Opini

Kacaunya Distribusi Pangan dalam Negeri

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Riannisa Riu

Wacana-edukasi.com, OPINI– Sungguh suatu ironi yang memilukan tatkala negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ternyata menjadi ‘juara’ dalam hal membuang-buang makanan. Islam senantiasa mengajarkan kepada setiap pemeluknya bahwa mubazir merupakan hal yang buruk. Islam bahkan melarang setiap muslim untuk berlebih-lebihan dalam segala sesuatu, termasuk dalam urusan makan.

Namun fakta menyatakan bahwa negeri ini tercatat memiliki limbah pangan sejumlah 20,94 ton pada tahun 2021. Nilai ini menjadi nilai terbesar buang makanan di seluruh Asia Tenggara, bahkan menjadi juara. Astaghfirullah. Bappenas menyatakan bahwa susut pangan dan limbah pangan (food loss and waste) menciptakan potensi kerugian ekonomi mencapar Rp 551 triliun per tahun (Kompas.com, 3/7/2024).

Ironisnya Kebijakan Kapitalisme

Jenis makanan yang paling banyak dibuang (waste) itu adalah beras dan jagung. Sungguh ironis karena negeri ini tercatat pula sebagai pengimpor beras terbesar, namun juga menjadi yang paling banyak membuang-buang beras. Tercatat bahwa provinsi yang paling banyak membuang makanan adalah DKI Jakarta, diikuti Banten, lalu Jawa Barat dengan nilai masing-masing di atas 150ribu ton sampah makanan per tahunnya (cnbcindonesia.com, 04/07/2024).

Sementara itu, banyak sekali orang miskin yang tidak mampu makan beras atau jagung di negeri ini. Sebagian besar berasal dari provinsi di luar Jawa, bahkan banyak pula di pulau Jawa sendiri. Ini membuktikan bahwa tingkat pengabaian pemerintah pada distribusi makanan begitu tinggi. Sehingga hanya fokus pada proses produksi dan impor namun mengabaikan distribusi dan pemerataan produk pangan.

Ketika beras atau jagung diimpor bersamaan dengan panennya para petani dalam negeri, tentu jumlah beras akan menumpuk. Alih-alih melakukan pendistribusian beras yang benar, pemerintah malah membiarkan beras menumpuk di gudang hingga berkutu dan tentunya mengalami susut. Inilah yang menyebabkan banyaknya food loss. Maka masalah terbesar yang seharusnya menjadi fokus pemerintah adalah distribusi pangan. Bukan malah terus mengimpor dan membiarkan mafia pangan merajalela di negeri ini.

Inilah konsekuensi atas penerapan sistem Kapitalisme sekuler demokrasi di negeri ini. Kapitalisme otomatis hanya peduli pada proses produksi bahan pangan dan teknologi produk pangan saja. Karena kedua hal tersebut mampu menghasilkan keuntungan berlipat. Namun otomatis pula yang mampu dan diizinkan untuk mengonsumsi pangan dan produk pangan hanyalah mereka yang mampu membayar. Sementara rakyat miskin yang tak mampu membayar hanya bisa gigit jari melihat makanan yang terbuang.

Lumrah jika Kapitalisme sekuler tidak peduli akan masalah distribusi, sebab proses distribusi dianggap ‘ribet’ dan justru merugikan bagi pihak pengusaha. Tanpa keuntungan berarti, sistem Kapitalisme tidak akan bersedia melakukan distribusi pangan. Bahkan banyak pengusaha pangan yang berprinsip ‘jika tidak laku, maka lebih baik dibuang daripada diberikan/dibagikan kepada rakyat miskin demi menghindari peniruan produk pangan’. Tentunya ini adalah hal yang amat tidak bermoral!

Pemerintah Lepas Tangan

Sebagai penguasa negeri, pemerintah seharusnya memiliki kekuasaan untuk mendistribusikan pangan dan mengontrol para pengusaha. Kacaunya distribusi pangan ini telah menyebabkan banyaknya masalah yang tak terhitung. Mulai dari stunting yang tak berakhir, padahal ratusan produk susu bayi dibuang begitu saja. Kemiskinan di berbagai daerah, padahal ratusan ton beras bulog malah berkutu dan mengalami susut hingga harus dibuang. Bahkan banyak rakyat terbelakang di Papua yang bahkan tidak tahu apa itu daging sapi. Sementara di ibukota banyak orang yang membuang produk pangan berdaging sapi yang sudah kadaluarsa.

Bukan hanya miris, ini sudah terkategori amat menyedihkan. Kendati demikian, pemerintah negeri ini memilih untuk lepas tangan. Nyaris semua kebijakan pemerintah yang tampak indah dan penuh perhatian untuk rakyat nyatanya merupakan politik gentong babi (pork-barrel) semata. Seperti kebijakan bansos, yang seyogianya untuk rakyat padahal menjadi ajang korupsi bagi para pejabat. Lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban, sementara pemerintah terus memanjakan para pengusaha dan mengabaikan rakyat.

Perekonomian kapitalisme telah memandulkan peran pemerintah dan menundukkannya di bawah kekuasaan korporasi pangan. Sehingga korporasi panganlah yang menguasai seluruh rantai perekonomian mulai dari kepemilikan lahan, proses produksi, distribusi bahan pangan, hingga kendali harga pangan. Pemerintah menjadi tidak mampu untuk mengubah atau mengambil alih rantai perekonomian ini. Baik mengambil kendali atas distribusi pangan maupun menstabilkan harga pangan.

Maka tidak aneh ketika ratusan produk pangan dibuang dan dimusnahkan oleh para pengusaha, pemerintah malah tutup mata dan membiarkan hal tersebut terjadi. Malah berdalih menciptakan kebijakan ini dan itu demi rakyat. Padahal semua kebijakan itu bukanlah solusi selama masih bertahan dengan sistem Kapitalisme sekuler yang berorientasi pada manfaat semata. Seharusnya pemerintah menyadari bahwa posisinya adalah pengurus bagi rakyat, bukan pengurus bagi pengusaha.

Perubahan Sistemis Hanya di Sistem Islam

Sungguh hanya Islam sajalah satu-satunya sistem yang mampu memberikan perubahan menyeluruh terhadap seluruh urusan umat. Mulai dari urusan akidah hingga akhlak, dari ekonomi hingga pendidikan. Termasuk tata kelola pangan serta pendistribusiannya. Islam akan mengatasi permasalahan hingga ke detail terkecil sampai tuntas.

Seperti masalah ini, Islam memandang bahwa penguasa negeri adalah pelayan, pengurus umat. Sehingga sejatinya tugas penguasa adalah mengurusi masalah umat hingga yang paling kecil. Wajib bagi penguasa untuk mendistribusikan pangan hingga ke daerah terpencil sekalipun. Meskipun itu sulit dan berat karena harus melalui jurang, sungai ataupun sambil membawa beras / gandum yang berat.

Khalifah Umar bin Khattab pernah membawa gandum di punggungnya untuk dikirimkan kepada seorang Yahudi miskin yang tinggal di desa terpencil. Begitu pula Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan bawahannya untuk membagikan makanan kepada seluruh rakyat yang tidak punya makanan, sampai kepada burung-burung sekalipun. Sehingga tidak ada alasan bagi penguasa untuk membiarkan seorang pun rakyatnya kelaparan. Apalagi membiarkan makanan menjadi rusak di satu sisi sementara rakyat kelaparan di sisi lain.

Selain itu, penguasa negara Islam akan memberikan pendidikan berbasis akidah Islam kepada seluruh rakyat. Sehingga setiap orang akan memahami pentingnya menghargai makanan dan tidak berlebih-lebihan dalam membuat makanan. Seperti firman Allah Ta’ala berikut ini :

“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31).

Dengan demikian, setiap muslim akan memahami bahwa dia bertanggung jawab terhadap setiap makanan yang ia peroleh. Apakah makanan tersebut dimakan atau dibuangnya pun kelak akan dihisab dan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Begitupun dengan gaya hidup masyarakat. Dalam sistem Islam, masyarakat akan terpola dengan gaya hidup sehat dan zuhud. Makan secukupnya, tidak berlebihan, tidak pula memubazirkan makanan demi gaya hidup mewah masa kini. Setiap orang pun akan dilatih memiliki kepribadian Islam yang tidak suka membuang-buang makanan.

Negara Khilafah pun akan membuat regulasi terkait kebiasaan makan ini. Misalnya wajib menghabiskan makanan yang telah dipesan di restoran atau membungkusnya jika tersisa untuk dihabiskan kembali di rumah. Sementara bagi restoran atau industri produk pangan dikenakan regulasi untuk memproduksi makanan secukupnya sesuai dengan kebutuhan pasar saja. Jika ketahuan ada pelaku usaha yang membuang-buang makanan maka akan dikenakan sanksi tegas dari negara.

Selanjutnya terkait pendistribusian pangan, negara Islam akan memastikan distribusi pangan sampai hingga ke seluruh daerah. Sehingga tidak akan ada lagi masyarakat yang kelaparan apalagi sampai terbelakang tidak mengenal beras atau daging sapi. Tidak akan ada pula makanan yang bertumpuk dan menjadi rusak akibat kacaunya distribusi. Wallahu’alam bisshawwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here