Oleh: Nana juwita, S.Si.
Wacana-edukasi.com, OPINI— Menjadi seorang pendidik dimana sekularisme yang dijadikan asas kehidupan memang tidak mudah, karena generasi yang sangat jauh dari pemahaman Islam ditambah dengan lingkungan yang tidak Islami menjadikan beban bagi para pendidik untuk dapat menghasilkan peserta didik yang berilmu juga bertaqwa kepada Allah SWT.
Perilaku generasi yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam seperti hilangnya adab seorang murid kepada gurunya menjadi makanan sehari-hari bagi guru, belum lagi rendahnya motivasi peserta didik dalam belajar, semakin menambah deretan persoalan didunia pendidikan. Guru hanya mendapat apresiasi bersamaan dengan Lima Oktober yang diperingati sebagai hari guru dunia.
Peringatan tahun ini mengangkat tema ‘Valuing teacher voices: towards a new social contract for education (menghargai suara guru: menuju kontrak sosial baru untuk pendidikan)’. Tema ini diangkat untuk menyoroti pentingnya ‘suara’ seorang guru. Pasalnya, suara para guru sangat diperlukan agar mereka dapat memberikan pembinaan dan memanfaatkan potensi terbaik dari setiap anak didiknya.
Benarkah guru yang patut disalahkan dalam rusaknya dunia pendidikan? Perlu dipahami bahwa karut marut dunia pendidikkan bukan hanya disebabkan oleh guru semata, namun hal ini juga menunjukkan kegagalan negara dalam mengurusi masalah pendidikan juga tampak dari output generasi yang dihasilkan sangat jauh dari kepribadian Islam.
Generasi muda yang menjadi tumpuan bangsa dan negara malah menjadi pelaku pembunuhan, bahkan dizaman ini banyak lahir anak durhaka akibat sistem pendidikan yang berasaskan pada sekularisme. Begitupun orang tua tidak mampu mendidik anak-anaknya dengan pemahaman Islam hal ini semakin menjadikan beban berat bagi para pendidik di sekolah, dimana kebanyakan siswa bermasalah akibat kondisi keluarga yang tidak harmonis, anak menjadi stres dan prustasi lalu mengalihkan semuanya pada hal-hal yang negatif.
Belum lagi kasus-kasus kekerasan dan juga pelecehan seksual yang terjadi dilingkungan pendidikan,seperti yang dikutip dari (tirto.id, 2/10/ 24) seorang santri KAF (13) tewas dipondok pesantren di Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. Setelah mengalami pendarahan hebat akibat terkena lemparan kayu dari seorang ustaz di pesantren tersebut. Ada juga kasus seorang siswa SMP Negeri 1 STM Hilir berinisial RSS dikabarkan wafat setelah menjalani hukuman dari guru agamanya sebab tidak hafal ayat Al-Quran. Karenanya, RSS dihukum seorang guru honorer di sekolah itu untuk melakukan squat jump sebanyak 100 kali.
Hal ini menjadikan orang tua menjadi resah ketika melepaskan anaknya ke sekolah atau pesantern akibat tidak adanya jaminan keamanan dari negara. Semua ini membuktikan bahwa negara gagal mewujudkan tujuan pendidikan Nasional yang salah satunya adalah untuk menghasilkan generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa juga berakhlak mulia.
Belum lagi dengan tugas dan tanggung jawab guru yang besar, namun tidak diimbangi dengan kesejahteraan guru sehingga guru tidak fokus dalam menjalankan tugasnya, memang seharusnya guru menjadi garda terdepan untuk menjadikan peserta didik yang berkualitas baik dari sisi ketaqwaannya ataupun sisi keterampilan yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Sedemikian penting peran guru, namun fakta di Indonesia justru menunjukkan hal sebaliknya. Guru dihadapkan pada berbagai persoalan, baik gaji yang belum mensejahterakan, kurikulum yang membingungkan dan menjauhkan anak dari perilaku utama, juga tekanan hidup yang tinggi.
Guru juga tak dihargai sepatutnya, hanya dianggap sebagai faktor produksi, pendidik siswa, tata kehidupan sekulerisme pun mempengaruhi jati diri guru, sehingga tega melakukan tindakan buruk pada siswa, berupa kekerasan fisik maupun seksual, bahkan mengakibatkan siswa meregang nyawa.
Ketika pendidikan berdasarkan pada sekularisme, maka sudah dapat dipastikan tidak akan mampu mencetak generasi yang diharapkan, apalagi ketika umat hanya menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada guru semata, namun harusnya baik guru, orang tua, masyarakat, bahkan negara haruslah menerapkan pendidikan yang Islami ditengah-tengah kehidupan mereka. Dan hal ini hanya mungkin terwujud ketika Islam kaffah dijadikan aturan untuk mengatur seluruh aktivitas kehidupan manusia.
Islam memiliki sistem pendidikan yang mampu menghasilkan guru yang berkualitas, bersyaksiyah Islamiyah, kemampuan terbaik, dan mampu mendidik siswanya dengan baik pula. Karena sistem Islam menjamin terjaganya akal ataupun pemikiran guru dan siswanya dari perilaku yang menyimpang yang mereka lihat dari media internet yang bebas diakses dimana pun.
Namun negara tidak memfilter tontonan ataupun tayangan yang jauh dari nilai-nilai Islam yang pada akhirnya dijadikan tuntunan bagi guru dan juga siswa dalam berprilaku. Sistem Islam akan menyediakan guru yang memiliki pemahaman Islam yang sempurna juga memiliki ilmu pengetahuan sain dan teknologi sehingga menjadi pendidik yang handal dalam melahirkan generasi tangguh beriman kepada Allah SWT dan unggul dalam bidangnya.
Islam sangat menghormati dan memuliakan guru, diantaranya memberikan Gaji yang tinggi. Berkaca pada masa Khalifah Umar bin Khatab, misalnya, gaji guru mencapai 15 dinar (1 dinar setara 4,25 gram emas), jika disetarakan dengan rupiah saat ini lebih kurang gaji guru mencapai 45 juta, sungguh luar biasa. Dengan gaji sebesar itu bagaimana mungkin seorang guru akan melalaikan tugas dan tanggungjawabnya dalam mendidik anak bangsa.
Terlihatlah bahwa penghargaan terhadap guru sejatinya bukan hanya terjadi pada momen peringatan hari guru saja namun bagaimana negara mampu menjamin kesejahteraan bagi para guru. Islam juga mengharuskan calon guru ber kriteria tinggi, karena tugasnya berat, yaitu menjadi pembentuk syaksiyah Islamiyah pada diri anak didik. Para guru adalah hamba yang takut pada Allah SWT, semua ini akan terwujud ketika umat mencampakkan sekularisme dalam hal mengatur urusan kehidupannya. Wallahu A’lam Bishawab
Views: 4
Comment here