Oleh: Umi Kalsum
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kabar tentang penambahan jumlah menteri dalam kabinet era Presiden dan Wapres terpilih, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka semakin santer terdengar. Kabar tersebut berawal dari obrolan santai dari Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) saat membuka acara Turnamen Bulu Tangkis DPR dan MPR di GOR kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9) lalu tentang tambahan jumlah menteri pada kabinet Prabowo sebanyak 44 kementerian.
Hal itu pun dibenarkan oleh Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad selaku Wakil Ketua DPR pada Kamis (12/9) di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta. Dasco mengatakan terkait jumlah menteri sedang disimulasikan agar optimal demi mewujudkan janji-janji kampanye yang tercantum dalam Asta Cita dan program aksi serta bermanfaat bagi masyarakat. Hasil final susunan kementerian era Prabowo-Gibran kemungkinan akan selesai pada tujuh hari sebelum pelantikan pada 20 Oktober nanti (detik.com, 13/9/2024)
Wacana untuk menambah kementerian ini didukung oleh adanya revisi UU nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang sedang dipersiapkan dengan serius oleh DPR RI agar dapat segera dituntaskan. Berdasarkan UU tersebut jumlah batas maksimal adalah 34 kementerian. Namun, apabila revisi itu berhasil maka Presiden diizinkan untuk menambah hingga tak terbatas sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan.
Rencana ini dimaksudkan Prabowo untuk memecah kementerian menjadi dua organisasi. Salah satunya misalnya Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan dipisahkan menjadi dua kementrian yang berbeda. Hal ini disampaikan oleh adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo dalam pertemuan APEC Business Advisory Council di Jakarta, 31 Agustus 2024 (tempo.co, 16/9/2024)
Politik Dagang Sapi dan Rawan Korupsi
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional ( BRIN), Aisah Putri Budiatri mengatakan bahwa jumlah partai politik pendukung Prabowo yang masuk dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM plus) cukup banyak. Hal ini makin mengindikasikan bahwa dibentuknya kabinet “jumbo” supaya Presiden terpilih bisa mengakomodir partai-partai pendukung plus para relawan yang sudah memberikan kontribusi dalam pemenangan pemilu. Begitulah watak pemerintahan Indonesia ketika pemilu presiden secara langsung dimulai sejak masa Reformasi.
Di sisi lain, kepastian terjadinya pembengkakan anggaran adalah sebuah keniscayaan. Karena kementerian baru membutuhkan gedung kantor dan para staf yang baru pula. Ini akan membuka ruang-ruang baru bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ungkap pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti (bbc.com, 13/9/2024).
Inilah demokrasi. Kekuasaan bukan di tangan rakyat, melainkan ada di tangan segelintir elit penguasa dan partai politik. Penguasa bebas membagi-bagikan kue kekuasaan sebagai balas budi politik. Jabatan menteri atau komisaris BUMN sering di”obral” tanpa melihat kompetensi dan kapasitas orangnya. Akhirnya, yang terjadi adalah kerugian demi kerugian yang dialami oleh BUMN, bahkan sampai ada yang terjerat pinjaman online (pinjol).
Jabatan Merupakan Amanah
Sabda Rasulullah saw.:
“Kami, demi Allah, tidak akan mengangkat tugas (jabatan) ini kepada seorang pun yang memintanya dan yang berambisi terhadapnya” (HR. Muslim).
Orang yang berambisi terhadap suatu jabatan adalah salah satu bukti dari sikap khianat. Apabila suatu amanah diberikan kepada orang khianat, maka diibaratkan seperti meminta serigala menggembalakan domba.
Syariat Islam memberikan beberapa tuntunan agar kekuasaan yang dimiliki dapat mendatangkan keberkahan.
Pertama, wajib dipahami bahwa jabatan adalah amanah yang besar. Barangsiapa yang menelantarkan amanah tersebut maka kehinaan baginya di akhirat kelak.
Rasulullah saw. kepada Abu Dzar ;
“Wahai Abu Dzar, sungguh engkau adalah orang yang lemah. Kekuasaan itu adalah amanah dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi orang yang mendapatkan amanah tersebut dengan haq dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaan itu” (HR. Muslim).
Kedua, jabatan harus dipegang oleh orang yang profesional di bidangnya. Nabi saw. bersabda; “Jika amanah sudah disia-siakan, tunggulah hari kiamat. Ada orang bertanya: Bagaimana amanah disia-siakan ? Nabi menjawab: jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat” (HR. Bukhari).
Ketiga, Islam menjadikan jabatan di tangan penguasa adalah untuk mengurus rakyatnya bukan untuk menipu mereka dan mencari keuntungan untuk dirinya dan golongannya saja.
Nabi saw. bersabda ; “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penguasa yang melakukan penelantaran terhadap urusan rakyat dan memanipulasi kekuasaan adalah kejahatan yang berat di sisi Allah Swt. Islam dengan tegas menyatakan ancaman atas pelakunya sebagaimana hadis berikut; “Tidaklah seorang hamba pun yang telah Allah amanahi untuk mengurus urusan rakyat, mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan dirinya masuk surga” (HR. Muttafaq ‘alayhi).
Empat, seorang penguasa diberikan taklif (tugas) kekuasaan dalam rangka menerapkan hukum-hukum Allah Swt. untuk mengurusi rakyatnya. Sehingga menjadi kewajiban baginya untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah) di setiap aspek kehidupan.
Allah Swt. berfirman; “Sungguh Allah telah menyuruh kalian agar menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya dan juga (menyuruh kalian) agar kalian -jika menerapkan hukum di antara manusia- menetapkan hukum dengan adil” (TQS. an-Nisa [4] :58)
Penguasa yang menerapkan hukum-hukum Allah Swt. melalui sistem Islam kaffah akan senantiasa terjaga ketakwaannya. Hal ini akan melahirkan cara pandang bahwa memenuhi kebutuhan rakyat adalah prioritas. Mewujudkan kemakmuran rakyat adalah tanggung jawabnya. Keadilan bagi seluruh warga negara akan ditegakkan. Sehingga menjauhkan dari kepentingan pribadi dan golongan.
Wallahu a’lam bisshowab.
Views: 12
Comment here