasan menggambarkan lemahnya pengasuhan dan gagalnya sistem pendidikan mencetak anak didik yang berkepribadian mulia.Di sinilah dibutuhkan sistem pendidikan Islam di mana ideologi Islam dasarnya, bukan sekuler kapitalis. Dengan adanya pehamaman ideologi yang benar, maka output dari sistem pendidikan diharapkan berakhlak mulia, ammar ma’ruf nahi munkar.

Lantas, apakah perbaikian sistem pendidikan cukup untuk mengatasi hal ini? Tentu saja tidak. Orangtua memiliki peran cukup penting dalam hal mendidik dan mengawasi anak-anaknya. Merekalah orang terdekat dari anak-anak. Namun sayangnya, di era sekuler ini kebanyakan orangtua disibukkan dengan mencari nafkah sehingga abai pada pendidikan anaknya. Jika demikian, tentu saja negara memiliki peran penting di sini yaitu dalam hal memberikan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak bagiù masyarakat. Ketika kebutuhan keluarga sudah terpenuhi diharapkan orangtua bisa lebih fokus pada anak-anaknya.

Pencegahan kasus bullying ini berarti tidak bisa dilakukan hanya dalam salah satu sisi saja, melainkan harus secara kompeherensif. Sistem Pendidikan, hukum, keluarga, dan masyarakat harus mengambil peran masing-masing. Sementara itu, Islam memiliki sistem sempurna yang menjamin terbentuknya kepribadian yang mulia baik di keluarga, sekolah maupun Masyarakat. Lalu, bukankah sudah saatnya kita kembali pada Islam secara kaffah?

wallahu a’lam bishawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here