Oleh: Naura Azla Gunawan (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Angka penurunan pernikahan terjadi di Indonesia menurut BPS (Badan Pusat Statistik) diakhir tahun 2023 mencapai titik terendah dibandingkan dengan tahun 1997/1998 pada saat krisis moneter. Data yang disajikan dalam Laporan Statistik Indonesia bersumber dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, yang mencakup pernikahan bagi masyarakat beragama Islam. (Songgolangi.pikiran-rakyat.com, 09/03/2024)
Penurunan angka pernikahan ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja tetapi sebelumnya sudah banyak terjadi di negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Singapura, Tiongkok, dan Korea Selatan yang sudah lebih dulu memliliki permasalahan dan belum menemukan solusi yang tepat untuk menyikapinya.
Faktor-faktor yang mendorong turunnya angka pernikahan di Indonesia pada beberapa dekade terakhir ialah dikarenakan faktor ekonomi yang merupakan alasan utama dimana paradigma masyarakat merasa apabila memiliki keluarga dan anak dianggap sebagai beban ekonomi yang tinggi. Selain itu, keinginan fokus pada karir juga menjadi alasan mengapa beberapa individu apalagi perempuan menganggap pernikahan tidak penting. Faktor lain yang turut berpengaruh adalah kondisi personal seperti trauma, broken home atau kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Lalu ada juga perubahan paradigma terkait pernikahan, khususnya dari aspek perempuan, seperti di Jepang dan negara lain saat ini juga terjadi di Indonesia. Perubahan paradigma ini disebabkan oleh privatisasi kehidupan sosial dan hilangnya ikatan moral dan kepercayaan pada institusi keluarga. Bagi perempuan, karier atau pekerjaan lebih penting daripada menikah. Setelah karier, pendidikan dan rekreasi pribadi lebih penting daripada menikah. Perempuan melihat pernikahan sebagai sesuatu hal yang belum tentu bisa menjamin kebahagiaan dan melindungi mereka. Inilah yang menjadi alasan bagi perempuan dalam memilih untuk tidak memprioritaskan pernikahan dalam kehidupan mereka.
Pada akhirnya, peningkatan otonomi perempuan dan pergeseran paradigma tentang pernikahan akan berdampak pada pembentukan keluarga. Sebab, posisi perempuan dalam keluarga sangat strategis secara sosiologis, terutama berkaitan dengan fungsi reproduksi atau memperbanyak keturunan.
Terlepas dari perubahan paradigma ini, bahwa keluarga dan pernikahan secara formal tetap sangat dibutuhkan dalam tatanan sosial masyarakat. Pernikahan dan membangun keluarga memang hak setiap individu. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa ketika kaki mulai lelah dalam menapaki perjalanan, keluarga yang utuh dan saling mendukung akan selalu menjadi tempat yang paling aman dan nyaman untuk pulang.
Perubahan zaman mengakibatkan bergesernya pemikiran perempuan atas fitrahnya sebagai Al-Umm (Ibu) Madrasatul Uula. Saat ini perempuan dieksploitasi dengan adanya kesetaraan gender lalu tren independent woman. Hal ini terjadi karena arus lingkungan dan negara yang terus menggerus perempuan meninggalkan fitrahnya tersebut. Kesetaraan gender ada karena perempuan ingin menunjukkan bahwasannya pekerjaan atau tugas laki-laki juga bisa dikerjakan oleh perempuan. Pemikiran ini diakibatkan adanya persepsi bahwa perempuan selalu di nomor duakan, dalam aspek bekerja misalnya gaji perempuan lebih sedikit dibandingkan lelaki. Lalu tren independent woman merupakan kesempatan para pemimpin perusahaan dan negara untuk memanfaatkan perempuan dengan memeras keahlian mereka untuk bekerja dan terus bekerja demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Dieksploitasinya perempuan dalam berbagai hal bukanlah sesuatu yang pantas mereka dapatkan. Sehingga solusi yang tepat untuk permasalahan ini adalah dengan melihat akar permasalahannya. Sebab akar permasalahan ini ada pada penerapan sistem kapitalisme sekuler yang mengagungkan ide kesetaraan gender. Pada kenyataannya, ide kesetaraan gender adalah ide yang tidak sesuai dengan syariat dan bersifat fasad (rusak). Atas nama keadilan dan kesetaraan, kaum perempuan dipaksa bekerja, meskipun syariat Islam tidak mewajibkannya. Alhasil, tidak jarang kaum perempuan terpaksa menanggung tanggung jawab yang berat. Maka dari itu, solusi yang tepat adalah mengubah sistem yang diterapkan saat ini dengan sistem Islam yang hanya ada dalam negara dengan penerapan hukum yang sesuai fitrah manusia yakni hukum syara’ dalam balutan negara Khilafah Islamiyah.
Dari sini kita memahami bahwa ibu memiliki peran dan sifat yang memang diciptakan oleh Allah sebagai pengasuh dan pendidik terbaik bagi anak. Umat Islam harus menyadari bahwa menyerahkan madrasatul uula (sekolah pertama) kepada al-umm (ibu) adalah keputusan yang tepat. Secara bahasa, kata “al-umm” hanya dapat digunakan untuk mengacu pada ibu. Dalam Kamus Munawwir pun ditemukan bahwa “ummun” berarti “ibu atau bunda”. Oleh karena itu, ketika madrasatul uula disandarkan kepada orang tua, yang dapat berupa ayah atau ibu, ini jelas melanggar konsep bahasa, tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak masuk akal.
Dengan demikian, konsep pengalihan madrasatul uula dari ibu menjadi ke orang tua atau keluarga, perlu mendapat perhatian. Harus di waspadai adanya upaya kaum feminis untuk memalingkan peran ibu dari peran utama dan strategisnya, sekaligus peran mulianya sebagai ibu generasi menjadi sekadar mesin kapitalisme.Ketika ini terjadi, bukan saja akan berpengaruh kepada kondisi anak, tetapi lebih parahnya lagi, terjadi pelalaian seorang ibu terhadap kewajibannya. Inilah yang harus diluruskan.
Selain itu, peran ibu sebagai guru pertama anak berkaitan erat dengan tanggung jawabnya dalam mengasuh anak. Dalam Islam, ibulah yang paling berhak untuk mengasuh anaknya. Dalam konsep fikih yang dijelaskan dalam kitab Nizhamul Ijtima’iy karya Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa hadanah (pengasuhan anak) bertujuan agar anak-anak terhindar dari kebinasaan. Artinya, seorang ibu memiliki tanggung jawab dan peran penting dalam pertumbuhan anak hingga mereka mumayiz, yaitu saat mereka dapat membedakan antara hal-hal yang baik dan buruk, biasanya menjelang usia 7 atau 8 tahun.
Islam tidak mengecilkan peran ayah dalam peran ibu, meskipun Islam memberikan peran penting kepada perempuan sebagai seorang ibu, yaitu menjadi madrasah pertama dan pengasuh utama bagi anak-anaknya. Seorang ayah juga bertanggung jawab atas pendidikan istri dan anaknya, termasuk biaya dan materi pendidikan. Sangat tidak benar jika hanya ibu yang bertanggung jawab untuk mendidik anaknya; namun, tidak dimungkiri bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab utama ibu.
Seorang ayah tidak boleh masa bodoh, keras, kaku, atau kasar terhadap keluarganya saat menjalankan perannya. Ia harus mengenakan perhiasan yang menunjukkan akhlak mulia, serta penuh kasih sayang dan belas kasihan. Keluarga adalah amanat yang harus dijaga, baik secara fisik maupun spiritual. Ayah memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari neraka. Ini menunjukkan bahwa pendekatan penjagaan tersebut bukan hanya berorientasi pada dunia, tetapi juga pada akhirat.
Dengan demikian, penurunan angka pernikahan di dunia bukanlah solusi untuk menyejahterakan kehidupan. Tetapi dengan penerapan aturan Islam secara keseluruhan akan mampu membawa perempuan dan laki-laki pada fitrahnya hingga tidak menjadikan pernikahan sebagai munculnya bahaya.
Views: 14
Comment here