Oleh: Widiawati, A.Md A.B (Aktivis Muslimah Kalteng)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pekerja atau buruh merupakan kebiasaan atau tradisi di beberapa negara termasuk Indonensia. Tujuannya sebagai salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja atau buruh dan keluarganya dalam merayakan Hari Raya keagamaan. Kebijakan ini ditujukan agar meningkatkan aspek kesejahteraan dan perlindungan bagi para pekerja.
Tunjangan Hari Raya (THR) selalu dinanti-nanti oleh rakyat, baik pegawai Negara maupun swasta. Betapa tidak, selama ini rakyat hanya mendapatkan gaji rutin setiap bulan, sedangkan ketika Ramadan mereka biasanya mendapatkan THR sebesar satu kali gaji. Maka pada bulan itu rakyat mendapatkan dua kali gaji.
Dikutip dari CNN Indonesia pada Maret 2024 bahwa Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republika Indonesia (MenPAN-RB) Abdullah Azwar Anas mengatakan tenaga honorer yang ada di Kementerian/Lembaga (K/L) tidak akan mendapatkan Tunjangan Hari Raya. “Honorer tidak dapat (THR) kecuali yang sudah diangkat PPPK” ujarnya dalam konferensi perse TH, Jumat 15 Maret 2024.
Pemerintah telah memutuskan pejabat-pejabat yang berhak menerima THR dan gaji ke-13, mereka adalah Presiden dan Wakil Presiden, Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota MPR dan Anggota DPR dan para menteri lainnya. Keputusan Pemerintah terkait pihak pihak yang berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) berpotensi menimbulkan kecemburuan social antar pegawai, pasalnya THR hanya diberikan pada sebagian masyarakat yang berstatus Pejabat Negara dan Pegawai Negara sementara pegawai honorer, pekerja swasta, petani, buruh, pedagang tidak mendapat bagian.
Padahal anggaran THR berasal dari APBN atau APBD yang notabennya salah satu sumber pendapatan dari pajak seluruh rakyat. Ibarat kata semua rakyat wajib membayar pajak namun hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Kondisi ini merupakan keniscayaan akibat sistem batil yang diterapkan penguasa yaitu Sekularisme Kapitalisme, sistem ini tidak mampu memberikan keadilan karena menafikkan peran Allah dalam kehidupan. Dalam sistem ini manusia mengatur urusan mereka sesuai dengan kepentingan maka lahirlah hukum rimba yang berkuasa akan semakin kaya dan yang lemah akan semakin miskin.
Sistem ekonomi kapitalisme yang dijalankan ini, berakibat pada buruknya tatakelola pendapatan negara. Sehingga wajar jika negara akan hitung-hitungan dalam mengeluarkan dana. Sumber pendapatan negara hanya terfokus pada pajak dan hutang.
Sistem ini juga telah membuat kemiskinan semakin esktrim. Gaji yang tak sepadan dengan pengeluaran. Harga kebutuhan pokok yang kian hari kian naik. Makin menambah beban hidup rakyat. Wajarlah jika rakyat atau pekerja merasa THR adalah bagian dari angin segar kehidupan sesaat.
Kondisi ini berbeda dengan sistem Islam. Ketika Islam diterapkan dalam sebuah negara maka negara akan memiliki 12 pos penerimaan tetap. Syekh Abduk Qadim Zallum menjelaskan dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah bahwa terdapat tiga bagian pemasukan Negara.
Pertama, bagian fai dan kharaj yang meliputi seksi ganimah (mencakup ganimah, fai, dank humus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai dan seksi dharibah (pajak).
Kedua, bagian pemilikan umum meliputi seksi migas, seksi listrik, seksi pertambangan; seksi laut, sungai, perairan , dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; dan seksi asset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.
Ketiga, bagian sedekah meliputi seksi zakat, uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian, dan seksi zakat ternak.
Dengan demikian total ada 15 seksi pemasukan bagi baitulmal. Dengan banyaknya pos pemasukan ini, wajar pemasukan negara sangat besar hingga mampu mensejahterakan rakyatnya dengan kesejahteraan hakiki yaitu terpenuhinya sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi tiap-tiap individu rakyat secara kontinu, bukan hanya pada momen-momen tertentu seperti Hari Raya.
Adapun terkait THR, praktik di Utsmaniyah menunjukkan bahwa Khalifah dan penguasa lainnya membuka pintu rumah mereka selama Ramadan dan menyediakan hidangan berbuka puasa kepada masyarakat umum. Putri Sultan Abdul Hamid II menyebutkan bahwa sang Sultan memberikan hadiah kepada para tamunya, terutama rakyat miskin. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan sistem kapitalisme saat ini.
Sedangkan pada Idul Fitri, para Khalifah Utsmaniyah mengadakan perayaan Seker Bayrami selama tiga hari penuh. Sepanjang perayaan, negara berbagi cokelat, baklava, dan permen bonbon. Praktik yang dijalankan Khalifah Utsmaniyah ini tentu akan menjadi inspirasi bagi Khalifah berikutnya saat Islam diterapkan dalam negara. Mekanisme pemberian THR jauh berbeda dengan cara kapitalisme yang setengah hati.
Demikianlah gambaran Idul Fitri penuh kebahagiaan dalam negara yang menerapkan sistem Islam. Penguasa mensejahterakan rakyatnya selama setahun penuh, bukan kesejahteraan sesaat ketika lebaran. Penguasa juga mengalokasikan anggaran negara untuk kebahagiaan rakyatnya pada momen Idul Fitri dengan banyak memberikan sedekah bagi rakyat yang membutuhkan. Demikianlah yang seharusnya umat Islam dapatkan dari penguasa yang menjalankan sistem Islam.
Views: 14
Comment here