Oleh Wiwin Ummu Atika
wacana-edukasi.com, OPINI– Melansir SuaraJabar.id (1/7) bahwa di Kabupaten Bandung, judi online (judol) jadi pemicu utama ratusan gugatan cerai yang diajukan istri kepada suaminya. Hakim Pengadilan Agama Kelas I Kab. Bandung, Fathullah, menyatakan bahwa pada semester pertama 2024 terjadi 4000 kasus perceraian dan sekitar 400 kasus (10%) disebabkan oleh judol.
Para istri mengajukan tuntutan cerai kepada suaminya karena nafkah mereka terganggu akibat uang hasil kerja digunakan untuk berjudi. Belum lagi pertengkaran yang kerap terjadi bahkan sering berakhir dengan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Tidak ada lagi kebahagiaan dalam rumah tangga yang didalamnya ada pelaku judi. Pelaku kecanduan, keluarga terimbas tidak dapat perhatian, anak-anak melihat contoh buruk dari orang yang seharusnya melindungi dan menjadi teladan baginya.
Judi membawa efek buruk finansial dan psikologis pada keluarga. Para suami yang seharusnya jadi pemimpin bagi istri dan anaknya, malah disingkirkan atau digugat cerai gara-gara judol. Bahkan di Mojokerto, Jawa Timur terjadi kasus istri membakar suaminya (Kompas.com, 10/6). Istri (Briptu FN) membakar suaminya (Briptu RDW) karena kesal suaminya itu sering menghabiskan uang belanja untuk membiayai ketiga anaknya, digunakan untuk bermain judol.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, setuju judol harus diberantas. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melibatkan tokoh-tokoh agama agar memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya Judi.
Selain itu, Menko PMK mengusulkan agar keluarga pelaku judol mendapat bantuan sosial karena mereka menjadi miskin akibat anggota keluarganya bermain judol. Wacana ini langsung menjadi polemik di masyarakat. Miskin karena ulahnya sendiri kok diberi bantuan, sungguh upaya yang kebablasan, menohok rasa keadilan fakir miskin akibat tidak dapat pekerjaan.
Tempo.com (5/5) mengabarkan bahwa Indonesia menjadi sorotan dunia karena menjadi negara dengan pemain judol terbanyak sedunia. Bagaimana tidak, judol sudah menggurita ke semua lapisan masyarakat. Pelaku judol ada dari kalangan orang kaya maupun miskin, dari anak-anak sampai dewasa, dari petugas parkir, ASN, ibu rumah tangga, mahasiswa sampai anggota dewan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Tidak kurang dari 4 juta orang Indonesia terdeteksi aktif melakukan judol dengan transaksi total di kuartal pertama tahun 2024 mencapai Rp 600 Triliun (Kompas.com/18-6).
Daya rusak judol telah banyak dirasakan baik oleh pribadi, keluarga maupun masyarakat. Pecandu judol sulit berhenti karena pikirannya sudah dikuasai angan-angan “siapa tahu nanti menang”. Padahal, kemenangan sudah diatur oleh bandar yaitu hanya 5% peluang untuk menang dan 95% kalah. Artinya lebih sering kalah daripada menang.
Kekalahan judol membuat pelaku penasaran. Sehingga bila uang depositnya habis, dia mulai menjual barang miliknya atau keluarganya. Kemudian meminjam kepada teman dan tetangga atau yang terbaru, memanfaatkan pinjaman online. Lilitan utang, kekalahan yang bertubi-tubi dan hubungan sosial memburuk, tidak jarang membuat pelaku akhirnya mengalami gangguan psikologis dan perubahan perilaku. Stres, depresi bahkan sampai bunuh diri.
Pengaruh judol merembet pada orang-orang sekitarnya lalu ke masyarakat. Banyak kejahatan terjadi diawali oleh aktivitas judol. Maka pantas Allah SWT mengharamkan judi, karena judi adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan (QS Al Maidah: 90).
Aktivis muslimah Ummu Nashir N.S. menyatakan bahwa maraknya judol akibat penerapan sistem Kapitalisme Sekuler (MuslimahNews.com, 16/7). Pemisahan agama dari kehidupan (sekuler) membuat manusia bebas tanpa aturan. Gaya hidup melebihi pendapatan karena ingin diakui sebagai orang yang berhasil, tujuan hidup ingin mendapatkan materi semata (kapitalisme). Kurangnya pengetahuan agama membuat orang tidak tahu perkara halal dan haram. Judol jadi solusi cepat kaya tanpa harus kerja keras. Penerapan sistem rusak inilah akar masalahnya.
Dedeh Wahidah Ahmad, seorang pengamat keluarga, mengatakan bahwa judi telah menghancurkan tiang-tiang keluarga. Hal ini terjadi karena ketakwaan individu yang lemah, rendahnya kepedulian masyarakat untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta tidak adanya peran negara dalam penerapan syari’at Islam (Al Wa’ie, Agustus 2024).
Satu-satunya solusi untuk keluar dari masalah judol adalah dengan mencampakkan sistem Kapitalisme sekuler dari kehidupan dan menggantinya dengan sistem Islam. Karena sistem Islam menerapkan aturan dari Allah SWT untuk kehidupan seluruh manusia. Allah yang paling tahu tentang manusia, hasil ciptaan-Nya, maka pasti aturan-Nya yang paling tepat untuk manusia. Bukan aturan manusia yang penuh keserakahan dan tipudaya.
Usaha yang akan dilakukan oleh negara sistem Islam (Khilafah) dalam memberantas judol antara lain :
Pertama melarang permainan judi, baik offline maupun online.
Kedua memberikan sanksi tegas kepada para pelakunya, mulai dari pengguna, agen, admin sampai bossnya.
Ketiga, negara Khilafah harus mempunyai ruang digital mandiri.
Keempat, menyelenggarakan sistem pendidikan Islam demi mewujudkan generasi berkepribadian Islam, dan kelima, menjamin kesejahteraan rakyat dengan menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga setiap laki-laki dewasa mempunyai pekerjaan yang memadai.
Demikianlah, hanya sistem Islam yang dapat memberantas judol sampai tuntas.
Wallahu alam bisshawab.
Views: 8
Comment here