Oleh: Ummu Azmi (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Mengandung merupakan saat yang membahagiakan. Saat di mana hadirnya calon buah cinta dari sepasang suami istri. Sepasang suami istri yang saling mencintai dan pastinya sudah diikat oleh sebuah pernikahan.
Namun, bagaimana jika calon makhluk mungil tersebut hadir tidak disangka-sangka ketika ikatan pernikahan pun tiada terjalin? Apakah layak dipertahankan?
Melansir dari tirto.id (30/7/2024), tenaga kesehatan dan tenaga medis dibolehkan oleh pemerintah untuk melakukan aborsi terhadap korban tindak pidana perkosaan atau korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.
Menurut ketua MUI Bidang Dakwah, M. Cholil Nafis, pasal terkait aborsi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan masih belum sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ketika terjadi kedaruratan medis, korban pemerkosaan, dan usia kehamilan sebelum 40 hari atau sebelum peniupan ruh, aborsi bisa dilakukan. (mediaindonesia.com, 1/8/2024)
Sudah lah korban perkosaan mengalami trauma, di tambah dengan rasa berdosa karena membunuh calon bayi yang akan lahir ke dunia. Memangnya, apa yang menyebabkan seseorang dengan tega berniat melakukan aborsi?
*Kehidupan yang Sekuler*
Tak lain lagi, berbagai permasalahan yang ada di kehidupan ini merupakan akibat dari pemisahan agama dari kehidupan. Kehidupan yang sekuler ini menjadikan kehidupan jauh dari agama. Individu menjadi berbuat tanpa tuntunan agama. Alhasil, kerusakan lah yang terjadi.
Seperti praktik aborsi yang terjadi, hal itu merupakan salah satu dampak dari kehidupan yang sekuler. Pergaulan yang bebas, tanpa adanya batasan interaksi antara perempuan dan laki-laki, menjadikan salah satu hal yang membuat aborsi terjadi. Meskipun pada kenyataannya, tidak semua kehamilan tidak diinginkan merupakan hasil dari hubungan suka sama suka yang terjadi luar pernikahan, tetapi bisa saja merupakan hasil dari perkosaan.
Namun, kehamilan yang terjadi karena perkosaan pun tidak serta merta membolehkan tindakan aborsi. Korban akan menanggung beban yang tidak sedikit. Korban rudapaksa akan menanggung rasa malu, akan mengalami trauma, dan jika melakukan aborsi, ia akan menanggung beban hukum karena membunuh janin.
Dalam kasus aborsi ini, media sosial ternyata mempengaruhi hal tersebut. Karena, beberapa kasus perkosaan diawali dengan perkenalan di media sosial. Berlanjut ke tahap pertemuan yang dilakukan sukarela. Lalu, korban menghilang. Setelah ditemukan, ternyata korban mengalami tindakan perkosaan.
Dari hal demikian, sepertinya masih ada perempuan atau remaja yang mudah terjerat bujuk rayu laki-laki. Dengan kata-kata manis yang terucap maupun tertulis, membuat perempuan dalam jejaring sosial mudah memberikan hatinya. Sehingga, calon korban seakan patuh terhadap keinginan laki-laki. Hal tersebut sepertinya dimanfaatkan oleh pelaku untuk melancarkan aksi bejatnya.
Inilah yang terjadi jika pergaulan tanpa dibatasi oleh aturan agama. Sekularisme dalam kehidupan melahirkan kebebasan dalam bertingkah laku. Individu tidak dapat mengontrol dirinya, apakah perbuatan tersebut sesuai dengan tuntunan agama atau malah melenceng dari ajaran agama.
Hal ini ditopang dengan penggunaan media sosial yang kurang baik. Individu merasa bebas menonton dan memberikan tontonan yang mengundang syahwat. Dan juga, tidak adanya kontrol dalam penayangan konten-konten yang ada di dalam website maupun media sosial itu sendiri. Keamanan perempuan pun dipertaruhkan.
Di lain sisi, pengajian-pengajian yang memberikan jalan bagi individu untuk beriman dan bertakwa, dibubarkan. Ustaz pengisi kajiannya dikriminalisasi. Tak heran jika banyak kasus perkosaan. Namun, hal tersebut tidak dapat dibiarkan.
Selain itu, keluarga nampaknya sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk melaksanakan pendidikan di dalam rumah yang berlandaskan akidah Islam. Seluruh anggota keluarga minim keterikatan nya dengan syariat Islam. Sekolah pun sepertinya tidak mampu melahirkan generasi yang berkepribadian Islam dan berakhlak mulia.
*Aborsi Menurut Islam dan Penyelesaiannya*
Aborsi bukanlah jalan pintas untuk mengatasi trauma yang dialami korban yang hamil karena perkosaan. Meskipun secara medis, aborsi legal dilakukan dengan bersyarat dan prosedur yang tepat sesuai standar medis. Bagaimanapun, aborsi merupakan tindakan merenggut hak hidup manusia, yang mana hak tersebut berasal langsung dari Allah Swt.. Maka dari itu, sebelum melakukan aborsi, individu hendaknya mempertimbangkan hukum syarak terkait tindakan tersebut.
Menggugurkan janin yang telah diberi nyawa, hukumnya haram. Dalam Islam, aborsi merupakan tindakan kriminal. Wajib adanya tebusan yang yang dengan ghurrah, yaitu budak laki-laki atau perempuan yang nilainya sepersepuluh tebusan membunuh manusia dewasa. Allah Swt. berfirman,
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’am [6]: 151).
Untuk kasus kehamilan yang tidak diinginkan, manusia tidak bisa gegabah mengambil jalan aborsi sebagai solusi. Karena, aborsi hukumnya haram dalam Islam, kecuali ada kondisi tertentu yang diperbolehkan oleh syarak.
Jika janin yang gugur sudah terlihat wujudnya seperti manusia, yaitu memiliki kepala, tangan, kaki, jari, mata atau kuku, maka wajib diat ghurrah. Jika pengguguran janin dilakukan sebelum peniupan ruh dan dilakukan setelah 40 hari sejak awal kehamilan, ketika awal proses penciptaan, hukumnya juga haram. Penganiayaan terhadap calon bayi yang masih dalam kandungan, sama dengan penganiayaan terhadap jiwa manusia.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika nutfah (zigot) telah berlalu 42 malam, Allah akan mengutus padanya seorang malaikat. Maka malaikat itu akan membentuknya, mencipta pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian dia berkata, ‘Wahai Tuhanku, apakah (dia Engkau tetapkan menjadi) laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah memberi keputusan.’” Dalam riwayat yang lain disebutkan empat puluh malam (arba’ina lailatan).
Aborsi boleh dilakukan jika para dokter menyatakan bahwa keberadaan janin akan mengakibatkan kematian pada ibunya dan juga janin yang dikandungnya. Sehingga aborsi boleh dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibunya.
Penerapan Islam secara kafah termasuk menerapkan sistem sanksinya, akan menutup ruang kejahatan seksual pada perempuan. Karena, Islam dapat mengatasi pemerkosaan dari sumber masalahnya. Pemerkosaan yang dilakukan tanpa adanya ancaman senjata, termasuk dalam kategori zina. Jika pelaku pemerkosaan belum menikah, hukumannya adalah cambuk 100 kali dan pelaku diasingkan selama setahun. Jika pelaku pemerkosaan sudah menikah, ia mendapatkan hukuman rajam sampai mati.
Aborsi bukan solusi untuk korban rudapaksa. Penyelesaian masalah pemerkosaan ini harus di mulai dari akar hingga daunnya. Hukum Islam akan tegak jika syariat Islam Kafah diterapkan dalam pemerintahan. Karena, hukum Islam bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain melakukan kejahatan yang serupa, serta sebagai penebus dosa bagi pelaku di akhirat nanti. Wallahualam.
Views: 6
Comment here