Opini

Sertifikasi Halal ala Sekuler, Membahayakan Umat

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sumariya (Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Baru-baru ini beredar berita mengejutkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Merespon temuan tersebut, BPJPH Kementerian Agama Republik Indonesia menegaskan polemik yang terjadi di media sosial saat ini adalah terkait nama produk yang digunakan. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanuddin, mengatakan produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapat ketetapan halal sesuai mekanisme yang berlaku. Ia mengatakan bahwa penamaan produk halal sebetulnya sudah diatur oleh regulasi melalui SNI 99004: 2021 tentang persyaratan umum pangan halal. Juga, Fatwa MUI nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal.

Ia menjelaskan, adanya perbedaan pendapat antara Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal atas penamaan sejumlah produk yang mendapatkan sertifikasi halal, (kumparan.com, 3/10/2024).

Sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal memang kini menjadi perbincangan. Mirisnya, hal tersebut dianggap aman dan tidak masalah karena zatnya halal. Apalagi adanya model selfdeclare yang merupakan klaim halal dari perusahaan itu sendiri yang berlaku seumur hidup tentu menimbulkan kekhawatiran atas jaminan kehalalannya. Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme, nama tidak menjadi asas kehalalan produk, padahal nama tersebut sudah jamak dipakai untuk produk tidak halal yang masih beredar di pasaran. Tentu hal ini berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip.

Fenomena seperti ini bukan hal yang aneh muncul dalam negara yang tegak di atas asas sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Negara berparadigma sekuler bisa dipastikan abai terhadap penjagaan akidah rakyatnya, khususnya terhadap umat Islam. Jangankan masalah penamaan yang menyamakan produk halal dan haram, hingga hari ini pemerintah masih membiarkan produk haram beredar di pasaran.

Negara hanya mencukupkan penyediaan layanan sertifikasi halal berbayar untuk membantu umat Islam membedakan produk halal dan haram. Itupun diserahkan kepada produsen jika mereka mau dan sanggup membayar mereka bisa menggunakan layanan tersebut untuk mendapatkan sertifikat halal. Namun, jika mereka tidak sanggup, meskipun produknya halal sampai kapanpun produk yang dihasilkan tidak akan mendapatkan sertifikat halal.

Adapun terkait konsumsi, negara juga cenderung menyerahkan kepada masing-masing konsumen Muslim. Tidak ada hukum yang mengatur bagi muslim yang mengonsumsi produk haram atau produk tanpa sertifikat halal. Semua ini menjadi bukti nyata bahwa negara yang paradigma sekuler gagal menjamin kehalalan setiap produk yang dikonsumsi masyarakat.

Sebaliknya, negara tampak memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ladang bisnis karena munculnya permintaan yang cukup besar dari kalangan Muslim untuk memastikan kehalalan produk yang mereka konsumsi. Tentu tak lupa dari ingatan kita bahwa proses sertifikasi halal yang dulunya diinisiasi dan dikendalikan oleh MUI telah diambil alih oleh pemerintah, sebab tidak dimungkiri bahwa sertifikasi halal menjadi ladang cuan mengingat prosesnya yang harus dilakukan secara berkala bukan di awal saja. Artinya, pemerintahan sekuler yang memberikan label atau sertifikat halal pada suatu produk sejatinya tidak didorong oleh keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun karena faktor ekonomi dan materialistik.

Oleh karena itu, persoalan utamanya adalah hadirnya negara yang berparadigma sekuler sehingga melahirkan kebijakan sekuler yang merugikan umat Islam.

Sangat berbeda dengan negara yang berasaskan akidah Islam. Negara Islam yakni Khilafah, akan menyandarkan segala aturan dan kebijakannya pada Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu, negara hadir di tengah-tengah umat sebagai pelaksana syariat Islam. Negara berperan penting dalam menjaga dan melindungi umat, salah satu implikasinya adalah negara memastikan rakyatnya jauh dari benda dan perbuatan haram. Sebagaimana diketahui Islam memiliki aturan rinci tentang benda atau zat yang kemudian dibedakan menjadi halal boleh dikonsumsi dan haram tidak boleh dikonsumsi.

Kehalalan dan keharaman suatu benda/zat disandarkan pada dalil-dalil syariat, bukan pada akal manusia, kemanfaatan hawa nafsu, apalagi nilai materi. Sebagai penjaga akidah umat, Khilafah memiliki kewajiban menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, diantaranya dengan memberikan jaminan halal pada setiap produk yang diproduksi dan didistribusikan, layanan tersebut menjadi tanggung jawab negara bukan produsen.

Negara juga memberikan layanan tersebut dengan biaya murah bahkan gratis. Negara memastikan kehalalan dan ketoyiban di setiap benda atau makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia. Negara akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar tempat pemotongan hewan, gudang pangan ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Jika terjadi peredaran barang haram di pasaran, baik pelakunya Muslim ataupun non Muslim, maka negara memberlakukan sanksi takzir kepada mereka.

Adapun bagi ahli dzimmah (kafir dzimmi), negara membebaskan mereka mengkonsumsi makanan atau minuman menurut agama mereka, namun produk-produk tersebut hanya dapat diperjualbelikan diantara mereka bukan di tempat umum, baik toko atau pasar umum.

Sungguh penerapan syariat Islam oleh negara berparadigma Islam akan memberikan rasa tenang di dalam jiwa seluruh rakyat negara Khilafah, sebab umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara.

Wallahu a’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 16

Comment here