Oleh: Anisa Rahmi Tania
wacana-edukasi.com, OPINI– Aborsi, salah satu kata yang saat ini tidak tabu lagi. Jika dulu masyarakat merasa ngeri dan takut mendengarnya. Berbeda dengan hari ini, aborsi telah menjadi trend. Telah menjadi rahasia umum berapa banyak anak yang masih duduk di bangku sekolah maupun kuliah melakukan praktik aborsi di klinik ilegal atau dengan mengonsumsi obat-obatan.
Legalitas Aborsi Apakah Solusi?
Jelas tindakan aborsi termasuk tindak kejahatan. Akan tetapi, muncul permasalahan lain. Pemerintah didorong berbagai pihak untuk melegalkan aborsi bagi korban pemerkosaan. Dilansir dari laman media tirto.id (30/7/2024), melalui Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang kesehatan, pemerintah melegalkan tenaga kesehatan dan tenaga medis melakukan aborsi bagi korban pemerkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. Dalam prosesnya, aborsi dapat dilakukan dengan menyertakan keterangan penyidik tentang dugaan perkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan (Pasal 118 huruf b). Pada pelaksanaannya, aborsi harus dilaksanakan oleh tim pertimbangan, yakni diketuai oleh komite medis rumah sakit dan dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan (Pasal 121 ayat 3). Korban pun harus mendapatkan pendampingan konseling (Pasal 124 ayat 1).
Sementara menurut Maidina Rahmawati (Indonesian Institute for Criminal Justice Reform/ICJR), pihak kepolisian belum menetapkan peraturan terkait kewenangan khusus bagi korban pemerkosaan. Menanggapi hal ini, para aktivis kesetaraan gender merasa kebijakan ini malah semakin membatasi korban. Alih-alih memberikan solusi, menurut mereka kebijakan ini malah menghambat para korban mengakses hak mereka untuk mengakhiri kehamilan. (03/8/2024)
Para aktivis pemberdayaan perempuan memang selalu nyaring menyuarakan pelegalan ini. Menurut mereka untuk mengobati psikis korban permerkosaan bisa sampai seumur hidup, lantas bagaimana dengan kondisi seperti itu dia harus hidup dengan anaknya. Mereka menganggap kebolehan aborsi ini akan meringankan derita psikis para korban. Bagi mereka seharusnya perempuan diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan atas kehamilan yang mereka alami.
Jika memandang fakta tersebut secara sekilas, banyak yang menilai kebijakan tersebut layak untuk didukung. Namun pertanyaannya apakah pelegalan aborsi bagi korban pemerkosaan efektif menghentikan tindakan pemerkosaan atau kekerasan seksual? Ataukah pada akhirnya hanya akan menambah beban para korban karena harus melewati tindakan aborsi. Serta mengorbankan janin-janin yang tidak berdosa.
Menelaah Akar Masalah
Melihat akar masalah aborsi, tentu tidak boleh sebelah mata. Akar masalah kekerasan seksual yang berujung kehamilan seharusnya ditelaah secara lebih mendalam. Setidaknya ada beberapa faktor yang harus dibenahi.
Pertama, masalah individu. Kehidupan yang semakin liberal dengan berlandas pada asas sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan berdampak sangat nyata. Dampak terkecil namun fatal adalah tergerusnya rasa malu. Baik wanita maupun laki-laki tidak lagi menganggap malu sebagian dari iman. Faktanya dari cara berpakaian. Karena tidak ada aturan yang tegas, pakaian Muslimah saat ini tidak ada bedanya dengan non-muslim. Begitu pula laki-laki yang seharusnya senantiasa menundukkan pandangannya dari lawan jenis untuk menjaga nalurinya. Hari ini malah difasilitasi untuk membuat antara laki-laki dan perempuan senantiasa berinteraksi tanpa batas.
Dari asas sekularisme yang semakin mengakar pula menyebabkan pemahaman agama setiap orang semakin jauh dari pemahaman Islam yang hakiki. Menilai segala perbuatan dari logika. Tidak melihat halal haram atau keridaan sang pencipta. Maka tidak heran jika pemerkosaan atau kekerasan seksual rentan terjadi. Benteng iman dari dalam diri telah roboh oleh pemahaman asing.
Kedua, minimnya kontrol masyarakat. Analoginya jika seseorang melakukan kemaksiatan karena lupa ataukah ketidaktahuan, maka masyarakat yang ideal seharusnya membantu dan menasehatinya. Lantas menuntunnya untuk tidak lagi melakukan kemaksiatan. Namun yang terjadi hari ini, masyarakat pun telah terkontaminasi individualisme. Paham yang lebih mengutamakan ke-aku-annya.
Kondisi ini pun imbas dari asas sekularisme tadi, karena bagaimana masyarakat bisa melakukan kontrol, saling menasehati, dan mengajak pada kebaikan jika individu-individu di dalamnya pun sebagian besar tidak paham agama. Misalnya ketika seorang muslimah keluar rumah dengan busana yang minim atau dandanan yang menor. Hal itu sudah dianggap biasa. Begitu pula banyak laki-laki yang awam agama dan tidak punya kesibukan positif. Maka jangan heran jika tragedi pemerkosaan saat ini sering terjadi.
Ketiga, peran negara. Sekacau-kacaunya masyarakat jika diatur oleh aturan yang benar, maka tidak akan terlalu rusak. Sebaliknya jika ada oraganisasi-organisasi masyarakat yang berusaha keras menyelesaikan masalah di tengah-tengah masyarakat, tidak akan sempurna dan menyeluruh tanpa adanya peran negara.
Maka, pihak yang berwenang menerapkan aturan hanyalah negara. Negara mampu melenyapkan sekularisme dari benak masyarakat secara bertahap dengan edukasi yang terus menerus dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media. Negara juga mampu memblokir secara tuntas tontonan-tontonan porno yang merusak akal. Negara mampu menerapkan skema kehidupan terpisah antara laki-laki dan perempuan. Memberikan pendidikan untuk mencetak generasi yang berkepribadian mulia bukan yang memuja syahwat. Negara mempunyai kemampuan itu semua. Negara pun mampu untuk memberi sanksi tegas kepada para pelaku pemerkosaan dan mengayomi setiap korban termasuk anak yang dia lahirkan.
Tetapi nyatanya saat ini negara tidak berusaha ke arah sana. Negara malah lebih mengampanyekan seks sehat dengan memudahkan setiap orang bisa mendapatkan kondom. Negara lebih memilih melegalkan aborsi untuk kehamilan karena pemerkosaan dari pada melakukan upaya pencegahan tindak pemerkosaan secara sistemis.
Inilah sebenarnya efek dari sistem rusak dan merusak ala kapitalisme. Negara selalu menghitung untung rugi daripada kemashlahatan masyarakat. Hingga menyengsarakan masyarakat.
Islam Aturan Sempurna
Dalam Islam, aborsi haram dilakukan kecuali dalam dua kondisi. Yakni janinnya sudah meninggal di dalam rahim dan kondisi yang mengancan sang ibu. Karena Islam memandang kehidupan seseorang sangatlah berharga. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS Al-Isra: 33)
Adapun untuk pelaku pemerkosaan, maka Islam menetapkan sanksi rajam bagi pelaku yang sudah menikah dan jilid (cambuk) sebanyak 100 cambukan bagi yang belum pernah menikah. Beberapa ulama bahkan berpendapat jika tindakan pemerkosaan diikuti dengan tindakan penyiksaan atau perampasan harta maka hukumannya bisa ditambah. Hukuman bagi pemerkosa yang menyiksa atau merampas harta sesuai dengan Alquran surat al-Maidah ayat 33. (Republika.co.id, 16/5/2016)
Islam pun melakukan upaya pencegahan dengan sistematis. Di antaranya dengan menerapkan edukasi berdasar pada asas Islam baik edukasi melalui Kurikulum di sekolah maupun di majelis-majelis ilmu yang dibina para ulama. Karena negara Islam menerapkan syariat Islam dalam setiap sisi kehidupan maka Islam mengatur batasan aurat dan pakaian yang wajib dikenakan di tempat umum. Dengan begini tidak ada perempuan yang terlihat auratnya yang memancing syahwat laki-laki. Begitu pula laki-laki akan terpelihara pandangannya dengan senantiasa menundukkan pandangan dengan kesibukan dijalankan sesuai statusnya.
Negara Islam akan membatasi tayangan-tayangan baik di media televisi maupun media lainnya. Tayangan yang ada dipastikan tayangan yang akan mendorong pada keimanan dan ketaatan. Melalui pencegahan dan penerapan sanksi yang tegas, sungguh hanya dengan Islam permasalahan kekerasan pada perempuan seluruhnya akan terselesaikan.
Wallahu’alam
Views: 11
Comment here