Opini

Babysitter Aniaya Balita, Buah Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)

wacana-edukasi.com, OPINI— Kasus kekerasan anak kembali menjadi sorotan publik. Kali ini anak selebgram Hifdzan Silmi Nur Emyaghnia atau akrab disapa Aghnia Punjabi, JAP (3), menjadi korban kekerasan pengasuhnya, IPS. Aghnia Punjabi mengunggah foto sang putri dengan mata kiri lebam yang tampak sulit terbuka, telinga memar, serta guratan luka di pipinya. Kasatreskrim Polresta Malang Kota Kompol Danang Yudanto mengatakan, motif IPS melakukan kekerasan terhadap korban karena kesal saat anak berusia 3 tahun itu menolak untuk diobati dan beberapa faktor pendorong personal lainnya, yakni salah satu anggota keluarga tersangka yang sedang sakit. (www.kompas.com)

Berulangnya kasus kekerasan terhadap anak, menjadi bukti anak tidak mendapat jaminan keamanan bahkan dalam keluarga. Kasus ini merupakan fenomena gunung es, yang berarti lemahnya jaminan perlindungan atas anak di negeri ini, bahkan di tingkat keluarga. Hal ini semakin ditegaskan dengan data yang menunjukan banyaknya kasus kekerasan pada anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan, ada 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan pada 2023. Untuk jumlah kekerasan fisik terhadap anak tercatat sebanyak 4.205 kejadian. Ada pula 3.800 kekerasan psikis pada anak yang terjadi pada 2023. (www.nusantaranews.net)

Data tersebut menggambarkan betapa anak-anak di negeri ini tidak mendapat perlindungan yang semestinya dilakukan semua pihak, baik keluarga, masyarakat maupun negara. Kondisi ini merupakan sebuah keniscayaan ketika kehidupan diatur tidak menggunakan syariat Islam, namun diatur oleh sistem yang berlandaskan materi. Sistem Sekularisme Kapitalisme membuat keluarga, masyarakat maupun negara tidak memahami kewajiban mereka dalam memberikan perlindungan hakiki untuk anak. Salah satu buktinya, legalisasi UU P-KDRT maupun UU Perlindungan Anak yang bahkan sudah mengalami dua kali revisi. UU ini nyatanya mandul, ketika kasus kekerasan terhadap anak tetap saja marak terjadi. Inilah buah penerapan sistem Sekulerisme Kapitalisme, sistem ini hanya memberikan kehidupan yang buruk bagi anak-anak.

Sangat berbeda dengan Perlindungan Anak yang diatur menggunakan sistem Islam. Islam memahami benar potensi dan kebutuhan anak-anak. Secara fitrah, anak berhak memperoleh perlindungan dan kasih sayang di manapun dia berada, baik ketika berada di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan negara. Secara fakta, anak-anak merupakan generasi yang akan menjadi pengisi sebuah peradaban. Maka dari itu, Islam mewajibkan semua lapisan masyarakat tersebut memahami pentingnya perlindungan anak dan berperan serta mewujudkannya.

Dari sisi keluarga, Islam mewajibkan seorang ibu menjadi al-Umm wa Rabbatul Bayt dan madrasah al-ula bagi anak-anaknya. Peran ibu yang demikian sangat strategis untuk mencetak generasi berkualitas. Ibu berkewajiban mengasuh, mendidik, menjaga dan merawat anak-anak mereka di rumah. Sementara itu, Islam mewajibkan seorang ayah sebagai qawwam dalam rumah tangga, yang wajib mencari nafkah serta menjaga keluarganya senantiasa taat kepada Allah SWT, sehingga terwujudlah sinergi ayah dan ibu dalam mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Konsep ini memberikan perlindungan pertama bagi anak-anak.

Perlindungan selanjutnya, diwujudkan oleh masyarakat. Secara fakta, masyarakat menjadi lingkungan untuk tumbuh kembang anak. Karena itu, Islam mewajibkan masyarakat menjadi pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan, melalui sistem sosial Islam. Masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar kepada siapa pun. Keberadaan negara mutlak dibutuhkan dalam perlindungan anak, sebab negara memiliki semua instrumennya. Karena itu, Islam mewajibkan negara hadir sebagai ra’ain (pelayan) dan junnah (perisai) rakyatnya, termasuk memberikan perlindungan kepada anak melalui berbagai mekanisme.

Melalui sistem ekonomi Islam, negara akan menjamin secara tidak langsung kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan setiap anak, yaitu melalui jaminan lapangan pekerjaan bagi ayah-ayah mereka. Selanjutnya, negara akan menjamin secara langsung kebutuhan dasar publik, berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan setiap anak. Jaminan secara langsung dari negara akan membuat setiap anak bisa mendapatkan kebutuhan tersebut secara gratis dan berkualitas, sehingga kesejahteraan bisa dirasakan oleh anak-anak. Melalui sistem pendidikan Islam, negara mampu membentuk generasi berkepribadian Islam dan berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Atha’ bin Khalil, dalam kitabnya Usus at-Ta’lim fi Daulah Al-Khilafah.

Melalui sistem sanksi Islam, negara akan memastikan pelaku kejahatan bagi anak, mendapatkan hukuman yang setimpal akibat tindakan kriminalnya. Dalam Islam, dorongan perlindungan kepada anak-anak bukan sekedar karena kondisi fitrah mereka. Lebih dari itu, memberi perlindungan kepada anak-anak merupakan perintah Allah SWT, karenanya perlindungan anak dalam Islam didasari karena dorongan akidah Islam.

Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (TQS. An-Nisa: 9)

Namun, semua ini hanya akan menjadi konsep manakala Islam tidak diterapkan secara praktis oleh institusi negara. Oleh karena itu, keberadaan institusi Khilafah Islamiyyah menjadi sebuah kebutuhan sebagai wujud perlindungan anak yang hakiki.

Wallahu a’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 16

Comment here