Oleh : Nur Octafian NL. S.Tr. Gz.
wacana-edukasi.com, OPINI— Polemik program pemerintah TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) menjadi isu hangat pasalnya pemerintah telah merilis ketentuan wajibnya pemotongan gaji untuk Tapera bagi para pekerja swasta dan PNS melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas peraturan pemerintah PP nomor 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tapera.
Hal ini melatar belakangi aksi penolakan Tapera dari berbagai kalangan, Pasalnya, program tersebut bakal memotong gaji pekerja setiap bulannya sebesar 3% setiap tanggal 10. 2,5% dibayar oleh pekerja itu sendiri dan 0,5% oleh pemberi kerja/perusahaan, sedangkan bagi pekerja mandiri menaggung secara keseluruhan.
Iuran ini akan dimasukkan ke dalam rekening dana Tapera untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir yakni ketika telah memasuki masa pensiun, berakhir masa kerja, peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut (CNNIndonesia [dot] com, 1/6/2024).
Program ini sekilas cukup berpihak pada rakyat, sebagaimana klaim pemerintah bahwa Tapera dapat menjadi solusi persoalan papan masyarakat yang menjadi salah satu kebutuhan pokok. Agar setiap orang berhak mendapatkan kehidupan sejahtera, bertempat tinggal layak dengan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun bila kita menilik kebijakan pemerintah ini sebenarnya cukup memberatkan rakyat, Tapera hanya lah tambahan beban ekonomi rakyat yang masih jauh dari kata layak. Bagi pekerja dengan gaji UMR, potongan 3% itu makin mengurangi nominal gaji yang harusnya diterima, mengingat potongan gaji mereka yang telah banyak di pangkas melalui beragam program, seperti pajak penghasilan, pembiayaan iuran BPJS kesehatan, pensiun hingga jaminan hari tua. Belum lagi kebutuhan hidup yang semakin meningkat dengan harga yang semakin melambung tinggi, sangat tidak sinkron dengan gaji pegawai dan para pekerja yang makin menyusut akibat dipangkas berkali-kali.
Selain itu waktu pencairan dana yang sangat panjang menjadikan peserta Tapera sulit memanfaatkan rumah yang merupakan salah satu kebutuhan pokoknya. Sehingga bisa jadi dana Tapera ini akan bernasib sama dengan BPJS Ketenagakerjaan yang rutin dibayar para pekerja namun tidak memberikan banyak manfaat bagi pekerja karena tidak tahu cara mengklaimnya.
Tidak sampai disitu keberadaan tabungan masyarakat dengan dana simpanan yang begitu panjang, siapa yang menjamin dana Tapera akan aman? Sedangkan fakta yang sudah-sudah sangat membuat masyarakat geram dengan adanya kasus korupsi Taspen, BPJS dan Jiwasraya.
Bukankah Tapera juga bisa berpotensi menjadi lahan baru bagi para tikus-tikus berdasi?
Lagi-lagi kita diperlihatkan dengan wajah buram negeri dengan sistem kapitalisme yang menjadi asas ekonominya, yang telah melahirkan pemimpin yang abai terhadap peran utamanya sebagai pengurus dan pengatur rakyat. Negara hanya mau potong-memotong gaji tanpa tau kesulitan rakyat yang pontang-panting memenuhi kebutuhan hidup.
Inilah sejatinya buah yang di hasilkan sisitem rusak ini, sangat menyengsarakan rakyat. Tatkala tingginya kebutuhan kehidupan yang berpacu dengan pajak iuran-iuran lain.
Muncul lagi kebijakan Tapera yang seolah-olah dipaksakan, ini bisa jadi merupakan regulasi yang pro kepada korporat, seperti halnya bidang lain, proyek pembangunan KPR Negara tentu mengandalkan pihak swasta, dana yang terkumpul pada akhirnya akan diserahkan kepada swasta yang tentu akan memberikan keuntungan yang cukup besar bagi pihak korporasi selaku pengembang, sebab tentu seperti bidang lain ketika itu sudah di serahkan pada pihak korporat sudah pasti akan di komersilkan, sehingga peran negara tidak lain hanya sebagai regulator penghubung antara korporasi dengan rakyat.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, jika dalam sistem kapitalisme negara sebagai pelayan korporasi, maka dalam sistem Islam sebaliknya, negara sebagai pelayan umat yang menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan tanpa harus menguras rakyat melalui iuran wajib.
Untuk memampukan rakyat memiliki rumah negara akan menyediakan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat. Sehingga para pencari nafkah akan mudah dalam mengakses dan mencari pekerjaan. Adapun bagi rakyat yang tingkat pendapatannya rendah atau sesuai dengan kapasitasnya, maka negaralah yang akan menjamin pemenuhan pokok tersebut, tanpa harus bergantung pada swasta untuk pengadaan hunian atau perumahan yang layak bagi rakyat miskin. Melalui mekanisme yang di tentukan syariat dengan pendanaannya dari Baitul Mal.
Sedangkan rakyat miskin yang memiliki rumah namun tidak layak huni maka negara akan melakukan renovasi sesegera mungkin.
Selain itu negara juga boleh memberikan tanah ataupun membangunkan langsung perumahan layak huni bagi rakyat miskin secara gratis. Negara tidak dibenarkan menyerahkan dana pembangunan rumah rakyat kepada operator properti yang bisa memungkinkan mereka mengomersilkan hunian yang dibangun dari dana tersebut untuk mencari keuntungan.
Semua ini bertujuan untuk kemaslahatan rakyat tanpa harus membebani rakyat.
Demikianlah jaminan terpenuhinya Pemenuhan papan bagi rakyat. Dan hal ini hanya akan terwujud dengan penerapan Syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Wallahualam bishowab[]
Views: 35
Comment here