Opini

Ke Mana Akan Dibawa, Derita Umat Teraniaya?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Emmy Harti Haryuni

Wacana-edukasi.com, OPINI– Jutaan pasang bola mata tertuju pada kasus KDRT yang menerpa selebgram berhijab Cut Nabila yang sudah berlangsung selama 5 tahun. Sumpah serapah, emosi, dan amarah dilayangkan dengan penuh kutukan kepada suaminya. Dia melakukan kekerasan saat dirinya baru melahirkan anak ketiga mereka. Hingga bayinya pun tak luput terkena aksi kekerasan itu.

Empati yang diberikan kepada selebgram datang dari berbagai kalangan. Baik rakyat, artis, ustadz, maupun anggota dewan. Tanpa memandang suku, agama, warna kulit, dan dari berbagai kelompok aliran mahzab. Kenapa? Karena empati merupakan rasa kemanusiaan paling rendah yang dimiliki seorang manusia. Artinya bila seseorang tidak memiliki rasa kemanusiaan, maka dipertanyakan apakah dia manusia atau bukan.

Kepedihan Hidup Kaum Muslim

Tahukah kita bahwa jutaan wanita muslimah di berbagai penjuru dunia juga mengalami kekerasan hingga di luar batas perikemanusiaan. Penyiksaan yang dialami wanita muslimah lainnya sudah berpuluh-puluh tahun. Bahkan seratus tahun lamanya sejak runtuhnya Kekhilafahan Turki Ustmani.

Bukan hanya dipukuli, ditendang, dicekik. Tetapi juga diperkosa ramai-ramai, dibunuh, dimutilasi, dibom, dibantai dengan sadis di hadapan anak-anak mereka yang tak berdosa. Jauh lebih kejam dari kekerasan yang dialami selebgram Cut Nabila.

Bila pada seorang selebgram saja kita bisa menaruh empati, lalu mengapa pada wanita-wanita di belahan bumi lain kita tidak bisa berempati. Di mana rasa kemanusiaan kita saat mendengar berita 150 warga Rohingya yang berusaha menyelamatkan diri menyeberangi sungai Naf hendak menuju Banglades tewas digempur dalam serangan Artileri dan pesawat tak berawak di Rakhine Myanmar.

Sungguh menyesakkan dada. Ratusan mayat termasuk wanita dan anak-anak bergelimpangan di sepanjang tepi sungai. Menurut saksi mata sungguh ini merupakan serangan paling brutal tahun ini.
(Serambinews.com, 11/8/2024)

Kekerasan dan pembantaian tersebut bukan kali pertama. Tapi sudah berlangsung puluhan tahun. Puncak pembantaian sadis tidak berperikemanusiaan di tahun 2017 oleh tentara militer Myanmar terhadap 20 desa.

Desa-desa ini dibakar habis oleh para tentara Myanmar. Orang-orang tua lanjut usia dipenggal, dan wanita-wanita muda diperkosa. Kerudung mereka dirobek lalu dipergunakan untuk penutup mata. Tidak peduli siapapun termasuk anak-anak mereka habisi. Setelah itu mayat-mayatnya dikubur secara masal.

Mereka diburu, dikejar-kejar, diserang, dibantai. Seolah seperti buronan terpidana mati bukan karena berbuat kejahatan atau kriminal. Tapi karena mereka adalah seorang muslim yang senantiasa bersujud. Lalu seluruh dunia bungkam dan membisu. Seolah buta, tuli, dan bisu atas pembantaian brutal itu.

Di saat bersamaan, kekerasan dan pembantaian belum usai menimpa muslim Palestina hingga kini. Seolah kekerasan yang menimpa muslim-muslimah lainnya tidak memiliki arti apapun. Di mana empati kita, mengapa hanya tertuju pada seorang selebgram.

Tanpa Junnah, Tubuh Kaum Muslim Terus Bersimbah Darah

Sungguh tanpa seorang Amirul Mukminin atau Imam, pemimpin seluruh kaum muslimin. Nasib wanita-wanita, kaum muslimin akan terus menjadi buruan penjajah kuffar. Bagai anak ayam yang kehilangan induknya terancam diterkam banyak predator. Begitulah gambaran nasib suram kaum muslimin di berbagai belahan dunia.

Rasulullah SAW bersabda,

إنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ، فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ، وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) junnah atau perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)

Kata “Imam” dalam sabda Nabi SAW tersebut bermakna Al-Khalifah. Makna pernyataan kalimat “Al-imamu junnah” adalah pemisalan sebagai bentuk sanjungan kepada imam yang mempunyai tugas kewajiban mulia. Yakni untuk menjaga dan melindungi individu-individu yang ada dalam naungan kekuasaannya.

Dikisahkan, seorang rakyat bertanya “Duhai pemimpin kami, mengapa kami tidak pernah melihat engkau tersenyum?”. Sebuah jawaban yang menyayat qolbu dan menyadarkan mata hati semua orang terlontar dari pemimpin mereka Shalahuddin Al-Ayyubi, “Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum, sementara Al-Aqsa dijajah? Demi Allah, aku malu untuk tersenyum, sedangkan di sana saudara-saudaraku disiksa dan dibantai.”

Di mana Sholahuddin Al-Ayyubi abad ini? Di manakah laki-laki yang berani mengatakan seperti itu?
Di manakah pemimpin yang dengan gagah berani mengirim barisan tentara untuk menyelamatkan nyawa seorang muslimah?
Di manakah seorang panglima perang yang lantang berkata hai Netanyahu si anjing hurdernya Amerika?

Palestina, Rohingya, Suriah, Yaman, Kashmir, Irak, Sebrenica, Uighur merintih dan menjerit menanti empati kita saudara sesama muslim. Bukankah kaum muslim ibarat satu tubuh. Bila salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka bagian tubuh lainnya pun ikut merasakan sakit.

Sungguh, berharap kepada PBB untuk menghentikan kekerasan dan pembantaian kaum muslim adalah sebuah kesia-siaan. Sejatinya, PBB bukanlah teman sejati kaum muslim, sehingga tidak akan bisa memberikan perlindungan. Hanya persatuan seluruh umat dalam satu kepemimpinan Islam lah yang bisa melindungi kehormatan kaum muslimin.

Wallahu’alambishshowwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here