Oleh : Poppy Kamelia P.BA(Psych), CBPNLP, CCHS, CCLS. (Islamic Parenting Coach, Penulis, Pegiat Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Kemiskinan telah menjadi luka yang menganga di dunia ini, termasuk di Indonesia. Setiap tahun, Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional yang diperingati pada 17 Oktober memberikan pengingat tentang betapa seriusnya masalah ini. Meski demikian, sejak 1992, dunia belum mampu memecahkan persoalan kemiskinan yang menghantui lebih dari 1 miliar manusia yang hidup dalam kondisi serba kekurangan. Sebagaimana yang diungkapkan Yanchun Zhang, kepala ahli statistik di UNDP, “MPI 2024 melukiskan gambaran yang serius 1,1 miliar orang mengalami kemiskinan multidimensi, yang 455 juta di antaranya hidup dalam bayang-bayang konflik,” (Beritasatu.com, 17/10/2024)
Kesenjangan antara kaya dan miskin semakin melebar. Dalam bayang-bayang kapitalisme, harapan untuk kesejahteraan yang merata seolah menjadi mimpi yang sulit tercapai. Sistem kapitalisme, yang menjadi pilar utama ekonomi dunia, tak lain adalah sebuah ilusi yang menjanjikan kemakmuran hanya bagi segelintir orang. Kapitalisme telah menciptakan ketidakadilan struktural, dimana kekayaan hanya terkonsentrasi di tangan para kapitalis atau pemilik modal, sementara mayoritas rakyat harus berjuang mati-matian demi hidup yang layak. Di bawah kapitalisme, negara cenderung absen dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Sistem ini memberi ruang bagi eksploitasi dan kesenjangan yang semakin mendalam, menjadikan rakyat miskin sebagai pihak yang selalu terpinggirkan.
Sebuah ilusi lain adalah ukuran kesejahteraan berdasarkan pendapatan per kapita. Angka ini sering kali diklaim sebagai cerminan kemakmuran suatu negara, padahal tidak mencerminkan realitas kesejahteraan setiap individu. Mungkin negara terlihat kaya, tetapi apakah setiap rakyatnya benar-benar hidup sejahtera? Tidak. Di sinilah kapitalisme menampakkan wajah aslinya: mengabaikan manusia sebagai individu dan menjadikan angka sebagai prioritas, sehingga yang miskin tetap miskin, dan yang kaya semakin tak tersentuh.
Banyak yang beranggapan bahwa solusinya adalah mengganti pemimpin atau memberdayakan perempuan di sektor ekonomi dan pemerintahan. Di berbagai forum internasional, perempuan diakui memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Menurut Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA Lenny N. Rosalin, “perempuan memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara jika mereka berdaya. Dampak positif ini tidak hanya dirasakan oleh perempuan secara individu, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan,” ujarnya di Jakarta, Minggu. Hal tersebut disampaikannya dalam pertemuan Komisi Kepentingan Perempuan (CSW) ke-68 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. (ANTARA, 17/3/2024)
Bahkan, ada pula anggapan bahwa lulusan luar negeri bisa membawa perubahan signifikan dalam mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang. (detiEdu, 19/10/2024). Namun, semua upaya ini bersifat parsial dan tidak menyentuh akar masalah. Meski pendidikan dan pemberdayaan perempuan penting, itu tidak cukup untuk mengatasi kemiskinan yang sistemik.
Akar dari masalah ini adalah kapitalisme itu sendiri. Sistem ini menempatkan keuntungan materi sebagai tujuan utama, bukan kemakmuran bersama. Ini bukan tentang kurangnya upaya atau kepemimpinan yang salah, melainkan tentang sistem yang rusak, yang memusatkan kekayaan di tangan oligarki dan membiarkan rakyat semakin menderita.
Lalu, apa solusinya? Solusinya adalah Islam. Islam hadir sebagai sistem yang menyeluruh, yang bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia dan dengan alam. Dalam sistem Islam, kemiskinan tidak dipandang sebagai takdir yang tak terelakkan, melainkan sebagai tantangan yang harus diatasi dengan aturan Allah yang adil dan sempurna.
Islam menetapkan bahwa pemimpin atau kepala negara adalah raa’in—seorang pengurus yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyatnya. Bukan sekadar menjadi simbol atau pelaksana kekuasaan, seorang pemimpin dalam Islam wajib memastikan bahwa setiap individu di bawah kepemimpinannya terpenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara dalam Islam bukan hanya pengatur, tetapi juga junnah. Yaitu pelindung yang memastikan bahwa rakyat tidak terjebak dalam kemiskinan atau ketidakadilan.
Islam juga menolak konsep pendapatan per kapita sebagai ukuran kesejahteraan. Kesejahteraan dalam Islam diukur berdasarkan realitas kehidupan individu per individu, apakah mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya atau tidak. Ukuran ini jauh lebih realistis dan adil, karena menempatkan manusia pada posisi yang benar: sebagai makhluk Allah yang harus dipenuhi hak-haknya, bukan sekadar angka dalam laporan ekonomi.
Sistem ekonomi Islam juga menawarkan mekanisme yang adil dalam distribusi kekayaan. Zakat, sedekah, infaq, dan wakaf adalah instrumen yang secara efektif bisa mengurangi kesenjangan dan menjamin bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya. Negara dalam sistem Islam juga berperan aktif dalam memastikan bahwa sumber daya alam, yang merupakan hak bersama, dikelola dengan baik untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir orang atau perusahaan.
Dengan penerapan Islam secara kafah, kemiskinan dapat diatasi secara komprehensif. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dari aspek spiritual hingga sosial, ekonomi, dan politik. Hanya dengan kembali kepada aturan Allah, kesejahteraan yang hakiki dapat terwujud. Sistem ini tidak hanya memberikan solusi praktis, tetapi juga membawa berkah dan ridha Allah, yang pada akhirnya akan mengangkat derajat umat manusia di dunia dan akhirat.
Kemiskinan bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Namun, selama kita masih berada di bawah naungan kapitalisme, harapan akan kesejahteraan yang merata akan selalu menjadi mimpi yang tak terwujud. Saatnya kita kembali kepada Islam—sistem yang adil, sempurna, dan menyeluruh—sebagai satu-satunya solusi untuk mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh umat manusia.
Wallahu A’lam Bisshawaab
Views: 34
Comment here