Oleh : Nia Umma Zhafran
Wacana-edukasi.com, OPINI– Dilansir dari tribunjabar.id, 15/08, ribuan guru agama di Kabupaten Bandung mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada Bupati Bandung Dadang Supriatna (DS), atas perhatian yang luar biasa terhadap para guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Kabupaten Bandung.
Sebagai bentuk apresiasi atas perhatian yang besar itu, para guru menyatakan kesiapannya untuk mendukung dan all out memenangkan Bupati Dadang Supriatna pada Pilkada Kabupaten Bandung mendatang. Keputusan tersebut diambil sebagai bentuk apresiasi atas perhatian yang sangat besar yang telah diberikan oleh Bupati DS terhadap kesejahteraan para guru PAI di Kabupaten Bandung.
Berbagai terobosan kebijakan Bupati Dadang Supriatna banyak mendapat respon positif dari masyarakat. Terutama para guru PAI saat itu, terkait program ‘insentif guru ngaji’ yang termasuk dalam 13 program unggulan bupati. Hadirnya program ini, banyak apresiasi dari masyarakat Kabupaten Bandung. Hal ini, menjadikan para guru ingin mengusung kembali DS dalam Pilgub yang akan mendatang.
Namun, apakah kesejahteraan yang para guru PAI rasakan itu adalah kepuasan semu atau hakiki? Pada hakikatnya, kepuasan para guru atas kinerja penguasa daerah hanyalah kepuasan yang semu. Kenapa? Karena sistem yang diterapkan saat ini merupakan sistem yang tidak sahih yakni Kapitalisme Sekuler. Program yang dijalankan seolah baik, padahal hanya suatu solusi pragmatis. Berbagai kebijakan atau program yang dijalankan seolah baik, tetapi sebenarnya bukan solusi hakiki. Yang ada sering menumbuhkan berbagai permasalah baru. Sebab, kebijakan dalam sistem Kapitalisme berlandaskan asas manfaat. Keuntungan tidak akan pernah berpihak pada rakyat.
Dalam paradigma Kapitalisme, survei hanya sebatas hitungan angka yang kadang tidak sesuai dengan fakta. Harus kita akui, kesejahteraan guru khususnya honorer belum baik selama ini. Dilansir dari melansir.com, sebanyak 42 % guru di Indonesia menggunakan pinjol sebagai solusi mencukupi kebutuhan hidup. Mirisnya, pengguna pinjaman online terbanyak menurut data OJK, berada di Jawa Barat dengan total 16,55 triliun atau 27,4% dari total utang pinjol nasional.
Selama bingkainya masih yang bathil, selama itu pula kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat hanya semu, bukan kepuasan yang hakiki. Terlebih, Pak DS akan ikut berkontestasi kembali, sehingga unggahan-unggahan citra positif dikhawatirkan hanya sekadar polesan media sebagai bentuk “kampanye” dalam senyap.
Terlebih guru PAI, seharusnya memahami sistem yang hakiki yakni sistem yang bersumber pada Sang Khaliq. Dimana pengaturan-Nya shahih, yakni dengan sistem Islam yang mampu memberikan kemaslahatan bagi umat termasuk guru. Kejayaan Islam pernah tertulis dalam pena emas selama lebih dari 13 abad. Dimana menjadi Islam menjadi mercusuar bagi seluruh negeri.
Sistem Islam dalam bingkai Khilafah telah banyak mencatat kesejahteraan guru pada saat itu. Dalam catatan sejarah peradaban Islam, para guru diapresiasi dengan gaji yang tinggi. Misalnya, pada masa khalifah Umar bin Khattab, guru digaji sebesar 15 dinar per bulan, setara 1 dinar dengan 4,25 gram emas. Jika dikonversikan ke dalam rupiah saat ini, maka gaji guru pada masa itu adalah sebesar Rp52.287.750 per bulan (1 gram emas= Rp820.200). Begitu pula pada masa Shalahudin Al-Ayubi, guru digaji sebesar 11-40 dinar. Berarti jika gaji tertingginya dirupiahkan, yakni sebesar Rp139.434.000.
Penghargaan bagi orang berilmu pada masa Kekhalifahan Abbasiyah sangat fantastik. Gaji pengajar kala itu mencapai 1.000 dinar/tahun. Khalifah juga memberikan gaji dua kali lipat untuk pengajar Al-Qur’an. Bahkan, ketika ada pengajar atau ilmuwan yang menghasilkan buku, mereka akan mendapatkan penghargaan sesuai berat buku tersebut dalam dinar. Inilah bukti bagaimana Islam sangat menghargai ilmu, orang yang berilmu dan megajarkan ilmu.
Adanya penghargaan tinggi Khilafah terhadap guru, maka guru akan fokus dalam mengajar. Tidak sibuk mencari tambahan sana-sini sampai lari ke pinjol. Dalam Khilafah semua guru digaji sama. Tidak membedakan status guru honorer dan ASN, karena semuanya adalah pegawai negara (muwazif daulah).
Maka penting mengkaji Islam secara ideologis. Bahwa segala kebaikan akan hadir ketika sistem yang diterapkan adalah sistem shahih yakni sistem Islam. Jika yang diperjuangkan untuk meraih kesejahteraan yang hakiki hanya pada individu atau penguasa, tanpa ingin berubah sistemnya, maka yang hadir hanyalah solusi pragmatis dengan kesejahteraan yang semu. Dengan Islam, guru dapat merasakan kesejahteraan yang hakiki. Namun, di sistem saat ini sekuler kapitalisme, kesejahteraan guru bagai menegakkan benang basah. Hanya dengan memperjuangkan diterapkan syari’at dari Sang khaliq, maka akan memberikan rahmat bagi seluruh alam termasuk kesejahteraan hakiki bagi para guru. Jadi, kesejahteraan apa yang para guru inginkan? Kesejahteraan semu atau hakiki? Maka jalan mana yang harus guru perjuangkan saat ini? Sistem buatan Illahi yakni Sistem Islam ataukah Sistem buatan manusia yakni Sistem Kapitalisme? Pilihan dan jalan juang menentukan masa depan.
WalLaahu a’lam bish showwab
Views: 3
Comment here