Opini

Kebocoran Pajak, Ironi Kebijakan Pajak

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sriyama

Wacana-edukasi.com, OPINI– Setelah kasus mega korupsi tata niaga di PT Timah Tbk (TINS) yang diungkap Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian negara fantastis Rp 217 triliun, kini muncul kasus baru. Kasus baru tersebut adalah pengemplangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp 300 triliun. Pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto akan menambal kekurangan anggaran belanja negara pada 2025 dengan mengejar penerimaan negara yang bocor akibat pengemplang pajak (Kompas.com, 12/10/2024).

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Dradjad Wibowo mengatakan, anggaran untuk belanja negara tahun depan membutuhkan sekitar Rp 3.900 triliun. Itu artinya, terdapat kekurangan sekitar Rp 300 triliun dari alokasi belanja pada APBN 2025 yang sebesar Rp 3.621,3 triliun.

Dia mengungkapkan, kebocoran akibat pajak yang belum dikumpulkan salah satunya berasal dari kasus-kasus hukum. Para pengemplang pajak sudah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung tapi mereka tak kunjung menyetorkan kewajiban pajaknya sesuai putusan.

Tindakan penyerobotan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit diduga menjadi salah satu sumber kebocoran penerimaan negara Rp 300 T. Terungkapnya kebocoran anggaran Negara, akibat pengemplangan pajak dan akumulasi mencapai 300 T.

Meski sudah bertahun-tahun barulah menjadi perhatian saat ini adalah sesuatu yang sangat miris sebab ini menunjukan bahwa negara tidak tegas terhadap pengusaha nakal yang enggan membayar pajak. Terlihat jelas bahwa adanya keistimewaan yang diberikan penguasa kepada para pengusaha raksasa di negeri ini dan tentu saja menambah daftar panjang kebijakan negara yang cenderung lunak terhadap para pengusaha atau para pemilik modal.

Tak diragukan lagi bahwa praktek oligarki telah terjadi dalam sistem Demokrasi-Kapitalisme, dimana kekuasaan politik dan ekonomi dikendalikan oleh segelintir individu atau golongan elit politik saja.

Padahal sebelumnya Negara telah mengeluarkan kebijakan kontroversial berupa program keringanan pajak kepada pengusaha kelas raksasa, misalnya tex holiday, tex amnesty dan lain-lain.

Mirisnya disisi lain perlakuan Negara terkait pajak terhadap rakyat kecil justru sebaliknya, rakyat justru dibebani dengan berbagai macam pajak dan angka pajak terus mengalami kenaikan yang melangit. Bahkan jika rakyat tidak menunaikan pajak atau terlambat membayar per hari saja mereka akan dikenai sanksi atau denda administratif, agar rakyat terus membayar pajak, dengan berbagai macam slogan “orang bijak taat bayar pajak”.

Pajak adalah sumber utama penghasilan negara di dalam penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Memang tidak bisa dibenarkan, namun penerapan kebijakan pajak yang berbeda antara perusahaan dan individu ini Negara sewenang-wenang menzalimi rakyat kecil.

Apalagi jika hal ini berdampak pada penundaan pembagunan yang menyangkut kebutuhan rakyat, maka hidup rakyat akan semakin sengsara. Bukan hanya yang berkaitan dengan pajak, kebijakan negara yang pro terhadap kepentingan para pengusaha telah banyak ditemukan.

Sebagai contoh peraturan terkait perizinan usaha pertambangan atau ketenagakerjaan yang tertuang didalam UU Ciptaker. Semua ini sebagai bukti bahwa sistem demokrasi-kapitalisme tidak berperan aktif dalam fungsinya Negara sebagai pengurus urusan rakyat.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang berasaskan paradigma aqidah Islam yang akan menerapkan aturan-aturan yang terpancar darinya yakni syariat Islam kaffah. Dalam syariat Islam telah menetapkan dua fungsi utama negara yakni sebagai ra’in atau pengurus urusan rakyat.

Dalam hal ini yang bertanggung jawab mengurus hajat hidup publik. Fungsi kedua adalah sebagai junah atau pelindung umat yang bertanggung jawab membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Imam atau kholifah adalah ra’in atau pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR.Ahmad.Bukhari).

“Imam adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya,” (HR.Muslim).

Berdasarkan perspektif kepemimpinan negara sebagai ra’in dan junah maka tugas penguasa adalah mengurusi semua urusan umat serta mewujudkan kemaslahatan bagi rakyatnya. Tidak hanya melayani para pemilik modal saja, setiap kebijakan penguasa harus ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya.

Kemaslahatan yang dimaksudkan adalah terealisasikan kesejahteraan, keamanan dan keadilan bagi seluruh rakyat, salah satu hal penting yang dijalankan Negara adalah melakukan pembangunan untuk kemaslahatan rakyat dengan anggaran yang bersumber dari harta milik umum atau publik.

Pada dasarnya sumber daya alam yang berupa migas, batu bara, sungai, hutan dan sejenisnya merupakan harta milik rakyat. Maka dalam penerapan negara dalam Islam, maka negara lah yang diberi wewenang untuk mengelola sumber daya alam untuk bisa di manfaatkan secara langsung oleh rakyat atau keuntungan pengelolaannya dimanfaatkan untuk pembagunan pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat.

Rakyat yang dimaksud disini tidak dibedakan antara penguasa, pejabat atau pun rakyat biasa, semua ini diatur secara terperinci dalam sistem ekonomi Islam, hingga tataran administratif. Negara tidak akan membebani rakyat dengan berbagai jenis pajak, sebab dalam sistem Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara.

Pajak dipungut pada kondisi tertentu saja, itu pun dikenakan pada muslim yang kaya, dan sifatnya temporer. Sungguh hanya negara Islam yang mampu mensejahterakan seluruh rakyat tanpa membedakan strata sosialnya dan tanpa beban pajak. Wallahu alam bishowab[]

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here