Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Sungguh malang nasib para petani, demi mendapatkan pupuk subsidi mereka harus menempuh puluhan kilometer. Petani di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) harus menempuh jarak sekitar 80 km untuk mendapatkan pupuk subsidi. Hal itu terungkap dalam temuan tim Satgassus Pencegahan Korupsi Polri saat memantau penyaluran pupuk subsidi di NTT pada 18-22 Juni 2024, (www.beritasatu.com).
Realita pahit juga dialami oleh para petani di Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban. Para petani di daerah tersebut terpaksa membeli pupuk urea bersubsidi dengan harga Rp270 ribu per zak kemasan 50 kg. Padahal, jika mengacu pada peraturan Permentan No 60/SR.310/12/2015 pemerintah menetapkan HET pupuk bersubsidi tahun 2016 untuk urea sebesar Rp1.800 per kg atau Rp 90.000 per 50 kg, (lingkaralam.com).
Dengan demikian, terlihat jelas perbandingan harga pupuk bersubsidi di lapangan jauh melambung dari harga pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah. Sebenarnya ketimpangan itu telah menjadi perhatian warga sekitar. Mereka mengetahui ada bisnis pupuk bersubsidi di toko-toko pertanian, namun hingga saat ini tidak ada tindakan tegas dari Dinas terkait maupun aparat penegak hukum.
Kisruh pupuk bersubsidi bukan persoalan baru, tapi sudah lama terjadi dan tidak pernah usai. Sebenarnya, menjamin distribusi pupuk bersubsidi tepat sasaran dan sesuai kebutuhan bukan hal yang sulit diwujudkan, asalkan paradigma kepemimpinan itu benar, yakni keberadaan pejabat terkait beserta jajarannya berjiwa pengurus, bidang pertanian benar-benar dianggap sebagai sektor strategis bukan bisnis, serta manajemen pertanian yang mudah, cepat, tepat sasaran dari hulu hingga hilir. Sayang, semua hal tersebut tidak terwujud dalam sistem kehidupan saat ini.
Sistem kehidupan kapitalisme, meniscayakan kapitalisasi kebutuhan masyarakat. Kapitalisasi tersebut muncul karena asas aturan kapitalisme dibangun dengan orientasi materi. Untung rugi menjadi prinsip setiap kebijakan yang ada. Para kapital menjadi penguasa utama, sementara negara hanya berperan sebagai regulator kebijakan.
Tak heran, sekalipun petani selalu mengeluh terkait akses pupuk subsidi, para penguasa hanya menyediakan telinga saja, kapitalisasi pupuk tetap berjalan. Pemegang kendali pengadaan dan distribusi pupuk tetap di tangan perusahaan yang notabennya adalah para kapital. Negara hanya membuat serangkaian juknis penyaluran pupuk dari perusahaan ke petani. Di sinilah kapitalisasi pupuk bermula, belum lagi para mafia pertanian yang menyerobot jatah pupuk kemudian menjualnya kepada para petani dengan harga tinggi. Inilah penyebab petani tidak dapat menjangkau pupuk karena tingginya harga pupuk.
Mirisnya lagi, ternyata pemerintah tercatat memiliki utang subsidi pupuk kepada PT Pupuk Indonesia (Persero) sebesar Rp12,5 triliun. Direktur Utama Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi menyebut, utang tersebut terdiri atas tagihan berjalan April 2024 sekitar Rp2 triliun dan sisanya merupakan tagihan subsidi pupuk pada 2020, 2022 dan 2023 yang belum dibayarkan pemerintah.
(ekonomi.bisnis.com)
Inilah ironi penerapan sistem kapitalisme, di mana sistem ketatanegaraannya dibangun dengan paradigma bisnis. Akhirnya, negara harus memiliki utang pada perusahaan yang sejatinya adalah BUMN sendiri. Dengan demikian, akses pupuk semakin sulit didapatkan. Lebih jauh lagi, cita-cita terwujudnya kedaulatan pangan dan juga ketahanan pangan semakin mustahil.
Sistem kapitalisme hanya bisa menzalimi para petani. Para penguasa dalam sistem kapitalisme adalah orang-orang yang berjiwa pebisnis, sehingga setengah hati bahkan abai terhadap urusan rakyatnya.
Sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem Islam, mereka adalah orang-orang berjiwa pe-ri’ayah (pengurus). Sistem Islam yang diwujudkan secara praktis dalam sistem pemerintahan negara Khilafah, melahirkan penguasa-penguasa raa’in, seperti perintah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”
(HR. al-Bukhari)
Dalam bidang pertanian, Khilafah memandang bidang pertanian adalah kebijakan strategis. dalam kitab Muqaddimah ad Dustur pasal 159 dijelaskan bahwa:
“Negara (Khilafah) mengatur urusan pertanian berikut hasil-hasil produksinya sesuai dengan yang dituntut oleh kebijakan politik pertanian yang ditujukan untuk merealisasikan eksploitasi lahan pada level produksi tertinggi.”
Dengan demikian, kebijakan pertanian negara Khilafah diarahkan pada tujuan untuk memaksimalkan eksploitasi (pemanfaatan) tanah lahan hingga menghasilkan tingkat produksi pertanian paling tinggi. Ini bisa dimengerti karena target pertanian adalah menghasilkan produk pertanian yang optimal. Semua ini untuk mencukupi kebutuhan pangan dan industri dalam negeri, serta meningkatkan volume dan diversitas ekspor ke luar negeri.
Salah satu upaya untuk memaksimalkan hasil pertanian adalah penyediaan pupuk. Dalam Khilafah, industri pupuk harus dikuasai oleh negara dengan paradigma me-ri’ayah petani dan bukan bisnis. Industri pupuk ini milik negara, mereka berperan untuk memproduksi pupuk selanjutnya negara akan mengatur distribusi pupuk subsidi secara langsung kepada para petani sesuai kebutuhan.
Konsep distribusi bisa diberikan secara gratis atau negara mengambil harga dari biaya produksi pupuk. Mekanismenya harus mudah, cepat dan profesional. Selain memberi kemudahan dari segi akses pupuk, negara Khilafah juga mempermudah akses saprotan. Negara Khilafah memberikan bantuan kepada para petani dan keluarga yang tidak memiliki modal agar tetap menjadi petani yang sejahtera.
Seperti inilah upaya negara Khilafah dalam menyediakan pupuk bersubsidi kepada para petani. Sangat berbeda dengan negara yang menerapkan sistem kapitalisme.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 9
Comment here