Oleh : Sahreva Kurniati, S.Pd., C.MT
wacana-edukasi.com, OPINI-– Kekinian, suara nyaring dari kaum perempuan kian bergema. Dengan latar belakang profesi yang berbeda, mereka disatukan dengan nafas perjuangan kaum feminis. Tak jarang diantara mereka, menyebut diri mereka sebagai “Feminis Muslimah”. Mereka yang menyatakan diri sebagai feminis muslimah, acapkali membawa dalil-dalil yang bersumber dari Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi kebanyakan dari mereka gagal paham dalam memahami syariat dan dalil-dalil, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Keberbahayaan Pemikiran Feminis Muslimah/Feminisme Islam
Ismail Adam Patel dalam bukunya yang berjudul Perempuan, Feminisme, dan Islam mengatakan bahwa, gerakan feminis menyatakan dirinya berjuang untuk mewujudkan emansipasi dan kesejahteraan kaum perempuan. Gerakan feminis berjuang untuk mengubah kedudukan kaum perempuan, menyerukan kesetaraan hak-hak sosial-politik perempuan, hingga menghapus perbedaan jenis kelamin baik dalam ranah sosial-politik hingga ranah keluarga.
Adapun Feminis Muslimah secara sederhananya dapat diartikan sebagai, seorang perempuan (Muslimah) yang mengadopsi pemikiran feminisme dan menjadikan Islam sebagai dasar atau dalil-dalil untuk melegitimasi kepentingan feminis. Senada dengan definisi Feminisme Islam yang dilansir dalam www.wikipedia.org, yaitu perpaduan Islam dan Feminisme diadvosikan sebagai sebagai kepentingan feminis dan praktik yang diatur dalam paradigma Islam. Dari sini kita bisa memahami, bahwa sejatinya tetaplah sama antara feminis dengan feminis muslimah/ feminisme Islam, sebab mereka tetap dalam bingkai “Pemikiran Feminisme”
Keberbahayaan pemikiran feminis muslimah atau feminisme Islam, sebab mereka menyertakan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits untuk dikritik ataupun untuk membenarkan pemikiran feminisme, maka ini sangatlah menyesatkan umat. Maka perlu bagi kita untuk mengetahui, beberapa diantara pemikiran feminisme yang menyertakan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Berikut beberapa pemikiran feminis muslimah atau feminisme Islam, yang perlu kita pahami kesalahan dan keberbahayaannya.
Pertama, menyamakan Islam dengan budaya patriarki. Dilansir dari www.gramedia.com, Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan laki-laki mendominasi dalam berbagai peran yang ada di masyarakat. Sistem patriarki, menganggap bahwa perempuan diposisikan hanya berfungsi untuk reproduktif saja. Sehingga perempuan dianggap hanya mampu berada di rumah untuk hamil, melahirkan, mengasuh anak atau mengerjakan pekerjaan domestik saja. Dalam ranah keluarga, budaya patriarki merupakan akar dari munculnya kekerasan perempuan dalam rumah tangga.
Budaya patriarki kerap disamakan dengan Islam. Alasannya, karena ada perintah bagi seorang istri untuk taat pada suami, peran strategis perempuan sebagai seorang ibu dalam mendidik anak-anak dan mengurus wilayah domestik di rumah, hingga kebolehan bagi seorang suami untuk memukul istri. Padahal, antara budaya patriarki dan Islam tidaklah sama. Justru Islam datang pertama kali untuk memuliakan perempuan, dengan menempatkan kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sama sebagai manusia. Termasuk Islam juga menegaskan, yang lebih mulia disisi-Nya adalah orang yang bertakwa kepada-Nya. Allah SWT berfirman :
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan Perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (TQS. Al-Hujurat : 13)
Dahulu sebelum datangnya Islam, perempuan dihinakan dengan dikubur hidup-hidup, perempuan tidak memiliki hak-haknya sebagai manusia, dan perempuan dipandang manusia kedua setelah laki-laki. Akan tetapi Islam hadir dengan kemuliaannya, dimana Islam hadir untuk memuliakan perempuan dan sebagai manusia Allah memberikan hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dan secara tidak langsung, justru Islam telah menghapus budaya patriarki.
Kedua, feminis mengkritik tentang perintah bagi seorang istri untuk taat kepada suami. Alasan mereka mengkritik perintah ini, sebab mereka menuduh seruan ini sebagai bentuk legitimasi patriarki di masyarakat. Padahal jelas antara Islam dan patriarki tidak bisa disatukan. Maka pernyataan ini sangatlah berbahaya dan menyesatkan umat.
Didalam kitab Adab al-Islam fii Nidham al-Usrah dijelaskan bahwa, diantara hal yang membantu terwujudnya pergaulan yang baik yaitu taatnya seorang istri terhadap semua yang diperintahkan suami, selama perintah itu bukan merupakan maksiat kepada Allah. Karena tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada-Nya. Al-Bazzar dan ath-Thabarani telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda :
“Sampaikanlah pada wanita yang kau temui, bahwa taat pada suami dan mengakui haknya itu menyamai jihad. Dan hanya sedikit dari kalian yang melakukannya.”
Islam memposisikan laki-laki (suami) sebagai pemimpin bagi istri dan anak-anaknya adalah untuk bersama-sama taat kepada-Nya. Bukan pemimpin yang dapat berbuat semaunya tanpa bimbingan syariat Islam. Gambaran kehidupan rumah tangga yang mau dibimbing dengan syariat, justru akan menghantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (didunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. An-Nahl : 97)
Ketiga, feminis mengkritik QS. An-Nisa ayat 34, sebagai sebab kekerasan perempuan dalam ranah keluarga. Tuduhan ini disebabkan cara berpikir dangkal para feminis, yang tidak memahami syariat dengan benar. Mereka mengkritik dengan menggunakan cara berpikir logika feminis. Gagal paham feminis terhadap syariat, sejatinya disebabkan karena ketidaksukaan feminis terhadap Islam.
Adapun maksud dari QS. An-Nisa ayat 34 adalah perintah bagi laki-laki (suami) untuk menjadi pelindung bagi perempuan (istri). Dimana para laki-laki (suami), diminta oleh Allah untuk berlaku baik dan berkasih sayang terhadap perempuan (istri). Dan adapun kebolehan bagi suami untuk memukul istri, syariat menetapkan ini sebagai langkah terakhir setelah mengoptimalkan dalam menasehati dan kebolehan untuk memisahkan tempat tidur (pisah ranjang). Allah SWT berfirman :
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (TQS. An-Nisa : 34)
Kebolehan untuk memukul istri ini pun perlu diperhatikan. Bahwa dalam Islam, memukul istri adalah jalan terakhir yang boleh dilakukan, setelah suami menasehati dan memisahkan tempat tidurnya. Selain itu, pukulan suami tidak boleh diwajah dan pukulannya tidak boleh meyakiti juga membekas. Jadi pukulan ini bertujuan hanya sekedar untuk mendidik, bukan untuk melukai atau sampai KDRT. Dan cara ini, justru tidak pernah dipakai oleh Rasulullah Saw, walaupun syariat membolehkannya. Oleh karena itu, maka saat hendak memahami Islam, kita tidak boleh hanya menyandarkan kepada akal saja, melainkan menyandarkan kepada nash-nash syara. Yang artinya dalam memahami Islam, haruslah kaffah (sempurna) tidak hanya sebagian-sebagiannya saja. Karena kalau memahami Islam dengan sebagian, atau satu ayat langsung disandarkan pada akal saja, maka wajar akan mengalami gagal paham terhadap Islam itu sendiri.
Reorientasi Arah Perjuangan Perempuan
Dari penjelasan di atas, maka kaum perempuan perlu untuk merenungkan kembali arah perjuangan yang hendak mereka tapaki. Nafas perjuangan feminis sudah jelas akan menghantarkan kita pada gagal paham terhadap syariat, yang akan menjauhkan kita dari mengamalkan Islam secara kaffah. Maka dari itu, arah perjuangan perempuan untuk menyelamatkan kaum perempuan dan negeri ini, tidak lain adalah dengan ikut serta dalam perjuangan untuk menerapkan Islam kaffah dalam kehidupan. Yaitu memperjuangkan akan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah. Agar kaum perempuan bisa hidup sesuai fitrahnya, seperti apa yang diinginkan Allah SWT.
Wallahu’alam bi shawwab.
Views: 14
Comment here