Oleh: Sumariya (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Gulung tikarnya sejumlah industri tekstil dan produk tekstil (TPT), hingga menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), sudah terjadi sejak 2019. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan, PHK di pabrik-pabrik TPT ini mulanya sebagai langkah efisiensi yang dilakukan perusahaan.
Namun, beberapa di antaranya tetap tidak bisa bertahan meski telah melakukan PHK. Akibatnya, kata Ristadi, pabrik tersebut tutup. Hingga menambah daftar karyawan yang harus kehilangan pekerjaannya. Ia mengungkap data, bahwa ada 36 perusahaan tekstil menengah besar yang tutup dan 31 pabrik lainnya melakukan PHK karena efisiensi, (CNBCIndonesia.com, 30/6/2024).
Sementara itu, Ketua Umum Indonesia Pengusaha Konfeksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, mengungkap bahwa industri tekstil khususnya produsen pakaian skala kecil tengah menghadapi situasi sulit yang disebabkan oleh membanjirnya produk impor. Di tengah gelombang tersebut, Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan, mengungkapkan adanya keinginan perusahaan tekstil asal China menanamkan modal.
Bahkan, Luhut memastikan jumlah tenaga kerja yang terserap dari investasi itu akan menembus 108.000 orang. Dia juga mengatakan tercatat 11 perusahaan tekstil yang tengah melakukan proses perizinan untuk investasi di dalam negeri,
(ekonomi.bisnis.com, 1/7/2024).
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, narasi investasi sebagai solusi pengangguran selalu digaungkan. Alhasil, ketika terjadi gelombang PHK besar-besaran pemerintah mengundang investor asing dengan tujuan akan terbukanya lapangan kerja baru. Padahal, pada saat yang sama fakta bangkrutnya industri tekstil selama ini adalah karena rendahnya daya beli masyarakat, jadi bagaimana mungkin hal ini menjadi solusi. Belum lagi, investasi sarat dengan cara berpikir korporasi.
Pada saat pihak swasta atau asing berinvestasi, yaitu melakukan perluasan usaha, pasti orientasinya adalah profit atau keuntungan. Mereka akan mengelola modal seoptimal mungkin dan seefisien mungkin agar bisa menghasilkan keuntungan yang besar. Pasalnya, karena orientasi untung, para investor akan menerapkan upah buruh yang rendah yang tidak akan menyejahterakan rakyat.
Inilah sistem kapitalisme yang mengedepankan kepentingan para korporat dan mengabaikan kepentingan rakyat. Selama sistem ini diterapkan, investasi yang sejatinya merupakan alat menguasai ekonomi negara lain akan dijadikan solusi membuka lapangan kerja untuk membangun perekonomian negara.
Negara sendiri berlepas tangan akan nasib rakyatnya. Negara hanya menempatkan diri sebagai penengah atau pembuat kebijakan yang mempertemukan antara investor dan rakyat. Namun, pada akhirnya rakyat lah yang dirugikan.
Penerapan berbagai kebijakan tenaga kerja yang kapitalistik ini telah tertuang dalam UU Cipta Kerja. Bukan hanya pada bisnis menengah seperti tekstil yang diberi jalan mulus, rakyat tidak boleh lupa bahwa SDA melimpah yang merupakan milik rakyat kini telah dikuasai asing atas nama liberalisasi ekonomi.
Berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam Kaffah, termasuk dalam aspek ekonomi. Peningkatan perekonomian ditandai dengan tingginya penyerapan tenaga kerja dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat, sejatinya merupakan tanggung jawab penguasa atau Khalifah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus) rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”
( HR. al-Bukhari)
Berdasarkan hadis tersebut, nasib rakyat termasuk kesejahteraannya merupakan tanggung jawab penguasa. Penguasa tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya tersebut, apalagi berharap ada pihak lain yang akan mengambil alih tanggung jawabnya. Ada beberapa mekanisme Islam dalam menyerap tenaga kerja, yakni:
Pertama, dalam sistem Khilafah negara dilarang keras melakukan praktek riba yang hanya menimbulkan peredaran harta bertambah, berlipat-lipat tanpa disertai pertumbuhan barang dan jasa. Alhasil, barang dan jasa diharapkan akan bisa tumbuh secara produktif dan otomatis, dengan cara melakukan serapan tenaga kerja.
Kedua adalah dengan mengoptimalisasi posisi Baitul Maal sebagai sistem keuangan negara. Negara Khilafah yang hanya bergerak pada sektor riil akan mengoptimalkan usaha dalam bidang pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan atau pun sektor-sektor lainnya, sehingga serapan tenaga kerja akan tumbuh dengan baik.
Negara tidak segan memberikan bantuan modal kepada yang membutuhkan, baik dalam bentuk pinjaman tanpa bunga atau pun dengan bantuan berupa hibah yaitu pemberian dari negara yang diambil dari pos kepemilikan negara. Paradigma pembangunan dalam Khilafah bukanlah kapitalistik tetapi paradigma industri berat. Hal ini akan mendorong terbukanya industri lain yang mendukung terbangunnya industri berat, sehingga mampu membuka lapangan pekerjaan secara nyata.
Di sisi lain, negara Khilafah akan menata ulang aset-aset yang ada di bumi, sehingga bisa dipisahkan kepemilikan individu, kepemilikan rakyat atau publik, hingga kepemilikan negara. Sumber daya alam yang melimpah (kepemilikan rakyat) wajib dikelola negara secara langsung dan haram menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta.
Dari sinilah, negara bisa mengambil langkah strategis dengan menyusun berbagai proyek yang bersifat padat karya, sehingga negara mampu menunaikan tugasnya sebagai pengurus umat. Salah satunya adalah dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya tanpa mengandalkan investasi swasta ataupun asing.
Selain itu, Islam juga mengatur bagaimana hubungan dengan luar negeri, termasuk dalam bidang perdagangan yang menjauhkan negara dari intervensi negara lain. Oleh karena itu, hanya pembangunan ekonomi Islam bernaung di bawah negara Khilafah yang mampu melesat dengan cepat dan mewujudkan kesejahteraan secara merata bagi seluruh kalangan masyarakat.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 11
Comment here