Oleh Novianti
wacana-edukasi.com, OPINI-– Miris! Ada 82 anggota DPR bermain judi online (judol) berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dirilis kompas.com (02-07-2024).Tidak hanya di tingkat pusat, anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota pun terlibat judol. Jika ditotalkan jumlahnya mencapai 1000 orang.
Peneliti Lembaga Pemantau Parlemen Lucius Karus mengatakan, ini adalah tragedi. Ia mendorong agar kasus segera diusut karena jika ruang gerak judol di parlemen tidak diputus, dapat menyebar kepada anggota lain dan stafnya.
Publik pun mendesak agar Mahkamah Kehormatan Dewan DPR segera mempublikasikan nama-nama anggota DPR yang terlibat judol, disebut secara lengkap tanpa inisial. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan, ini sebagai upaya menjaga moral bangsa dan perilaku pejabat.
Akankah ada tindakan tegas kepada anggota lembaga legislatif yang telah melakukan perbuatan haram ini?
*Ada Udang di Balik Batu*
Menurut PPATK sebagaimana dirilis kompas.com (19-06-2024) ada 3,2 juta pemain judol. Terbesar pada rentang usia 30-50 tahun yaitu 40%, sedang yang berusia di atas 50 tahun sebanyak 34%. Kelompok ini umumnya sudah memiliki kemampuan finansial. Namun, bisa dibayangkan uang yang mestinya digunakan untuk membeli makanan bagi keluarga atau membiayai pendidikan anak, malah berpindah ke judol.
Menkominfo sejak 2018 sudah memutus lebih dari 800 ribu konten perjudian di berbagai platform digital. Namun, pemberantasan judol memang berat, ibarat mati satu tumbuh seribu. Situs dan aplikasi judol terus bermunculan dengan nama yang berbeda. Pada September 2023, Menkominfo Budi Arie Setiadi pun pernah mewacanakan memberlakukan pungutan pajak judol untuk mengurangi minat judol.
Menkominfo berargumen negara tetangga seperti Malaysia Thailand, dan Kamboja sudah melegalkan judol. Jika Indonesia tetap melarang praktik judol, uang bisa lari ke negara lain yang nilainya ditaksir mencapai Rp150 triliun setiap tahun. Karena itulah dalam pandangan Budi Arie, daripada jika diberantas tapi sulit, lebih baik dilegalkan tapi dikenai pajak. (tempo.co, 15-09-2024).
Hukum terkait judol sudah diatur dalam KUHP secara khusus. Dalam pasal 303 ayat (1) disebutkan ancamannya paling lama penjara 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.Tetapi, barang siapa yang main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum dan diizinkan oleh penguasa, tidak dikenai hukuman.
Artinya pelarangan judol bukanlah harga mati, tergantung pada penguasa. Legalisasi judol pun sangat dimungkinkan karena dalam pasal 4 ayat (1) UU PPH (UU Nomor 7/1983 dengan perubahan terakhir sesuai UU Nomor 6/2023 tentang Cipta Kerja, transaksi judol merupakan bagian dari underground economy. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, penghasilan dari judi bisa dimasukkan ke dalam objek pajak karena sudah memenuhi lima elemen dalam UU Cipta Kerja.
Pertama, ada tambahan kemampuan ekonomis. Kedua, penghasilan tersebut sudah diterima (cash basis) atau diperoleh (accrual basis). Ketiga, sumbernya bisa dari dalam atau luar Indonesia. Keempat, penghasilan tersebut dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan. Kelima, namanya dan bentuknya bisa apapun.
Kesimpulannya, negara bisa mengambil pajak dari judol tanpa melihat statusnya halal atau haram secara agama maupun secara hukum positif di Indonesia.
Sementara saat ini, Indonesia sedang menghadapi masalah keuangan. APBN 2025 mengalami defisit sebesar Rp600 triliun pada era transisi Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto. Ini menjadi defisit tertinggi di masa transisi. Pastinya utang terus menggunung dan utang jatuh tempo yang harus segera dibayar negara sebesar Rp800 triliun ditambah dengan bunganya sekitar Rp400 triliun. Proyek ambisius seperti IKN juga membutuhkan kucuran dana.
Kita jadi paham mengapa negara masih mengotak-atik perkara judol. Meski sudah ada ketentuan hukuman bagi penjudi, faktanya perjudian konvensional di kasino-kasino atau tempat hiburan dibiarkan dan dikenai pajak. Fi saat negara terpepet, bisa jadi pajak judol dijadikan pemasukan untuk menutup defisit anggaran.
*Persoalan Sistemik*
Jika ditelaah, maraknya judol ini ini merupakan permasalahan sistemik yaitu sistem sekuler kapitalis yang merupakan trigger utamanya. Sistem ini meminggirkan peran agama dalam pengaturan negara sehingga membuat masyarakat terbiasa membolehkan segala sesuatu. Yang penting senang, yang penting menguntungkan, tidak peduli halal atau haram. Dalam sistem sekuler kapitalis, para pelaku dan penikmat kemaksiatan berpesta pora.
Melalui sistem politik demokrasi, kebolehan didasarkan hasil voting atau suara terbanyak. Konstitusi Allah bisa dikalahkan oleh mayoritas suara manusia yang dalam hal ini diwakili oleh anggota dewan. Meski, pendapat di lembaga legislatif tidak sejalan dengan suara rakyat, kebijakan tetao bisa diputuskan.
*Pandangan Islam*
Islam tidak pernah berkompromi dengan berbagai bentuk kemaksiatan yang pasti merugikan dalam jangka pendek atau pun jangka panjang seperti judi. Benar dan salah bukan berdasarkan pada voting, melainkan hukum syarak.
Permainan judi adalah untung-untungan yang mengakibatkan kecanduan. Dampaknya tidak hanya kerugian ekonomi, keluarga juga bisa berantakan, memicu berbagai tindak kejahatan, dan merusak otak manusia. Dari sisi mana pun, judi jelas tidak memberikan manfaat sama sekali.
Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 90-91 ,”Hai orang-orang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” Berarti judi baik online maupun offline, legal atau ilegal, dalam bentuk apapun, adalah haram.
Oleh karenanya, dalam sistem Islam, perbuatan haram tidak diberi celah sama sekali. Upaya dilakukan mulai dari pencegahan hingga hukuman. Pencegahan dilakukan sejak dini yaitu melalui pembinaan akidah baik pada individu, keluarga, masyarakat, dan negara.
Negara pun berupaya menyejahterakan rakyatnya melalui mekanisme sistem ekonomi yang berkeadilan. Orang-orang miskin tidak akan ditelantarkan, para pengangguran diberikan pekerjaan, agar tidak ada yang melakukan perbuatan haram dengan alasan ekonomi. Negara tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan karena ada sumber-sumber lain seperti pengelolaan SDA, ghanimah, atau jizyah. Dengan demikian, negara dapat optimal memberikan pelayanan kepada rakyatnya.
Sanksi tegas diberlakukan kepada yang nekat melanggar. Hukuman bagi pelaku judi adalah takzir sesuai ijtihad penguasa. Judi dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Terlebih jika pelakunya adalah pejabat negara, segera dicopot dan dihukum sesuai hukum Islam.
Khatimah
Selama masih menerapkan sistem sekuler kapitalis, berbagai kemaksiatan termasuk judi akan terus langgeng Hanya dengan penerapan sistem Islam kaffah, manusia akan terbebas dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan akidah, darah, jiwa, harta, dan kehormatannya. Untuk itu, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam saat ini kecuali memperjuangkan penerapan sistem Islam kaffah, negara pun jadi berkah.
Views: 14
Comment here