Oleh: Sumariya (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Beberapa hari yang lalu, Pemerintah memastikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen pada tahun 2025. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Lewat aturan tersebut, pemerintah telah melakukan penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022.
Sementara ketentuan terkait PPN membangun rumah sendiri termasuk besarannya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.30/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.
“Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak,” bunyi Pasal 3 Ayat (2).
Sehingga dapat disimpulkan, pajak membangun rumah sendiri saat PPN masih 11 persen yang berlaku saat ini adalah 2,2 persen dan saat PPN naik menjadi 12 persen mulai tahun depan adalah 2,4 persen, (Kompas.com, 15/9/2024).
Keadaan ini, sejatinya menggambarkan betapa sulitnya masyarakat memiliki rumah. Ada beberapa hal yang perlu disoroti dalam kebijakan kenaikan pajak yang berefek pada kenaikan pajak dalam membangun rumah ini, antara lain:
Pertama, penetapan pajak adalah satu keniscayaan dalam penerapan sistem kapitalisme, karena sumber pendapatan negara kapitalisme berasal dari pajak. Selama perekonomian negeri ini menggunakan kapitalisme, maka rakyat tidak akan pernah lepas dari pajak yang sejatinya membebani kehidupan mereka.
Kedua, kenaikan pajak membangun rumah membuat rakyat susah memiliki rumah. Hal ini tentu disadari oleh penguasa atau negara, mengingat masih banyaknya rakyat yang homeless dan terancam homeless. Namun, disaat yang sama negara gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi rakyatnya yang memungkinkannya bisa membangun rumah yang layak dan nyaman. Sementara rakyat yang bisa membangun rumah yang memadai atau layak justru dikenai pajak yang makin tinggi. Tampaklah tidak ada upaya negara untuk meringankan beban rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dengan adanya penetapan pajak rumah ini.
Sungguh, penerapan sistem ekonomi kapitalisme menjadikan negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan atau perumahan bagi rakyatnya. Sistem ini memandang rakyat hanya sebagai objek eksploitasi untuk mendapatkan pemasukan. Paradigma raa’in (pengurus) urusan rakyat tidak ada dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme, berikut sistem politik demokrasinya. Sebaliknya negara hadir sebagai pendukung utama proyek bisnis para kapital. Hal ini tampak dari kebijakan pemerintah terkait pajak yang seringkali memberikan hak istimewa kepada para pengusaha, seperti pembebasan dari pajak.
Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sesungguhnya hanya akan terealisasi dalam sebuah sistem yang memposisikan negara sebagai raa’in (pengurus), yakni sistem Islam kaffah yang terealisasi dalam negara Khilafah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus) rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.
(HR. al-Bukhari)
Penerapan sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan rakyat dalam Khilafah individu per individu. Kesejahteraan yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan rakyat. Dalam memenuhi kebutuhan pokok termasuk kebutuhan papan rakyat, negara akan menempuh mekanisme tidak langsung yang diatur syariat Islam, diantaranya:
Pertama, negara akan menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyat dengan gaji yang layak, menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dan menciptakan iklim yang kondusif untuk bekerja. Dengan pengaturan sistem ekonomi Islam, negara mencegah terjadinya monopoli dan terbukanya pekerjaan di sektor non riil. Negara juga melarang penguasaan SDA oleh segelintir orang atau para kapital yang seringkali berlaku sewenang-wenang dalam ketenagakerjaan.
Kedua, negara menjamin kebutuhan papan atau perumahan masyarakat melalui hukum-hukum pertanahan berlandaskan syariat. Hal ini memudahkan rakyat dalam memperoleh lahan, pasalnya lahan mati baik yang belum pernah dihidupkan maupun yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun kepemilikannya, akan berpindah kepada siapa saja yang menghidupkan lahan tersebut, sekalipun lahan tersebut adalah milik pengembang properti. Termasuk menghidupkan tanah di sini adalah membangun rumah di atasnya. Negara juga bisa memberikan tanah
(iqtha’) kepada rakyat yang dipandang membutuhkan.
Negara Islam dilarang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara, sebab syariat telah menetapkan bahwa sumber pendapatan negara Khilafah berasal dari tiga pos utama, yakni pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Dari pos kepemilikan umum saja negara akan memiliki sumber pendapatan yang besar yang memampukan negara menyejahterakan rakyatnya. Alhasil, negara tidak membutuhkan pajak pada kondisi kehidupan berjalan normal, apalagi prinsip Islam dalam mengurus rakyat adalah anti membebani rakyatnya dengan pajak, kecuali pada kondisi tertentu dan terbatas pada rakyat yang kaya. Kondisi ini pun hanya bersifat temporal dan akan dihentikan negara jika kondisi keuangan negara telah berjalan normal.
Murahnya bahan baku membuat rumah dalam Khilafah juga memberikan kemudahan rakyat dalam membangun rumah, sebab bahan baku, seperti pasir, besi, aluminium, nikel, dan sebagainya, termasuk harta milik umum atau milik rakyat sehingga negara hanya diberi mandat mengelolanya dan mengembalikannya kepada rakyat dengan harga terjangkau. Rakyat pun dapat membangun rumah dengan harga murah bahkan mudah mendapatkan lahan gratis.
Sungguh, jaminan pemenuhan kebutuhan papan yang terjangkau bagi rakyat hanya terwujud dalam Daulah Khilafah.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 5
Comment here