Surat Pembaca

Korupsi, Seolah Tiada Henti

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA— Kasus korupsi tak ada matinya di negeri ini. Kejaksaan agung (Kejagung) baru saja menetapkan Harvey Moeis, dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk. (TINS) periode 2015-2022. Harvey Moeis (HM) ditetapkan sebagai tersangka baru oleh Kejagung, pada Rabu (27/3/2024) atau menjadi tersangka ke-16 dalam perkara korupsi, yang diduga menelan kerugian ekologis senilai Rp271 triliun tersebut. Kejaksaan agung mengawali penyidikan kasus sejak Oktober 2023. Pengungkapan kasus ini pun diumumkan berurutan, terhitung sejak Januari 2024. Toni Tamsil dari pihak swasta, menjadi tersangka pertama dalam kasus ini, lantaran berupaya menghalang-halangi penyidikan pada Selasa, 30 Januari 2024. Kemudian, Kejagung mulai menetapkan tersangka secara bergiliran, termasuk tiga orang diantaranya merupakan penyelenggara negara atau petinggi PT Timah. (www.kabar24bisnis.com)

Kasus korupsi yang terus berulang di negeri ini adalah bukti kerusakan dan kegagalan sistem yang diterapkan di negeri ini, yaitu Kapitalisme-Sekulerisme. Sistem yang menjadi asas dalam bernegara ini, tidak akan pernah mampu memberantas korupsi. Sekularisme, yakni pemisahan aturan agama dari kehidupan, telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Saat para pejabat menjalankan kekuasaan, bukannya amanah, malah menjadi penghianatan rakyat. Kekuasaan diterjemahkan sebagai ladang tempat mengumpulkan harta, meski dengan cara haram sekalipun. Kekuasaan, dijadikan alat untuk memukul siapa pun yang menghalangi kepentingan mereka. Kebijakan yang dirumuskan juga bukan untuk rakyat, tetapi untuk melindungi kepentingan kolega dalam lingkaran oligarki kekuasaan. Walhasil, menyelesaikan kasus korupsi dengan sistem Kapitalisme-Sekulerisme hanyalah mimpi di siang bolong.

Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan rincian keharaman hukum seputar harta yang didapat dengan kecurangan. Khusus untuk para pejabat, Islam telah menetapkan sejumlah aturan yang melarang mereka mendapatkan harta diluar gaji/pendapatan mereka dari negara. Itulah yang disebut sebagai kekayaan gelap menurut pandangan Islam. Adapun aturan Islam terkait harta adalah sebagai berikut:

Pertama, Islam telah mengharamkan segala bentuk suap atau riswah untuk tujuan apapun. Suap adalah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak dengan cara yang batil atau membatalkan hak orang atau agar haknya didahulukan dari orang lain.

“Rasulullah SAW telah melaknat penyuap dan penerima suap.”
(HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Kedua, dalam Islam dilarang menerima hadiah (gratifikasi). Nabi SAW pernah menegur seorang amir zakat yang beliau angkat, karena terbukti menerima hadiah saat bertugas dari pihak yang dipungut zakatnya.

Beliau SAW bersabda:
“Hadiah yang diterima oleh penguasa adalah kecurangan.”
(HR. al-Baihaqi)

Ketiga adalah menerima komisi. Komisi sebenarnya adalah hal yang halal dalam muamalah. Namun, jika seorang pejabat menggunakan kedudukannya/kekuasaannya untuk memuluskan suatu transaksi bisnis atau ia mendapatkan komisi dari suatu proyek, maka itu adalah cara kepemilikan harta yang haram.

Sayangnya dalam dunia bisnis kapitalis, seperti sudah menjadi kemestian, jika pengusaha harus memberikan komisi sebagai upeti kepada para pejabat agar mereka mendapatkan proyek atau ketika dana proyek sudah cair.

Keempat adalah tindakan korupsi. Di dalam Islam, korupsi termasuk tindakan kha’in (penghianatan). Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat negara dengan sewenang-wenang, baik dengan memanipulasi atau pun melakukan tekanan kepada pihak lain untuk menyerahkan sejumlah harta yang bukan haknya.

Dalam aturan Islam, para pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram diberikan hukuman yang berat. Pada masa Rasulullah SAW, para pelaku kecurangan seperti korupsi, selain harta curangnya disita, pelakunya di-tasyhir (diumumkan kepada khalayak). Pada masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab RadhiyaLlaahu’anhu, untuk mencatat harta kekayaan para pejabatnya saat sebelum dan setelah menjabat. Jika Khalifah Umar merasa ragu dengan kelebihan harta pejabatnya, ia akan membagi dua hartanya dan memasukkan harta itu ke Baitul Maal. Pemberantasan korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas, karena dibangun atas ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan pelaksanaan hukum Islam oleh negara Khilafah.

Wallahu a’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here