Oleh : Nia Umma Zhafran
wacana-edukasi.com, OPINI– Dilansir dari Katadata.co.id (28/06/2024), Badan Pangan Nasional memperpanjang relaksasi Harga Acuan Pembelian (HAP) dalam pembelian gula konsumsi hingga waktu yang tidak ditentukan. Sebelumnnya pemerintah telah melonggarkan tenggat waktu relaksasi HAP pembelian gula konsumsi dari 31 Mei 2024 menjadi akhir pekan ini, Minggu (30/6).
Relaksasi HAP gula konsumsi ini akan berlangsung setidaknya tiga bulan sejak pertama kali diberlakukan pada 5 April 2024. Dengan relaksasi, harga gula di tingkat konsumen mengalami kenaikan dari Rp 16.000 menjadi Rp 17.500 per kg dan Rp 18.500 per kg di bagian timur Indonesia.
HAP gula konsumsi diatur dalam Peraturan Bapanas No. 11 Tahun 2022. Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan revisi beleid tersebut kini sedang dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Ia tidak menjelaskan berapa HAP gula konsumsi baru nantinya.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa menuliskan bahwa kenaikan harga gula tersebut belum tentu dinikmati oleh petani tebu selama musim giling pada Mei-September 2024. Maka dari itu, peningkatan HAP dinilai menjadi Rp 17.500 dinilai perlu agar gula konsumsi besutan petani lokal dapat diserap.
HAP adalah batas atas harga yang diperbolehkan untuk barang-barang yang dijual secara eceran kepada masyarakat sebagai konsumen akhir. Relaksasi HAP bertujuan agar harga petani tidak jatuh saat panen raya. Gula termasuk dalam bagian sembako yang banyak digunakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.
Sayangnya, kebijakan pemerintah terkait harga bahan pangan justru menjadikan masyarakat sulit mengakses bahan pokok tersebut. Apalagi ditengah kesulitan ekonomi saat ini, seperti maraknya PHK, daya beli masyarakat rendah dan lain sebagainya membuat hidup rakyat makin sengsara. Padahal penguasa seharusnya bertindak sebagai pengurus umat yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negaranya tanpa terkecuali. Dengan kata lain, pemerintah seharusnya membuat mekanisme khusus yang memudahkan masyarakat mengakses kebutuhan pokok tersebut.
Namun, tampaknya hal ini mustahil terjadi dalam negara yang menerapkan sistem Kapitalisme-Demokrasi. Sistem Ekonomi Kapitalisme telah melegalkan liberalisasi segala lini kehidupan masyarakat termasuk sektor pertanian dan juga perdagangan. Sebagiamana diketahui bahwa sejak Indonesia menandatangani perjanjian GATT, Liberalisasi pertanian di negeri ini semakin kuat. Konsep liberalisasi menjadikan negara harus menyerahkan urusan pangan negeri ini kepada pihak korporasi swasta. Mulai dari sektor hulu hingga hilir. Hal ini menjadikan pemerintah semakin berlepas tangan dan lemah dalam mengawasi produksi hingga distribusi pangan.
Kebijakan pertanian pangan pun makin menjauh dari keberpihakan pada rakyat dan petani lokal. Sebaliknya negara malah makin melayani kepentingan korporasi asing dan aseng. Alhasil, ketahanan dan kedaulatan pangan justru makin tergantung pada impor dan korporasi swasta. Liberalisasi pertanian juga mendorong pemerintah terus mengurangi subsidi pertanian. Hal ini mengakibatkan petani terus menurunkan jumlah produksinya. Bahkan sedikit demi sedikit bangkrut. Sementara yang masih bertahan tidak mampu menaikkan level produksinya.
Penetapan HAP yang terus direlaksasi oleh pemerintah merupakan buah dari liberalisasi pertanian. Penetapan HAP seolah tidak ada artinya. Kebijakan penetapan HAP ini merupakan mekanisme tambal sulam Kapitalisme dengan solusi pragmatis, yang pada dasarnya hanya untuk mengamankan konsumen sebagai pangsa pasar dari para korporasi Kapitalis. Bukanlah untuk sebenar-benarnya siapa yang dibela dengan relaksasi harga gula. Sebenarnya siapa yang dibela dengan relaksasi harga gula (HAP) ini?
Islam memiliki konsep paradigma yang berbeda dalam mengatur pangan dan pertanian. Sehingga mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat termasuk jaminan stabilitas harga. Jaminan ini dilandasi politik ekonomi Islam. Dengan tujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat. Pelaksanaannya wajib berada di pundak negara. Tidak diserahkan kepada swasta apalagi asing dan aseng.
Dalam sistem Islam, negara wajib bertanggung jawab penuh terhadap pengaturan urusan pangan rakyatnya. Bukan sekedar berfungsi sebagai regulator bagi kelancaran bisnis pangan. Negara hadir dengan sejumlah konsep shahih, memungkinkan tiap individu masyarakat mengakses kebutuhannya secara mudah dan juga harga terjangkau.
Terwujudnya kedaulatan pangan menjadi hal yang mutlak melalui beberapa langkah yang didasarkan pada syariat Islam terkait produksi peningkatannya dilakukan denga penerapan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi dilakukan dengan penggunaan sarana dan prasana produsksi yang terbaik. Para petani difasilitasi mengakses bibit terbaik, peralatan yang canggih dan teknik pertanian terbaru. Negara juga memastikan membangun infrastruktur pertanian, jalan, hingga komunikasi. Agar arus distribusi menjadi lancar.
Pada aspek Ekstensifikasi berupa peningkatan luasan lahan pertanian. Negara akan menerapkan hukum pertanahan berlandaskan syariat Islam seperti tidak boleh membiarkan tanah tidak dikelola lebih dari 3 tahun. Negara juga dapat memberikan tanah milik negara sebagai pemberian (iqtha’) kepada siapa saja yang mampu mengelolanya.
Mengenai aspek stabilisasi harga, tidak dengan cara penetapan harga, melainkan menjamin kestabilan harga dengan cara-cara Islami yang tidak merusak mekanisme alami Supply and demand.
Pertama, menghilangkan distorsi mekanisme pasar. Seperti penimbunan, kartel dan sebagainya. Khalifah memastikan pendistribusian dilakukan secara merata atau melakukan pengawasan pasar setiap harinya agar tidak terjadi kecurangan yang dapat menghambat distribusi dan menyebabkan harga naik. Para pedagang dan pengusaha akan mendapatkan pendidikan terkait fikih muamalah, sehingga mereka tidak melakukan praktik yang merusak mekanisme pasar, seperti monopoli. Jika tetap melakukan penimbunan dan kecurangan lainnya, mereka akan diberi sanksi tegas juga dicegah untuk berdagang di pasar.
Kedua, menjaga keseimbangan supply dan demand. Pasar disuplai dengan cadangan pangan milik negara atau mendatangkan dari daerah lain. Bahkan mengimpor dari luar negeri. Kebijakan ini sepenuhnya berada dalam kewenangan negara dengan memperhatikan kemaslahatan bagi rakyat termasuk petani. Negara wajib mewujudkan kemandirian negara yang berlepas diri dari semua ikatan dan perjanjian internasional yang merugikan masyarakat.
Ketiga, Khalifah juga memastikan tiap-tiap individu dapat mengakses bahan pokok. Yakni negara membuka lapangan kerja seluas-luasnya sehingga para laki-laki bisa mencukupi kebutuhan untuk keluarganya. Negara juga memberi bantuan modal, keahlian, dan alat produksi agar suasana perekonomian menjadi kondusif dan mampu meminimalkan pengangguran.
Bagi rakyat yang lemah, seperti penyandang disabilitas, para lansia, juga anak yatim, akan mendapatkan bantuan pangan dari negara secara rutin dan berkelanjutan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Semuanya bisa dilakukan karena Khilafah memiliki Baitul mal, dimana sumber pemasukannya dari pos fai dan ganimah, harta milik umum, maupun zakat mal.
Dengan penerapan seluruh prinsip shahih ini akan mampu memudahkan masyarakat mengakses kebutuhan pokoknya termasuk pangan. Dimana Khalifah mampu mencukupi kebutuhan pangan rakyat karena negara memposisikan dirinya sebagai ra’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) rakyat.
WalLaahu a’lam bish-showwab
Views: 5
Comment here