Surat Pembaca

Sertifikasi Halal Produk, Kontroversi dalam Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Rini Rahayu (Penulis dan pegiat dakwah)

Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Masyarakat dikejutkan dengan penemuan produk pangan dengan nama yang berkonotasi tidak halal tetapi mendapatkan sertifikasi halal. Produk-produk kontroversi tersebut diantaranya tuyul, tuak, beer, wine yang mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. MUI telah mengkonfirmasi temuan ini dan menyatakan bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare (Wartabanjar.com 1/10/2024).

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan bahwa persoalan tersebut hanya berkaitan dengan penamaan produk bukan soal kehalalan produknya. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir bahwa produk yang telah bersertifikat halal, pasti terjamin kehalalannya karena telah melalui proses dan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Penamaan produk halal ini sebenarnya sudah diatur dalam regulasi SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal, dan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal. Dimana regulasi tersebut menegaskan bahwa pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal terhadap produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku dan berkembang di masyarakat.

Namun, walaupun sudah ada regulasinya ternyata masih ada nama-nama produk tersebut yang mendapatkan sertifikat halal, baik dengan ketetapan halal yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI atapun Komite Fatwa Produk Halal. Hal ini tentu saja sangat mungkin terjadi di negara yang menganut paham kapitalisme. Dalam kapitalisme tolok ukur suatu regulasi adalah sesuai dengan kepentingan manusia dan aturan yang digunakan pun berasal dari manusia. Jadi, tidak ada standar yang baku dan cenderung berubah-ubah.

Dalam kapitalisme, regulasi yang sudah dibuat bisa saja dilanggar atau dibuatkan aturan baru sehingga membenarkan pelanggaran yang terjadi. Inilah model regulasi dan sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Suatu produk walaupun menggunakan nama yang bertentangan dengan syariat Islam, tetapi memperoleh sertifikasi halal asal dzatnya halal. Padahal hal ini tentu saja berpotensi menimbulkan kerancuan halal haramnya suatu benda. Sedangkan dalam Islam, halal haram merup;akan persoalan yang prinsip. Selain itu, sertifikasi dalam kapitalisme dijadikan ladang bisnis, dimana ada aturan batas waktu sertifikasi dan harus diperpanjang apabila sudah berakhir.

Negara dalam Islam adalah sebagai pengurus dan pelindung rakyatnya, termasuk dalam masalah akidah. Sehingga negara harus menjamin kehalalan suatu produk. Apalagi kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Khalifahnya sebagai pemimpin, akan lebih mementingkan rakyatnya dibandingkan dengan keuntungan yang didapat.

Dalam perspektif Islam, negara akan mengatur produk yang beredar. Negara dengan kekuasaan yang dimilikinya akan mewajibkan produk yang beredar di tengah masyarakat adalah produk halal, baik zat maupun penamaannya tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku dan berkembang di masyarakat. Sehingga tidak akan menimbulkan kerancuan. Jadi sebenarnya sertifikasi produk halal tidak diperlukan dalam Islam, karena produk yang haram sudah sejak awal tercegah dan dilarang masuk ke pasar.

Negara akan menugaskan petugas khusus yaitu qadhi hisbah untuk melakukan pengawasan ke pasar-pasar, tempat produksi, tempat pemotongan hewan, gudang, dan tempat lain yang berhubungan dengan pangan secara rutin. Para qadhi ini juga bertugas mengawasi produksi dan distribusi untuk memastikan kehalalan suatu produk, dan memastikan tidak adanya kecurangan dalam muamalah.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here