Surat Pembaca

Pemberian Alat Kontrasepsi, Mungkinkah Jadi Solusi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Belum lama ini, presiden Jokowi baru saja menandatangani Peraturan Pemerintah no. 28/2024 tentang pelaksanaan UU No. 17/23 tentang Kesehatan. PP tersebut mengundang kontroversi. Pasalnya, dalam pasal 103 ayat (4) tertulis bahwa pelayanan kesehatan reproduksi selain meliputi deteksi dini penyakit, pengobatan, rehabilitasi dan konseling mencakup pula penyediaan alat kontrasepsi bagi warga usia sekolah dan remaja.

Dalam pasal 103 PP tersebut, disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi dan edukasi, serta layanan kesehatan reproduksi.

Selanjutnya, penjelasan mengenai bentuk pelayanan kesehatan sistem reproduksi bagi usia sekolah dan remaja adalah dengan menyediakan alat kontrasepsi. Hal ini tertuang dalam Pas 103 ayat (4) huruf e. (Tempo.co, 01/08/2024).

Pantas saja PP ini mengundang pro dan kontra. Di akhir masa jabatannya, seharusnya presiden Jokowi merenungi dan mengevaluasi kinerjanya selama ini. Bukan justru menambah dosa besar dengan meneken PP yang beresiko melegalkan seks bebas dengan pemberian alat kontrasepsi kepada remaja atau warga usia sekolah. Selain itu, PP ini juga membolehkan aborsi bagi korban pemerkosaan atau tindak kekerasan seksual. Yang jadi pertanyaan, apa sebenarnya tujuan dari dibuatnya aturan pemerintah ini? Apakah ini salah satu bentuk perlindungan terhadap remaja, atau sebaliknya? Tentu saja dilatarbelakangi oleh tingginya kehamilan yang tak diinginkan (KTD) dan penyebaran penyakit menular seksual di kalangan remaja.

Sebelum ada payung hukum ini saja, angka seks bebas di Indonesia sangat tinggi. Yogyakarta masuk dalam daftar kota dengan tingkat seks bebas tertinggi di Indonesia. Data 2015 dari Dinas Kesehatan Yogyakarta mencatat ada 1078 remaja usia sekolah yang melakukan persalinan. Dari jumlah itu, 976 diantaranya hamil diluar nikah.

Angka kehamilan di luar nikah merata di lima kabupaten atau kota di Yogyakarta. Di Bantul misalnya ada 276 kasus, kota Yogyakarta (228), Sleman (219), Gunungkidul (148 kasus) dan Kulonprogo (105) (sindonews.com).

Sebagai negara mayoritas muslim, payung hukum ini tidak akan menyelesaikan angka KTD dan penyebaran penyakit menular seksual. Sebaliknya, seks bebas di kalangan remaja berpotensi semakin subur. Akar masalah tingginya angka seks bebas di kalangan remaja ialah sekularisme (pemisahan agama dalam kancah kehidupan). Sekularisme menjadikan standar berbuat seseorang bukan halal dan haram, melainkan untung dan rugi. Jika seks bebas tidak merugikan orang lain, tidak masalah.

Ada tiga pilar masyarakat yang baik, yaitu individu yang bertakwa, masyarakat yang peduli dan negara yang menerapkan. Dalam Islam, pelaku zina diberi hukuman cambuk 100 x jika pelakunya muhshan (belum menikah) dan diasingkan. Sedangkan jika pelakunya ghairu muhshan (sudah menikah) dirajam sampai meninggal. Mengapa? Karena efek buruk zina bukan hanya bagi pelakunya, tapi juga masyarakat.

Negara juga wajib melakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya seks bebas. Menutup akaes pornografi, menutup tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya khalwat (berduaan) dan ikhtilat (campur baur) laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Tentu negara wajib melakukan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya zina dan dampaknha, semuanya dilandasi dengan Aqidah dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Fida Nudiya, S.Pt.
Pemerhati Remaja

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 40

Comment here