Oleh: Aneu Emitasari, S.Si, M.Ec.Dev.
(Aktivis Muslimah, Ngaglik, Sleman, DIY)
wacana-edukasi.com, OPINI– Baru-baru ini, sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia menaikan UKT (uang kuliah tunggal) hingga berlipat-lipat. Keputusan ini bisa memupus impian banyak anak muda yang semula ingin kuliah di Peguruan Tinggi Negeri (PTN). Kampus negeri yang dulu dikenal lebih terjangkau dibanding kampus swasta, kini biayanya makin melambung. Sejumlah mahasiswa juga terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan tinggi karena tidak mampu mengikuti kenaikan biaya kuliah.
Mahasiswa baru dari Unsoed misalnya, mengajukan keberatan atas kenaikan UKT hingga 100%. Nilai tersebut dianggap tidak masuk akal, apalagi baru disampaikan beberapa saat sebelum daftar ulang. Setelah kabar ini viral, pihak Unsoed akhirnya menerbitkan peraturan terkait UKT terbaru yang tertuang dalam Peraturan Rektor No. 9/2024. Isi aturan tersebut menerangkan bahwa pihak Unsoed tetap akan menyediakan UKT Level 1 dan 2, yaitu Rp500.000 dan Rp1.000.000 untuk 20% mahasiswa. (Kompas.com, 03/05/2024).
Sementara itu, menanggapi kritikan, protes, dan demo dari mahasiswa, Pemerintah melalui Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan kuliah atau pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier. Pendidikan wajib di Indonesia hanya 12 tahun, yakni SD, SMP hingga SMA. Oleh karena itu, pemerintah tidak memprioritaskan pendanaan bagi perguruan tinggi.
Akhirnya, setelah muncul gelombang protes yang sangat luas dan isu UKT mencuat viral di berbagai media termasuk media sosial, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengumumkan bahwa pemerintah membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) untuk tahun ini. Nadiem mengatakan akan mengevaluasi permintaan peningkatan UKT yang diajukan oleh perguruan tinggi negeri (PTN). Namun, ia mengatakan kenaikan UKT pada masa depan pun harus sesuai dengan asas keadilan dan kewajaran. (Kompas.com, 27/05/2024).
Kapitalisasi Pendidikan
Jika ditelusuri, biaya kuliah yang terus naik tidak terlepas dari kebijakan pemberian otonomi kampus yang termaktub dalam UU 12/2012. Kebijakan tersebut telah menjadikan PTN berlomba-lomba menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) agar bisa mandiri mengelola rumah tangganya. Beleid tersebut menjadikan PTN bebas bekerja sama dengan industri mana pun, serta berhak membuka atau menutup prodi sesuai keinginannya.
Penetapan status PTN-BH ini menunjukkan bahwa bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, melainkan sekaligus sebagai ladang bisnis. Ini sesuai dengan konsep triple helix, yaitu penggabungan tiga unsur (pemerintah, pendidikan, dan bisnis). Konsep seperti ini lahir dari kapitalisme asuhan Barat, sistem aturan yang bersandar pada sekularisme dan hanya terpaku pada materialisme. Hasilnya, pendidikan pun sebagai ajang komersialisasi. Orientasi pendidikan bukan lagi pada terciptanya SDM yang berkualitas yang siap memimpin bangsa, melainkan hanya memenuhi tuntutan dunia industri.
Inilah konsekuensi diterapkannya sistem pendidikan kapitalistik. Pendidikan hanya berorientasi pada kebutuhan pasar, sedang visi pendidikan yang tidak jelas. Pendidikan bahkan dijadikan komoditas yang bisa diperjualbelikan. Ijazah pun hanya menjadi selembar kertas untuk mencari cuan. Makin tinggi jenjang pendidikannya, peluang mendapatkan cuan semakin besar. Penerapan sistem kapitalisme pada dunia pendidikan juga menghilangkan peran negara sebagai penanggung jawab penuh dalam mengelola pendidikan tinggi. Sebaliknya, pemerintah sekadar bertindak sebagai regulator.
Abainya Peran Negara
Abainya pemerintah menjadikan sistem pendidikan kian hilang arah. Alokasi APBN untuk pendidikan yang hanya 20%, tidak sanggup membiayai biaya operasional pendidikan secara keseluruhan. Alih-alih menberikan dana, negara justru menyerahkan biaya pendidikan pada masing-masing kampus atas nama otonomi kampus. Alhasil, bisnis industri kian masuk pada perguruan tinggi dan UKT makin mahal.
Wajar jika negara selalu pada kondisi defisit, sebab tata kelolanya yang kapitalistik. Dikatakan kapitalistik karena negara membolehkan siapa saja mengelola SDA. Seharusnya SDA merupakan sumber pemasukan negara yang melimpah jika dikelola sendiri. Darinya kebutuhan hidup rakyat akan sangat bisa terpenuhi, termasuk kebutuhan pendidikan.
Kapitalisasi dunia pendidikan juga menjadikan tujuan pendidikan kian salah arah. Generasi bangsa hanya diproyeksikan sebagai buruh murah bagi perusahaan raksasa milik para kapital. Paradigma kapitalistik yang sukses diinjeksikan juga menjadikan mereka bungkam saat kekayaan negara dirampas oleh Asing. Akhirnya, mereka sekadar mengabdikan ilmunya perolehan kesenangan dunia dan cuan. Ini pula yang memperlihatkan buruknya tata kelola negara yang berlandaskan demokrasi kapitalisme. Penguasanya abai terhadap nasib rakyatnya. Mereka tidak peduli dan acuh terhadap rakyatnya yang dilanda kebodohan dan kemiskinan.
Pendidikan dalam Islam
Islam memiliki konsep sendiri dalam penerapan pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar rakyat. Sudah menjadi kewajiban negara memenuhi tanggung jawab pemenuhannya. Cara negara menjalankan tanggung jawabnya yakni dengan menyelenggarakan konsep pendidikan sesuai syariat. Negara menjamin seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun infrastruktur, dan sarana prasarana pendidikan. Islam mempunyai konsep pendidikan yang merata dan tidak mahal. Sehingga, masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk menempuh pendidikan tinggi.
Sementara, tata kelola keuangan Islam menjadi andalan untuk mendapatkan pemasukan yang besar. Mata uang yang berlaku adalah emas dan perak, sehingga terhindar dari inflasi. Baitulmal akan menjadi penyelenggara keuangan yang akan mengatur pos pemasukan dan pengeluaran, termasuk biaya pendidikan. Kas baitul mal berasal dari berbagai sektor, seperti fai, jizyah, ghanimah, kharaj, hingga hasil pengelolaan SDA, bukan dari pajak apalagi berutang. Dengan begitu, negara mampu menjamin biaya pendidikan yang tidak mahal untuk rakyatnya, bahkan gratis.
Apabila baitulmal tidak mampu mencukupi biaya pendidikan, maka negara akan mendorong kaum muslim untuk menginfakkan hartanya. Jika masih belum cukup, kewajiban pembiayaan pendidikan akan beralih kepada seluruh kaum muslim (yang mampu). Sedangkan, berkaitan dengan korporasi, Islam melarang negara mengalihkan tanggung jawab pembiayaan pada mereka.
Dengan demikian, hanya sistem Islam yang mampu memberikan pelayanan pendidikan terbaik untuk masyarakat. Tata kelola syariat Islam akan mengoptimalkan pembiayaan negara terlebih dahulu agar kegiatan pendidikan terus berjalan. Sedangkan perguruan tinggi bisa berkonsentrasi pada tugas utamanya untuk mencetak generasi unggul dan berkepribadian Islam.
Wallahualam bish shawab.
Views: 79
Comment here