Oleh Phihaniar Insaniputri
Wacana-edukasi.com, OPINI– Adakah seorang ibu yang tega berbuat keji terhadap anak yang sudah dilahirkannya sendiri? Bukankah seorang ibu itu seharusnya menjadi tempat aman bagi seorang anak? Tapi ternyata ada seorang ibu yang justru menghantarkan sang anak menuju kerusakan. Seorang ibu berinisial E di Sumenep, tega menyerahkan sang anak yang baru berusia 13 tahun untuk di rudapaksa oleh J, sang kepala sekolah, bahkan diantarkan langsung ke hotel. Peristiwa ini sudah terjadi berulang kali sejak Februari 2024 lalu. Sungguh sangat diluar nalar. Apalagi alasan sang ibu karena dijanjikan sejumlah uang dan satu unit sepeda motor oleh J (Kumparan, 01/09/2024).
Saat ini E sudah diamankan oleh pihak kepolisian Sumenep dan dijerat pasal tentang Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Begitupun dengan J yang didakwa dengan pasal perlindungan anak dan ancaman penjara 15 tahun.
Semakin hari berita yang tersiar semakin memperlihatkan tidak adanya tempat yang aman untuk anak tumbuh dengan baik di negara ini. Bagaimana bisa generasi berikutnya menjadi generasi pemimpin jika kebanyakan mereka tumbuh di lingkungan yang justru menjual kehormatan diri mereka dan dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung mereka?
Dari kasus ini kita bisa menyaksikan bahwa seorang ibu bisa tidak memiliki naluri keibuan. Padahal naluri itu adalah fitrah yang alaminya ada di dalam diri setiap manusia, karena Allah menciptakan manusia dengan sempurna dan lengkap dengan fitrahnya supaya bisa melangsungkan kehidupan di dunia. Tapi ternyata fitrah itu bisa rusak dan hilang. Saat hidup tidak lagi bertautan dengan ajaran agama, maka keimanan seseorang akan melemah dan itu akan sangat berdampak pada perilaku seseorang. Lemahnya iman bisa melemahkan akal seseorang karena hawa nafsu yang mendominasi sehingga seseorang itu tidak bisa lagi membedakan mana baik dan buruk, mana benar dan salah. Hanya memprioritaskan kesenangan dan kepuasannya sendiri.
Ditambah lagi adanya asas kebebasan berperilaku yang diagung-agungkan saat ini yang menjadikan seseorang bisa bebas berbuat semaunya tanpa aturan jelas. Baik buruknya hanya menurut versinya sendiri, sehingga lahirlah perilaku bebas tanpa batas seperti berkhalwat, ikhtilat hingga berzina. Keadaan ekonomi yang semakin sempit pun membuat masyarakat semakin putus asa mencari penghidupan untuk tetap bertahan dari hari ke hari. Apapun dilakukan demi sesuap nasi, atau bisa jadi hanya karena sekadar gengsi karena gaya hidup yang semakin konsumtif dan hedon. Hal-hal seperti ini makin menambah deretan faktor-faktor yang merusak moral masyarakat. Maka tidak heran jika ada seorang ibu yang bisa berbuat keji terhadap darah dagingnya sendiri, karena diimingi satu unit motor.
Sungguh negara ini dan masyarakatnya sedang tidak baik-baik saja. Fungsi akal seakan makin meredup, common sense semakin tidak terlihat dan naluri semakin menghilang, tertutup gumpalan nafsu yang semakin membumbung tinggi. Masalah ini bukan hanya sekedar masalah individual, karena jumlah kasusnya semakin banyak, tersebar di berbagai penjuru negeri. Masalah ini levelnya sudah sampai sistemik, maka tidak bisa hanya sekadar menghukum individu-individu saja tanpa ada perubahan secara sistemik. Sistem yang diterapkan saat ini, yaitu kapitalis sekuler, benar-benar bisa membuat manusia berubah menjadi bengis dan tidak manusiawi, karena sistem ini perlahan tapi pasti mengikis naluri. Kerusakan-kerusakan yang terjadi akan terus terjadi hingga sistem rusak ini diganti.
Allah telah menurunkan agama Islam kepada Rasulullah dan menyempurnakannya menjadi sistem kehidupan yang mengatur setiap jengkal aspek kehidupan, bukan sekedar agama ritual. Menjadikan Al-Qur’an dan Assunnah sebagai pedoman hidup, seperti yang tertuang dalam kutipan surat Al-Maidah ayat 48,
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”.
Kemudian dua sumber hukum ini ditegakkan melalui institusi negara, yaitu Daulah Islam dengan satu pemimpinnya, yaitu Khalifah.
Pemimpin atau khalifah dalam Islam adalah pengurus yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Ia punya andil besar dalam menjamin kebutuhan hidup masyarakat dengan mengelola sumber daya negara, sehingga tidak ada lagi keluarga yang kelaparan, atau para ibu yang harus ikut banting tulang untuk memenuhi kebutuhan yang membuat mereka tidak bisa berperan sebagai ummu wa rabatul bayt seutuhnya. Dengan begitu maka akan terbentuk generasi penerus yang diasuh dengan limpahan kasih ibu, yang dididik oleh para ibu yang juga terdidik oleh tsaqafah Islam.
Dengan landasan akidah islam, baik pemimpin negara atau masyarakatnya akan selalu terikat dengan hukum-hukum Allah sebagai bentuk ketaatan mereka. Standar baik-buruk akan disandarkan pada hukum syara’ sehingga akan terbentuk lingkungan yang bernuansa islami. Masyarakatnya saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran untuk menjaga ketaatan. Mereka akan saling menjaga dalam pergaulan, tidak bercampur baur antara laki-laki dan perempuan untuk hal-hal yang tidak diperlukan. Negara juga akan menjaga setiap informasi dari media-media sehingga masyarakat terjaga dari informasi yang mengeskploitasi dan membangkitkan hawa nafsu.
Negara juga menerapkan pendidikan yang berlandaskan akidah Islam untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas tapi juga berkepribadian Islam, sehingga mereka bisa menolak dengan tegas segala hal yang dilarang oleh hukum syara’. Tidak lupa sistem sanksi yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan kemaksiatan, bukan hanya sekedar formalitas semata karena di hadapan hukum syara’ semua manusia adalah sama. Tidak akan ada hukum tebang pilih. Begitulah Islam akan menjaga negara dan masyarakatnya dari kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh dominasi hawa nafsu. Wallahu a’lam bisshawab.
Views: 29
Comment here