Opini

Proyek Raksasa Asing, Menguntungkan atau Merugikan Indonesia?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI-– Alih-alih untuk ketahanan pangan, kenapa tidak bertujuan langsung untuk kedaulatan pangan? Realistiskah, ketika lahan yang dipersiapkan belum diuji coba langsung tapi berencana menjalankan proyek baru dalam skala besar? Bukankah proyek ketahanan pangan sebelumnya belum maksimal menghasilkan?

Rencana kembali gandeng Cina untuk kerjasama dalam proyek besar, hal ini diketahui dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang sangat berambisi untuk menggarap sawah di Kalimantan Tengah.

Kesepakatan kerjasama tersebut menjadi salah satu hasil dari pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam ajang High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI–RRC di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4).

Menteri Luhut menegaskan bahwa realisasi investasi terkait agrikultur demi mewujudkan ketahanan pangan yang cukup mendesak untuk dilakukan. Oleh karena itu, Luhut gencar mendorong kolaborasi dalam adopsi modelling Cina dalam bidang riset dan teknologi pertanian, serta penguatan kualitas produk pertanian, terutama untuk padi.

Rencananya proyek ini akan dilaksanakan pada Oktober 2024. Jika yang dimaksud proyek ini untuk transfer teknologi dan benih padi hibrida asal cina. Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yudhistira Nugraha mengingatkan bahwa perawatan varietas hibrida membutuhkan syarat-syarat yang rumit serta sifat lahan pasang surut yang akan ditanami tersebut. “Setahu saya di Cina tidak ada lahan pasang-surut dengan sifat sulfat masam seperti di Indonesia,” tempo(dot)com.

Mengutip BBC News Indonesia yang mencoba mengonfirmasi soalan teknologi China serta lokasi proyek ini ke dua pejabat Kementerian Luar Negeri, tiga pejabat Kementerian Pertanian, dan dua pejabat Badan Pangan Nasional (Bapanas), mereka tidak merespons, dan menolak berkomentar, bahkan menyarankan agar meminta penjelasan langsung dari Luhut.

Di antaranya, Abdul Kadir Jailani, Direktur Jenderal Asia, Pasifik, dan Afrika Kementerian Luar Negeri, mengatakan, “Sebaiknya ditanyakan langsung ke Menkomarves [Luhut].”

Di samping itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengkritik wacana penggunaan lahan sebanyak 1 juta hektare di Kalimantan Tengah untuk penerapan adaptasi sawah padi dari Cina. Beliau menekankan perlunya konsisten terkait meningkatkan ketahanan pangan. Mengingat pengalaman food estate sejak zaman pemerintahan Soeharto pada 25 tahun lalu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo dengan luas tanah yang dipakai juga berjuta hektare, namun ujungnya gagal.

Begitupun penting diperhatikan ciri khas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang hampir seluruhnya dialiri oleh sungai besar maupun kecil, serta mengalir dari utara ke selatan dan bermuara di laut Jawa. Ada 11 sungai besar dan tidak kurang dari 33 sungai kecil/anak sungai yang merupakan potensi alam yang dapat dikembangkan.

Mengutip media AntaraNews, sedana yang disampaikan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc, seorang peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menulis pentingnya mengenal watak tanah-tanah di Kalimantan. Sebab di balik tutupan lahan (land cover) yang menghijau di belahan bumi Kalimantan faktanya terdapat berbagai tanah yang berwatak seperti ‘macan tidur’ yang berbahaya. Ia siap memangsa siapa saja yang membuka lahan tanpa memahami karakteristik tanah Kalimantan.

Tanah-tanah di Kalimantan sifat umumnya tergolong tanah yang rentan (fragile). Nampak memang subur dalam ekosistem tertutup seperti hutan alami, tetapi segera menjadi marjinal ketika sistem tersebut dibuka untuk pertanian, perkebunan, dan permukiman sehingga membutuhkan manajemen dan teknologi yang tepat.

Pertanyaannya, andaikan berhasil siapakah yang lebih diuntungkan? Rakyat?

Di sisi lain, tanda tanya besar, mengapa mitigasi kegagalan membangun lumbung pangan justru tidak dilakukan? Kenapa tidak berdayakan serta memberikan solusi untuk petani lokal? Faktanya banyak dari petani yang mengalami kegagalan dan berakhir meninggalkan lahan/dijual. Ironinya ketika memilih bertahan justru didapati minim dukungan dalam pengelolaannya? Akibatnya petani makin pesimis bahkan ada yang memilih pensiun sebagai petani.

Kedaulatan Pangan Bukan Sekedar Ketahanan

Dilansir CNBC Indonesia, tahun ini Perum Bulog ditugaskan rezim untuk impor beras sebanyak 1,6 juta ton. Sebelumnya pada akhir tahun 2023 sebanyak 2 juta ton. Padahal, di awal tahun ini, Bulog masih harus merealisasikan pemasukan 500.000 ton beras impor. Ini merupakan bagian dari penugasan kepada Bulog untuk impor tahun 2023 yang mencapai 3,5 juta ton.

Jika diselesaikan impor sampai akhir tahun 2024, rezim cetak rekor baru impor beras terbanyak yakni mencapai 4,1 juta ton. Sementara Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi enggan menjawab lebih detail soal alasan sebenarnya rezim menambah kuota impor beras Bulog untuk tahun ini.

Jika alasannya untuk ketahanan pangan dalam negeri, mengapa tidak fokus menuju kedaulatan pangan? Seolah kini nampak makin pahit dirasakan, realita hidup di negara Indonesia yang merupakan negeri agraria, tapi mengapa bisa sampai impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya?

Mengingat kebutuhan pangan dalam negeri yang besar, maka sudah kewajiban negara berkomitmen dengan serius mengembangkan ekosistem kedaulatan pangan tanpa bergantung pada negara luar.

Jika kebijakan program lumbung pangan/food estate ini betul-betul bertujuan membangun kemandirian serta kedaulatan pangan seperti yang direncanakan oleh rezim penguasa yang tertulis dalam Nawacita sejak 2014. (nasional(dot)kompas(dot)com). Selayaknya direncanakan dengan matang bukan seolah tergesa-gesa dengan merencanakannya 6 bulan harus segera berjalan. Mengingat tanah daerah yang dituju bukan tanah yang mudah ditanami tumbuhan lain.

Waspada Jebakan Utang Berkedok Bantuan

Mengutip Republika(dot)co(dot)id, negara Amerika Serikat (AS) menjadi pihak yang telah berulang-kali menuduh China menerapkan jebakan utang pada negara-negara berkembang. Bukan tanpa sebab, berbagai negara di Afrika mulai menunjukkan gejalanya.

Diantaranya ada Uganda di tahun 2021 dikutip dari CNBC, menjadi salah satu negara yang tersandung ‘jebakan’ utang China dan diduga harus merelakan Bandara Internasional Entebbe, yang merupakan satu-satunya bandara internasional yang menangani lebih dari 1,9 juta penumpang per tahun akibat gagal bayar (default).

Bahkan negara lainnya seperti Sri Lanka juga harus merelakan pelabuhan dan bandara miliknya untuk dikelola oleh China karena gagal bayar utang. Termasuk Zimbabwe harus mengikuti keinginan China untuk mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Berlaku sejak 1 Januari 2016 setelah tidak mampu membayar utang jatuh tempo pada akhir Desember 2015 silam.

Nigeria juga merasakan nasib yang sama sebab China mensyaratkan penggunaan bahan baku serta buruh kasarnya asal China untuk pembangunan infrastruktur di negara tersebut.

Dilansir BBC, riset AidData yakni lembaga pembangunan internasional di William & Mary University, Amerika Serikat menemukan 50% pinjaman China ke negara-negara berkembang tidak dicantumkan dalam statistik utang resmi.
Pinjaman seringkali tidak dimasukkan ke dalam neraca keuangan pemerintah, melainkan diarahkan ke perusahaan dan bank milik negara, usaha patungan atau perusahaan swasta, bukan sebagai utang antar pemerintah.

Selayaknya rezim negeri ini belajar dari negara-negara yang disebutkan di atas, agar tidak mengalami hal serupa, dimana negara tersebut ujungnya berakhir terjebak dan harus merelakan fasilitas strategisnya tergadai.

Sayangnya, berharap di sistem kapitalisme-sekuler telah terbukti hanya pemilik kekuasaan dan pemodal yang lebih diuntungkan. Sementara rakyat seolah harus menelan pil pahit menerima kenyataan sistem hari ini tidak berpihak padanya. Berbagai bukti kebijakan yang telah dibuat lebih mengutamakan pemilik modal serta penguasa.

Kedaulatan Pangan Terwujud dengan Islam

Islam sebagai sebuah deen juga sistem yang memiliki dan mampu menyelesaikan persoalan pangan dari akar masalah. Tidak lagi sekedar mewujudkan ketahanan pangan saja, namun juga kedaulatan pangan. Yakni dengan memaksimalkan peran negara untuk bertanggung jawab penuh membantu para petani lokal. Apalagi pertanian adalah persoalan strategis.

Seandainya akan menjalin kerjasama dengan pihak asing, politik luar negeri Daulah (negara yang menerapkan sistem Islam) yang dijadikan sebagai pedoman. Yakni Daulah tidak akan tergantung pada modal swasta atau asing. Melainkan memaksimalkan SDA dalam negeri untuk dikelola dan dikembalikan kembali pada kebutuhan rakyatnya. Kalaupun ada kerjasama dengan negara luar (negara yang tidak menerapkan Islam) sebatas perdagangan, jual-beli putus. Sebagaimana dahulu Daulah pernah dilintasi para pedagang dari Cina melalui jalur sutra untuk mengirim barang dagangan.

Politik luar negeri Daulah Islam diterapkan di atas akidah Islam, yakni dengan menentukan kebijakan berdasarkan hukum syara’ halal-haram, bukan asaz manfaat apalagi kepentingan sekelompok ataupun individu-individu.

Dengan begitu, arah kebijakan senantiasa berporos untuk mencari ridho Allah dengan cara menjalankan amanahnya sebagai pelaksana hukum memberikan kesejahteraan baik untuk rakyat yang muslim maupun non muslim yang berada dalam naungan Daulah.

Maka, bukan bisa atau tidak bisa negeri ini berdaulat dalam pangan, tapi mau atau tidak berdaulat dalam pangan hanya dengan menerapkan sistem Islam yang terbukti secara empiris dan historis pernah menaungi 2/3 dunia, serta mengantarkan manusia pada peradaban yang tinggi dan mulia.

Sekiranya para pemilik kekuasaan sadar akan hadist dari Rasulullah saw. ketika beliau bersabda,

“Seorang imam adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.”

Selayaknya setiap pejabat niscaya berpikir ribuan kali saat menerapkan kebijakan serta kerjasama dengan negara luar hanya berdasar asaz manfaat dan kepentingan. Tidak lagi mengandalkan investasi dari luar negeri untuk mencegah adanya intervensi negara luar pada kebijakan dalam negeri.

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 22

Comment here