Surat Pembaca

Korban Judi Online Dapat Bansos, Tepatkah?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Alfiah, S.Si

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Lagi-lagi berita dan kasus seputar judi online menghiasi laman pemberitaan setiap hari. Seluruh elemen masyarakat tampaknya telah terpapar judi online. Anak-anak, remaja, orangtua, lansia, TNI, polisi, mahasiswa, anggota dewan sampai ibu rumah tangga tidak terlepas dari cengkramannya. Besarnya keterlibatan masyarakat dalam judi online sungguh sangat memprihatinkan karena bahaya bisa pada rusaknya hubungan antara keluarga dan masyarakat dan rusaknya generasi.

Dahsyatnya daya rusak judi online hingga menyebabkan jumlah warga RI yang terpapar judi online tembus di angka 3,2 juta orang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan pihaknya sudah memblokir sekitar 5 ribu rekening masyarakat yang terindikasi judi online. Mirisnya, akumulasi transaksi judi online sampai kuartal 2024 sudah mencapai Rp.600 triliun perputaran. Ini jelas sungguh angka yang mencengangkan. (cnbcindonesia.com, 15/06/2024)

Di saat kemiskinan rakyat meningkat dan utang negara tembus Rp.8.253 triliun, justru uang rakyat tersedot hingga Rp 600 triliun untuk hal yang haram dan merusak. Bagaimana tidak merusak, jika banyak kasus yang terjadi akibat kecanduan judi online, kasus polisi bakar polisi, brankas uang minimarket dibobol, mesin ATM dibobol, kasus perceraian, pencurian, pembunuhan dan kasus-kasus lain yang dilatarbelakangi oleh kecanduan judi online.

Seharusnya jika negara benar-benar serius memberantas judi online, maka negara akan memberantas sampai ke akar-akarnya, sumber/pusat judi online dimana, mafia judi online siapa. Karena kalau hanya sebatas menutup akun dan memblokir rekening, maka akan muncul akun-akun baru dan rekening-rekening baru untuk transaksi judi online.

Ironisnya, saat Menkominfo, PPATK, Kepolisian, TNI dan tokoh atau lembaga agama berjibaku memberantas dan mencegah judi online, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy justru mengusulkan agar korban judi online masuk ke dalam penerima bansos.

Sontak saja usulan ini menuai protes dari berbagai kalangan karena dinilai tidak tepat sasaran. Sebab bansos yang diberikan kepada korban judi online atau keluarganya berpotensi digunakan kembali untuk berjudi. Tentu saja bansos yang didapatkan tidak sebanding dengan kerugian/kekalahan akibat judi online.

Apalagi sebenarnya tidak ada istilah korban judi ataupun kemiskinan struktural akibat dampak judi online ataupun kemiskinan struktural akibat dampak judi online karena berjudi adalah pilihan hidup perilakunya. Negara seharusnya tidak melakukan tindakan restoratif ke para pelaku atau korban perjudian karena seseorang melakukan perjudian dalam keadaan sadar.

Dalam melakukan tindakan pencegahan perjudian perlu penindakan hukum yang holistik dan tidak tebang pilih. Pembentukan satgas pemberantasan judi online yang telah ditandatangani Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 21 Tahun 2024 menjadi diragukan akan mampu memberantas judi online karena Wakil Satgasnya yaitu Menko PMK, Muhadjir Effendy justru yang mengusulkan agar korban judi online diberikan bansos dan masih ada kasus yang tebang pilih.

Sesungguhnya perjudian, termasuk judi online diharamkan secara mutlak. Tidak ada toleransi dan belas kasihan terhadap pelaku atau korban judi online. Sehingga wacana untuk menarik pajak dari judi online, pemberian bansos, pemberantasan tebang pilih tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Larangan perjudian ada dalam Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 90 : “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan”.

Dalam sistem Islam, keharaman judi dan sanksinya mengikat semua warga negara; Muslim maupun non-Muslim (ahlu dzimmah). Negara tidak boleh membiarkan atau memberikan izin perjudian online maupun melokalisasi perjudian. Contohnya seperti yang dilakukan oleh sebagian negeri Muslim hari ini yang menyediakan kawasan judi untuk non-Muslim. Memberikan izin perjudian walaupun kepada kalangan non-Muslim sama artinya dengan menghalalkan perjudian. Karena itu memungut pajak dari perjudian juga haram.

Larangan berjudi tak cukup hanya sekadar himbauan moral belaka. Harus ada penegakan sanksi pidana terhadap para pelakunya yaitu bandarnya, pemainnya, pembuat programnya, penyedia servernya, yang mempromosikannya dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Sanksi bagi mereka adalah ta’zîr, yakni jenis sanksi yang diserahkan keputusannya kepada Khalifah atau kepada qâdhi (hakim).

Kadar sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku perjudian tentunya disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Atas tindak kejahatan atau dosa besar maka sanksinya harus lebih berat agar tujuan preventif dapat tercapai. Karena itu pelaku perjudian yang menciptakan kerusakan dahsyat layak dijatuhi hukuman yang berat seperti dicambuk, dipenjara bahkan dihukum mati.

Semua ini tentunya hanya bisa terwujud dalam sistem Islam di bawah naungan Khilafah, bukan dalam sistem kehidupan kapitalis saat ini. Wallahu a’lam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here