Opini

Peringatan HAN, Sekadar Seremonial Tanpa Solusi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Khodijah Ummu Hannan

wacana-edukasi.com, OPINI-– Negeri ini kembali merayakan Hari Anak Nasional ke-40, yang jatuh setiap 23 Juli. Tema yang diangkat tahun ini tetap sama dengan tahun sebelumnya, yaitu “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Sub tema yang diusung meliputi anak cerdas, berinternet sehat, suara anak membangun bangsa, pancasila di hati anak Indonesia, daring to lead and speak up: anak pelopor dan pelapor, pengasuhan layak untuk anak: digital parenting, anak merdeka dari kekerasan, perkawinan anak, pekerja. (kemenppa.co.id, 04/07/24).

Meskipun Hari Anak Nasional (HAN) diperingati setiap tahun dengan berbagai seremoni, kenyataannya tidak mampu mengubah nasib buruk yang menimpa anak-anak. Anak-anak yang seharusnya menikmati kehidupan dengan warna dan kebahagiaan penuh, kini tercabut dari hak-hak asasi mereka. Banyak anak yang menjadi korban atau bahkan pelaku kejahatan, sebuah fakta yang mengejutkan.

Potrem Buram Anak Negeri

Gambaran kelam anak negeri menjadi semakin nyata. Ketika anak di bawah usia 10 tahun terlibat dalam praktik judol. Sekitar 80.000 anak tercatat menjadi pelaku judol. (blombergtechoz.com 20/06/24).

Menurut data dari Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak Online (Simfoni PPA), terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak dari Januari hingga November 2023. Mayoritas korban adalah perempuan dan laki-laki. Termasuk juga kasus kekerasan seksual.(kemenppa.co.id, 04/01/24).

Masalah stunting juga masih menjadi ancaman bagi anak-anak di negeri ini. Menurut Menteri Kesehatan Gunadi Sadikin, penurunan angka stunting di Indonesia terlalu lambat. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa angka stunting di Indonesia pada tahun 2023 masih mencapai 21,5 persen. Artinya hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya.

Sementara itu, angka putus sekolah juga masih butuh perhatian serius. Bagaimana mungkin negara ini maju jika angka putus sekolah masih tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingginya tingkat putus sekolah di berbagai jenjang pendidikan pada tahun 2023. Hasil survei dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2023 menunjukkan peningkatan angka putus sekolah. Terutama pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.(rri.co.id, 24/07/24).

Fakta di atas adalah gambaran kecil dari penderitaan yang dialami anak-anak di negeri ini. Pemerintah telah berupaya keras untuk mengatasi masalah ini. Namun, masih banyak yang harus dilakukan untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Kapitalisme sekulerisme biangnya

Carut marut permasalahan yang menimpa anak, adalah akibat dari diterapkannya sistem Kapitalisme. Sistem inilah yang menyebabkan berbagai masalah turunan:

1. Lemahnya Peran Keluarga
Keluarga seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Tempat bagi mereka menerima kasih sayang, perlindungan, dan pendidikan dari orang tua. Namun, akibat dari penyebaran faham sekularisme-liberalisme yang semakin meluas, keluarga tidak lagi berperan sebagai benteng yang kokoh bagi anak-anak. Dengan kesibukan orang tua dalam bekerja, rumah bukan lagi menjadi lingkungan pertama yang memberikan pendidikan bagi anak-anak. Ironisnya, saat ini banyak fakta justru orang terdekatlah yang menjadi pelaku kejahatan terhadap anak.

2. Sistem Ekonomi yang Menyengsarakan Anak
Akibat dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis, anak pun merasakan dampaknya. Proporsi anak yang hidup dalam kemiskinan di Indonesia lebih tinggi pada tahun 2022, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka sebagian besar adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun (0-4 tahun) dan menyumbang 12,93% dari total penduduk miskin pada Maret 2022. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan semua kelompok umur yang sebesar 9,54%. Sekitar 13 dari 100 anak baik pada masa bayi maupun anak usia dini tergolong miskin.

Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan pada anak balita lebih tinggi dibandingkan kelompok umur lainnya. Secara spesifik, besarannya adalah 2,20% untuk kedalaman kemiskinan dan 0,55% untuk tingkat keparahan kemiskinan. Sedangkan untuk seluruh kelompok anak usia 0 sampai 17 tahun sebesar 11,80%. Kedalaman kemiskinan sebesar 2,01% dan tingkat keparahan kemiskinan sebesar 0,51%.

Berikutnya, 10,67% remaja atau mereka yang berusia 10 hingga 19 tahun hidup dalam kemiskinan. Diikuti oleh generasi muda berusia 16 hingga 30 tahun sebesar 8,82%. Selain itu, kelompok usia kerja adalah 15-64 tahun yaitu sebesar 8,47%.(MNet.com, 04/07/24).

Angka kemiskinan anak di atas adalah bukti nyata bahwa sistem ekonomi kapitalis telah gagal memberikan kesejahteraan bagi anak.

3. Kegagalan Sistem Pendidikan Kapitalis
Sistem pendidikan kapitalis dengan kurikulumnya telah gagal menghasilkan anak didik yang cerdas dan beriman. Terbukti dengan tingginya pelaku kejahatan, di mana salah satu penyebabnya adalah kurangnya literasi anak. Sistem pendidikan sekuler membawa masalah-masalah kompleks dalam dunia pendidikan. Mulai dari biaya yang tinggi, sistem zonasi yang kacau, PPDB, dan berbagai persoalan lainnya.

Diperparah dengan kurangnya perhatian negara dalam menangani masalah anak. Terlihat ketidakseriusannya dalam mencari solusi. Padahal kompleksitas masalah yang ada memerlukan lebih dari sekadar perayaan dan pencitraan.

Islam Melindungi Generasi

Anak-anak sebagai pewaris kepemimpinan bangsa di masa depan harus dianggap sebagai aset berharga. Perkembangan positif atau negatif suatu bangsa di masa mendatang ditentukan oleh kualitas anak-anak saat ini. Jika negara mampu menciptakan generasi yang unggul, maka kemajuan negara ini akan terasa.

Untuk menciptakan generasi terbaik, Islam telah mempersiapkan sejak dini. Yakni dengan mempersiapkan keluarga (orang tua) yang memiliki kepribadian Islam. Hal itu agar mereka kelak mampu mendidik anak-anaknya dan menjadikan rumah sebagai sekolah pertama bagi sang anak. Sehingga sejak usia dini, anak-anak sudah memiliki fondasi keimanan. Mereka akan dikelilingi oleh kasih sayang dan merasakan kebahagiaan dalam dunianya.

Negara Islam akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang menghasilkan individu berkepribadian Islam. Setiap anak akan mendapatkan pendidikan tanpa harus memikirkan biaya, karena negara akan menjamin hal itu. Dalam sistem Islam, tidak akan ada anak yang putus sekolah karena alasan finansial.

Sistem Ekonomi Islam akan diberlakukan, sehingga tidak akan ada lagi anak-anak yang hidup dalam kemiskinan. Sistem ekonomi Islam akan menjamin kebutuhan semua rakyatnya.

Negara Islam akan memberlakukan sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan, seperti bandar judi online yang jelas-jelas diharamkan dalam surat Al-Maidah:90. Bagi bandar atau pelaku judi, akan dikenakan sanksi ta’zir yang jenisnya akan ditentukan oleh khalifah. Dengan memberlakukan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera, tidak akan ada lagi anak-anak yang menjadi korban atau pelaku kejahatan.

Semua hal ini akan dilakukan oleh pemimpin dalam sistem Islam, dengan ketulusan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Sebab, seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya”(HR. Bukhari Muslim). Maka hanya sistem Islamlah yang mampu memberikan kesejahteraan kepada anak.

Wallahu’alam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here