Oleh : Irawati Tri Kurnia (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Puluhan massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompres) Tolak RUU Penyiaran Surabaya demo di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (28/5/2024). Mereka beraksi damai menolak semua pasal pembungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di RUU Penyiaran (www.aji.or.id, Selasa 28 Mei 2024) (1). Sejumlah aksi damai pun dilakukan oleh insan pers di banyak wilayah. RUU menuai gelombang, terutama dari kalangan wartawan.
Dewan Pers meminta RUU Penyiaran dirombak, khususnya pasal-pasal yang memberangus kebebasan pers. Demikianlah yang disampaikan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana. Di antaranya Pasal 8A dan 42 tentang kewenangan KPI terkait penyelesaian sengketa jurnalistik, serta pasal 50B terkait larangan jurnalisme investigasi (www.detiknews.com, Rabu 29 Mei 2024) (2).
Karena derasnya penolakan, Badan Legislasi DPR berpeluang menunda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Usul penundaan terutama berkaitan dengan dua pasal kontroversial di dalam draf RUU tersebut (www.cnnindonesia.com, Rabu 29 Mei 2024) (3).
Ruang kritik terancam digusur dengan dihilangkannya jurnalisme investigasi, karena tanpa ini isi berita sebatas laporan fakta yang ada di lapangan. Tidak ada lagi ruang untuk membongkar fakta tersembunyi, bahkan sulit untuk membongkar kesewenang-wenanganan dan ketidakadilan yang kerap terjadi. Akhirnya bukan hanya pers yang dibungkam, tapi juga suara masyarakat.
Tentu ini fakta yang mengherankan. Di satu sisi, demokrasi acap kali menekankan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Tapi justru kebebasan berpendapat pers dibelenggu oleh regulasi.
Inilah “muka dua” ala demokrasi. Kerap kali negara justru berusaha menghentikan upaya kritik yang dilakukan oleh lembaga atau individu, terutama jika kritik itu ditujukan pada pihak penguasa dan pengusaha yang berkoalisi dengannya, alias korporatokrasi. Ini adalah upaya membungkam suara yang mengkritik penguasa dari kebijakannya yang zalim pada rakyatnya.
Ini tidak bisa dilepaskan dari prinsip dasar demokrasi, yaitu kapitalisme, yang membiarkan manusia sebagai pembuat aturan. Ini berakibat aturan tersebut malah berujung menyengsarakan rakyat, karena kelemahan akal manusia. Manusia akalnya terbatas, pandangannya sangat relatif, sehingga tidak mampu membuat aturan yang memberikan “rasa keadilan” bagi semua orang. Selalu ada pihak yang diuntungkan, juga ada yang dirugikan; malah lebih banyak yang dirugikan. Demokrasi memaksa penguasa menerapkan politik balas budi. Karena saat berkontestasi, mereka didukung pihak sponsor yaitu para korporasi. Saat berhasil meraih kursi kekuasaan, ada “harga” yang harus mereka bayar. Menghilangkan semua kendala yang menghambat bisnisnya, termasuk media yang vokal.
Berbeda dengan pengaturan pers dalam sistem Islam yang dikendalikan oleh Khilafah. Khilafah menjalankan Islam secara menyeluruh (kafah) sebagai seperangkat aturan yang dijamin memberikan keberkahan dan kebahagiaan bagi manusia, dunia dan akhirat. Tentu Khilafah juga akan mengatur pers sesuai syariah.
Dalam Islam, pers merupakan lembaga yang penting dalam negara. Karena fungsi strategisnya sebagai pelayan Islam sebagai sebuah ideologi, baik di dalam maupun luar negeri.
Di dalam negeri, pers berfungsi untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh. Pers akan melakukan edukasi pada masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan dan hukum Islam dalam negara. Sedangkan untuk luar negeri, pers berfungsi sebagai menyebarkan syiar Islam ke seluruh penjuru dunia, baik dalam suasana perang atau pun damai. Hal ini untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. Setiap insan pers akan dipastikan Khilafah memahami peran strategis mereka ini. Mereka akan diberi ruang oleh Khilafah untuk memproduksi informasi yang tidak bertentangan dengan syariah.
Berkaitan dengan penyebaran informasi, Khilafah mempunyai departemen I’lamiyah (Lembaga Penerangan) yang bertugas memantau penyebaran informasi yang dikonsumsi oleh warga Khilafah. Departemen ini akan bertanggung jawab langsung pada Khalifah. Karena ada informasi yang tidak boleh disebarkan tanpa arahan dari Khalifah, seperti bidang pertahanan dan kemiliteran. Sedangkan bidang yang tidak secara langsung membutuhkan arahan Khalifah, seperti peristiwa keseharian dan program politik, pemikiran dan sains, juga peristiwa di seluruh dunia; tetap ada arahan dari Khalifah. Karena hal ini tetap berkaitan erat dengan pandangan ideologi Islam dan hubungan internasional.
Khilafah tidak akan menghalangi kezalimannya dengan membredel pihak pers dan membuat aturan yang membatasi ruang kritis mereka, jika itu terjadi. Karena dalam Islam sudah ada seperangkat aturan yang akan mencegah kezaliman penguasa, mengungkapnya serta mengadilinya. Ada majelis umat, partai, masyarakat (termasuk pers di dalamnya) serta individunya yang masif melakukan kritik dan kontrol, beramar marif nahi mungkar pada Khalifah. Jika Khalifah melanggar syariat, akan ada pengadilan khusus untuk penguasa yaitu Mahkamah Madzalim.
Demikianlah hanya Khilafah yang mampu menempatkan media dan dunia jurnalistik sebagai sarana edukasi dan kontrol sesuai syariah di tengah masyarakat. Agar kemuliaan Islam mampu dirasakan oleh setiap manusia di seluruh dunia, tanpa terkecuali.
Wallahualam Bisawab
Catatan Kaki :
(1) https://aji.or.id/informasi/siaran-pers-koalisi-masyarakat-dan-pers-di-surabaya-tolak-ruu-penyiaran
(2) https://news.detik.com/berita/d-7362683/dewan-pers-minta-dpr-cabut-pasal-ruu-penyiaran-yang-berangus-kemerdekaan-pers
(3) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240528202717-32-1103069/poin-poin-kontroversial-dalam-ruu-penyiaran
Views: 14
Comment here