Oleh Moni Mutia Liza, S.Pd.
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Peran pemuda akan selalu dibutuhkan dalam sebuah perubahan. Bahkan tokoh dunia seringkali berpidato lantang dan membentuk golongan kepemudaan demi mewujudkan kemerdekaan dan perubahan yang besar. Sebagaimana perkataan Bung Karno, “Seribu orang tua bisa bermimpi, satu pemuda bisa mengubah dunia”. Perubahan besar memang tidak lepas dari peran para pemuda. Sehingga wajar bila gelar agent of change telah melekat dan menjadi karakter kaum pemuda. Tentu pemuda yang membawa perubahan yang lebih baik adalah pemuda yang cerdas, bijaksana, berwawasan luas, jujur, beretika baik, jauh dari pengaruh obatan terlarang dan kriminal serta bertaqwa kepada sang pencipta.
Namun, apa jadinya bila pemuda secara mayoritas telah terpengaruh dengan seks bebas, hedonis, dan terlibat kriminal? Bagaimana nasib bangsanya ke depan?. Tentu akan begitu suram dan menyedihkan. Lantas bagaimana dengan kondisi pemuda Indonesia?. Apakah masih ada jiwa yang penuh semangat membebaskan negeri dari penjajahan sebagaimana para pejuang terdahulu? Atau jiwa semangat itu telah padam karena kuatnya pengaruh gaya hidup hedonis dan pragmatis?.
Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI mencatat, selama kurun waktu Sembilan bulan sejak Januari hingga September 2024 mencapai 1.000 kasus bunuh diri. Data ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya (koran.tempo.co/15/10/24).
Data lainnya sesuai Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut, hubungan seks luar nikah remaja 15-19 tahun mengalami peningkatan. Kasus pada perempuan usia 15-19 tahun sebanyak 59%, sedangkan pada laki-laki 74%, (cnbcindonesia.com/18/08/2024).
Selain itu kekerasan di satuan pendidikan juga menjadi masalah yang signifikan. Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) mencatatkan kasus kekerasan terbanyak, yaitu 40%. Diikuti oleh jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dengan 33%, sementara di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masing-masing tercatat 13,33%.
Dari total kasus tersebut, 80% terjadi di sekolah yang berada di bawah naungan Kemendikbudristek, sedangkan 20% lainnya terjadi di sekolah yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Kekerasan fisik mendominasi dengan persentase 73,33%, dan sebagian besar pelakunya adalah peserta didik, baik teman sebaya maupun senior, yang bahkan dapat menyebabkan kematian pada korban (detik.com/23/07/2024).
Dari fakta tersebut kita dapati bahwa generasi kita sangat jauh dari kata kebangkitan. Justru gen Z tenggelam dalam lembah kemunduran. Generasi Z yang seharusnya memberi peluang untuk menciptakan peradaban yang gemilang dan hebat. Namun hal ini tampaknya sangat jauh dari harapan kita semua. Tidak bisa dipungkiri bahwa rusaknya generasi ini bersifat sistematis, artinya banyak pihak yang terlibat dalam membentuk karakter pemuda saat ini yang begitu hedonis dan pragmatis.
Ada 3 komponen yang sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pemuda, di antaranya :
Pertama, Peran keluarga. Keluarga memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk peradaban, karena pendidikan awal seorang anak adalah di dalam rumah. Sehingga peran besar ini tidak boleh diabaikan justru harus dibentuk dengan sebaik mungkin agar terbentuk generasi yang sehat, cerdas dan berdaya saing tinggi. Namun peran keluarga ini akan mati apabila seorang ibu dan ayah tidak menjalankan perannya dengan baik.
Membangun keluarga dan generasi yang bahagia dan sehat tidak boleh dibangun atas dasar materi, justru ketika materi dijadikan standar kebahagiaan keluarga dan anak, disanalah kerusakan itu bermula. Akhirnya ibu dan ayah sibuk mengejar materi dan materi, hingga tidak memiliki waktu yang banyak bersama anak dalam membentuk karakternya yang mulia dan dekat dengan rabbnya.
Kedua, Peran masyarakat. Keikutsertaan masyarakat sebagai pengontrol di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat juga tidak kalah penting. Peran ini tidak hanya sebatas mengoreksi kebijakan pemerintah yang menyeleweng dan menyampaikan aspirasi, melainkan melakukan aktivitas pencegahan dari perbuatan keji dan mungkar yang dilakukan oleh individu masyarakat, tidak terkecuali para pemuda. Hal ini tentunya akan menumbuhkan rasa kepedulian dan kepekaan terhadap anggota sesama masyarakat. Dengan karakter masyarakat yang aktif berdakwah akan menciptakan lingkungan yang positif dan jauh dari permuatan kriminal.
Masyarakat yang individualis hanya akan membentuk lingkungan yang abai terhadap satu sama lain. Tentu hal ini sangat tidak baik bahkan banyak muncul kemaksiatan dan tindakan kriminal merajalela di tengah-tengah masyarakat. Hal yang perlu diingat bahwa masyarakat mampu memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk prilaku individu masyarakat. Individu yang menetap di tengah-tengah masyarakat yang senantiasa terikat dengan aturan agama akan menjadi pribadi yang berakhalak mulia dan jauh dari perbuatan maksiat, begitupula sebaliknya, individu yang hidup dalam masyarakat yang bergemilang maksiat akan menjerumuskan individu kedalam tindakan yang tidak terpuji baik sedikit maupun banyak.
Ketiga, Peran negara. Negara merupakan perisai atau pelindung bagi masyarakat. Negara juga berperan sebagai pelayan umat sehingga harus senantiasa mengurusi urusan rakyat hingga tuntas dan tidak ada yang terdhalimi dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Selain itu, negara juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kekuatan dalam memaksakan rakyatnya untuk terikat dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Negara yang abai terhadap urusan rakyatnya justru akan menimbulkan berbagai kejahatan yang tentunya merugikan masyarakat dan individu. Terlebih jika negara memisahkan antara agama dan pemerintahan, alhasil masyarakat dan individu yang terbentuk akan sangat jauh dari nilai agama, sehingga akan sangat tampak bagi negara yang menerapkan sekuler sebagai pondasi peraturan yang mengikat masyarakat yaitu terciptanya karakter masyarakat yang dipenuhi syahwat, seks bebas, hedonis, kriminalis, hingga pragmatis.
Negara juga memiliki peran yang sangat penting dalam menerapkan sanksi secara praktis. Sanksi yang diberikan negara tentunya akan memberikan ketakutan dan bentuk kekuatan yang tidak bisa digangggu gugat. penetapan sanksi ini pulalah yang akan membuat masyarakat senantiasa berhati-hati dalam mengambil sikap yang melenceng dari ketetapan dan ketentuan.
Namun alangkah sayangnya bila peran negara sebagai pemberi sanksi ini disalahgunakan, yaitu menghukum bukan sesuai kadar kejahatan melainkan sesuai kadar uang dan materi yang dimiliki pelaku, maka hal ini justru akan menciptakan berbagai kejahatan yang tidak terkendali baik dari kalangan pemerintahan itu sendiri hingga individu masyarakat biasa. Fatal akibatnya apabila negara tidak menerapkan aturan yang telah ditetapkan dan memisahkan peran agama dalam kehidupan.
Ketiga peran tersebut harus berlandaskan syariah Islam agar terbentuk keluarga, masyarakat dan negara yang sehat dan mampu mencetak generasi serta peradaban yang gemilang. Hampir satu abad lamanya sistem kapitalisme-sekuler memimpin dunia bahkan negeri muslim di seluruh dunia, nyatanya justru yang terbentuk adalah peradaban manusia yang begitu rusak perbuatannya.
Peran pemuda yang membawa perubahan yang cemerlangpun tidak dapat dlikukan oleh gen Z di era gempuran sistem kapitalisme. Justru mereka terseret arus kejahatan dan kebodohan akibat ulah penerapan sistem kapitalisme yang hanya berporos dalam pemuasan nafsu materi.
Mengembalikan gen Z dengan pondasi syariah adalah satu-satunya modal utama untuk menghidupkan semangat perubahan yang mendasar dan benar. Menopangkan perubahan hakiki pada sistem kapitalisme ini hanyalah mimpi belaka, justru generasi menjadi semakin jauh dari hakikat kebangkitan dan perubahan yang membawa pada peradaban manusia yang agung.
Views: 4
Comment here