Oleh: Nana Juwita, S. Si.
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Para ibu rumah tangga semakin pusing mengatur keuangan. Pasalnya, harga bahan pokok mengalami kenaikan, termasuk gula. Bukan saja ibu rumah tangga, masyarakat yang memiliki usaha menjual makanan dan minuman juga terkena imbasnya. Mau tidak mau mereka harus menaikkan harga penjualan. Mereka juga harus putar otak untuk membuat dagangan tetap laku dengan tetap menjaga kualitas produknya.
Ironi memang, negeri yang subur dan memiliki lahan luas seperti Indonesia kelangkaan gula bisa terjadi, sehingga negara mengandalkan impor gula.
Soemitro Samadikoen selaku Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyampaikan, kenaikan harga gula di tingkat konsumen terjadi karena ketersediaannya yang kurang, ditambah pemerintah tidak memiliki stok atau cadangan gula nasional. Sehingga saat harga gula tengah bergejolak seperti saat ini, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi harga, (cnbcindonesia.com)
Sementara itu, menurut Direktur Jenderal Perdagangan dalam Negeri, Isy Karim menegaskan bahwa ketersediaan stok gula di dalam negeri masih relatif aman, apalagi pada Mei 2024 sudah memasuki musim giling tebu. Berdasarkan catatan Kementrian dalam Negeri (Kemendag), stok gula di BUMN dan swasta lebih dari 330 ribu ton. Isy menyebut, jumlah tersebut cukup untuk satu bulan, (liputan6.com).
Selain itu, Arief Prasetyo Adi selaku Kepala Badan Pangan Nasional (BAPANAS) menyatakan bahwa pihaknya telah merelaksasi harga gula dengan menaikkannya di tingkat konsumen menjadi Rp17.500 per kg hingga Mei mendatang. Kenaikan itu terjadi lantaran adanya permintaan dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) terhadap harga acuan pembelian (HAP) bahan-bahan pokok seperti beras dan gula, (Cnnindonesia.com )
Dari paparan di atas tampak bahwa, mahalnya gula karena tataniaga kacau, yang memungkinkan adanya praktek permainan harga oleh ritel, penimbunan dan monopoli. Mirisnya solusinya adalah pematokan harga dan membuka keran impor. Semua itu mengakibatkan ketidakstabilan harga pangan. Beginilah ciri khas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang syarat dengan monopoli pasar yaitu memberikan peluang keuntungan bagi mereka yang memiliki modal besar. Kelangkaan yang terjadi di sistem ekonomi kapitalisme ini bisa jadi merupakan ulah para pengusaha ataupun pedagang yang sengaja menimbun barang demi untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Karena landasan dari ekonomi kapitalisme adalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan halal haram.
Ciri lain dari sistem ekonomi kapitalisme adalah bahwa negara lebih berfokus pada produksi barang, tanpa mengontrol bagaimana proses distribusi barang berjalan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga menyebabkan harga barang dipermainkan oleh pihak-pihak tertentu dalam rangka untuk mendapatkan untung yang besar. Sementara penetapan harga oleh negara terkesan lebih berpihak kepada pengusaha saja. sedangkan rakyat semakin merasa kesulitan dengan adanya kenaikan harga acuan penjualan.
Pandangan Islam
Adanya kenaikan harga gula disebabkan karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang berbasis pada cara pandang bagaimana manusia mendapatkan keuntungan yang besar dengan cara apapun. Intinya manusia bebas melakukan transaksi jual beli sekalipun dengan cara yang tidak sesuai dengan syariah. Sementara ekonomi dalam sistem Islam memandang bahwa negara menjamin atas terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat, kewajiban ini dibebankan pertama kali kepada kaum laki-laki sebagai kepala rumah tangga, yang bertanggung jawab atas nafkah anggota keluarganya.
Sistem ekonomi Islam melarang masyarakat untuk menimbun barang dengan sengaja karena menunggu saat harga barang-barang tersebut naik, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, yang mengakibatkan warga setempat sulit untuk membelinya. Islam melarang kecurangan dan penipuan dalam perdagangan karena landasan setiap perbuatan adalah aqidah Islam, umat yang hidup di dalamnya hanya mencari keberkahan bukan semata-mata untuk mencari keuntungan. Umat yang hidup di dalam sistem Islam akan mengembangkan hartanya untuk dijadikan modal produktif misalnya dengan membuka usaha perdagangan barang, jasa, mendirikan pabrik ataupun sejenisnya. Atau dalam bentuk sistem bagi hasil (partnership) yang sesuai syariah, atau umat juga dapat menginfaqkan, mewakafkan, juga bersedekah, memberi hadiah dan lain-lain untuk kepentingan kemaslahatan umat. Dengan ini maka perputaran mata uang menjadi lancar di dalam negara dan terjadilah pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Islam secara mutlak melarang penimbunan dan hukumnya haram. Sebab, ada larangan yang tegas di dalam hadis. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Said bin al-Musayyab, dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi ra., bahwa Nabi Saw. Bersabda:
Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah (HR Muslim).
Inilah gambaran penerapan sistem ekonomi Islam, di mana negara akan mengontrol distribusi barang di tengah-tengah masyarakat, agar negara dapat memastikan kondisi umat terjamin terutama terhadap kebutuhan pokoknya. Negara juga akan mengelola secara mandiri pabrik-pabrik gula yang ada dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan untuk kepentingan bisnis. Sementara petani tebu tidak akan dirugikan oleh negara karena adanya import, sebab di dalam sistem ekonomi Islam import tidak akan dilakukan ketika pasokan bahan pokok di dalam negara masih tersedia. Karena sejatinya sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw:
Seorang Imam (kepala negara) adalah pemimpin (yang mengatur dan memelihara) urusan rakyatnya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap orang-orang yang dipimpinnya itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu sudah saatnya umat berpaling dari landasan ekonomi kapitalisme yang banyak memberikan kemudaratan, mengganti ekonomi kapitalisme dengan ekonomi yang berlandaskan Islam, agar hidup berkah di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam Bisshawab
Views: 11
Comment here