Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Dilansir dari hibar.pgrikabbandung.id (10/10), bahwa Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menggelar peringatan Hari Santri 2024 dengan mengusung tema “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan” di JI-Expo Kemayoran Jakarta.
Peringatan Hari Santri pada 22 Oktober yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (2015) tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015. Hari Santri merujuk pada Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Isi resolusi ini adalah seruan kewajiban berjihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan penjajah, yang akhirnya memuncak pada perlawanan 10 November 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Menurut Menag Yaqut, semangat juang para santri saat dulu masih relevan untuk diteladani pada masa kini. Para santri dulu berjuang melawan penjajah, maka santri saat ini harus mampu menaklukkan tantangan zaman. Santri harus mampu memberikan kontribusi bagi masa depan negeri ini. Semangat jihad harus dilanjutkan para santri dalam semangat juang menghadapi tantangan jaman menuju masa depan Indonesia Emas.
Sayangnya, peringatan ini setiap tahunnya hanya sebatas seremonial semata, sangat jauh dari semangat yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari. Ada upaya mereduksi makna jihad. Maka harus ada upaya mengcounternya dengan menyampaikan pemahaman jihad yg hakiki dan bagaimana peran santri yg seharusnya menuju kebangkitan dan kemajuan umat.
Visi misi pesantren untuk melahirkan santri yang tafaqquh fiddin, membela agama Allah, melahirkan ulama yang menjadi bintang penerang kegelapan, juga pembela Islam. Dalam sistem yang diemban saat ini yakni Sekulerisme-Kapitalisme menjadikan harapan sulit untuk di raih.
Sebuah keniscayaan santri pada masa lalu berjihad (perang) melawan penjajah karena situasinya pada saat itu, negeri ini sedang dijajah secara fisik oleh negara lain seperti Portugis, Jepang, dan Belanda. Sementara saat ini, jelasnya, penjajahan fisik berubah menjadi penjajahan pemikiran (ghazwul fikri) berupa ideologi, politik, dan ekonomi.
Sistem Sekulerisme telah masuk pada sendi sendi kehidupan pesantren, kurikulum yang sekuler-Kapitalisme menyibukkan santri berdaya secara ekonomi. Penerapan Sekularisme yang telah melahirkan cara pandang liberal dalam pengelolaan ekonomi melahirkan Kapitalisme yang mengakibatkan kemiskinan masal, termasuk kemiskinan di lingkungan pesantren. Program santri mengenai pengentasan kemiskinan dengan pemberdayaan ekonomi seperti program One Pesantren One Product (OPOP), sangat tidak masuk akal. Karena berbagai program kemandirian ekonomi pesantren justru bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada rakyat.
Dalam Sekularisme, santri dan pesantren dijadikan sebagai motor penggerak moderasi Islam, padahal moderasi Islam adalah tuntutan Barat. Standarisasi da’i mendorong para santri menjadi duta duta moderasi. Moderasi beragama tidak hanya mengaburkan jati diri muslim, melainkan ditengarai bakal mengubur nilai-nilai Islam di Indonesia.
Sekularisme juga melahirkan gaya hidup liberal sehingga tidak jarang menimpa santri seperti maraknya bullying dan kekerasan seksual di pesantren. Saat ini, tren bullying dan kekerasan seksual baik oleh guru maupun santri di lingkungan sekolah meningkat. Yang pada akhirnya citra agama tercoreng dan banyak orang tua yang menjadi takut akan menyekolahkan anaknya ke pesantren.
Sejatinya program program tersebut adalah bentuk penjajahan, santri harus faham akan hal tersebut. Dan itu bertentangan dengan visi misi hari santri yaitu spirit jihad mengusir penjajah. Kalau santri disibukkan dengan program program arahan penjajah lalu siapa yang akan mengusir penjajah?
Santri dimaksimalkan dalam metode berpikir cemerlang agar bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan. Para santri adalah harapan umat, tidak hanya belajar ilmu alat namun juga harus memahami dan mengaplikasikan nilai nilai Islam dalam kehidupan sehari – hari.
Apa yang telah di pelajari hendaknya jangan hanya sekadar dijadikan tsaqofah atau kekayaan intelektual semata. Namun harus menjadikan ilmu agama sebagai tuntunan dalam mengarungi kehidupan dan menyelesaikan segala problematikanya.
Para santri mempunyai potensi untuk membangkitkan umat yang tengah tertidur. Mereka yang dibina dengan pemikiran Islam yang menyeluruh (kafah) dan cemerlang akan menjadi pribadi-pribadi unggul yang bersemangat besar dalam mendakwahkan Islam. Belenggu penjajahan pemikiran baik secara moderat maupun liberal yang sejatinya masih mencengkeram negeri, perlulah disadari.
Wahai santri, bangkitlah dan bangkitkan umat untuk melakukan perubahan menuju Islam kafah. Karena hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafahlah kesejahteraan umat akan tercapai.
Wallahu a’lam bishshawab
Nia Umma Zhafran (Aktivis Muslimah)
Views: 3
Comment here