Oleh: Sumiati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Kebijakan anggaran pemerintah Indonesia makin tidak berpihak kepada rakyatnya sendiri. Diketahui saat ini anggaran negara defisit, alias besar pasak dari pada tiang. Kondisi ini membawa negara ke dalam kubangan utang yang makin dalam.
Sebagai contoh, pada tahun 2025 nanti pembayaran cicilan utang akan jatuh tempo yang besaran beserta bunganya masing-masing mencapai Rp800.33 triliun dan Rp552.8 triliun. Selain itu, ambisi politik untuk memindahkan Ibukota Negara ke Kalimantan Timur telah menyedot anggaran Rp72 triliun hingga 2024.
Ditambah lagi korupsi anggaran negara banyak masuk ke kantong-kantong pejabat dan para pengusaha yang mendapat proyek-proyek pemerintah. Misalnya, pada awal Januari 2024 Kepala PPATK mengungkapkan 36.67 persen dana proyek strategis nasional (PSN) tidak digunakan untuk pembangunan proyek tersebut, yang artinya digunakan untuk kepentingan pribadi.
Belum lagi kemampuan pemerintah dalam menyerap anggaran bermasalah pendidikan. Sebagai contoh, anggaran pendidikan yang diamanatkan 20 persen dari total pengeluaran justru tak mampu diserap oleh pemerintah. Sebanyak Rp 111 triliun dana pendidikan tak terserap pada tahun 2023. Anggaran yang mengganggur itu sangat ironis, karena berada ditengah mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, banyak anak usia sekolah yang putus sekolah atau tak dapat bersekolah lantaran biaya tak terjangkau.
Di tengah kondisi tersebut, alih-alih memperbaiki kualitas belanjanya, pemerintah justru menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan negara dengan cara meningkatkan berbagai jenis pajak dan pungutan kepada rakyat. Pertama, kenaikan PPN menjadi 12 persen. Salah satu sumber penerimaan pajak terbesar setelah Pajak Penghasilan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Kedua, Asuransi Kendaraan. Dalam UU nomor 4 tahun 2023 tentang pengembangan dan penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) terdapat ketentuan bahwa asuransi kendaraan dapat menjadi asuransi wajib bagi seluruh pemilik kendaraan.
Ketiga, cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Hal ini dinilai menjadi salah satu langkah pemerintah untuk mengurangi konsumsi gula berlebihan yang ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab obesitas dan berbagai penyakit tidak menular, seperti diabetes tipe 2 dan penyakit jantung. Keempat, Kenaikan Iuran BPJS. Sinyal kenaikan iuran peserta BPJS sudah disampaikan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional ( DJSN) yang telah mengkaji kemungkinan kenaikan iuran BPJS kesehatan.
Kelima, Iuran Tapera. Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pungutan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai kritik dari berbagai serikat pekerja dan asosiasi pengusaha. Keenam, pengurangan konsumsi BBM bersubsidi. Selain menaikkan pajak dan cukai, pemerintah juga berupaya untuk mengurangi subsidi pada barang dan jasa yang dinikmati oleh publik secara luas.
Kebijakan-kebijakan diatas berpotensi makin memperburuk kondisi penduduk yang sudah tidak sejahtera. Sementara itu, perekonomian Indonesia pasca pandemi masih relatif lemah, ditambah dengan pertumbuhan ekonomi global yang juga suram.
Kebijakan pengejaran pajak pada rakyat berbeda dengan perlakuan pemerintah pada pengusaha. Padahal, rakyat hidup susah dengan banyak potongan pajak, sementara pengusaha justru banyak mendapat keringanan pajak. Mirisnya lagi hasil pajak yang menjadi modal utama pemasukan negara tidak memberikan pengaruh yang nyata pada nasib rakyat.
Selain menzalimi rakyat, berbagai kebijakan pemerintah tersebut juga batil dalam pandangan Islam. Alasannya, pos-pos pemasukan dan pengeluaran dalam APBN saat ini sama sekali tidak mengacu pada dalil dalil syariah, melainkan pada undang undang yang dibuat berdasarkan kesepakatan dan suara terbanyak anggota DPR. Ini jelas menyalahi proses legislasi dalam Islam, yang harus mengacu pada Al-Qur’an, Sunah, Ijmak sahabat dan Qiyas.
Berbagai nash syariah tersebut tidak hanya memerintahkan untuk taat kepada Allah Swt. dan rasul-Nya, tetapi juga mengharamkan berhukum pada hukum selain Islam. Bahkan, terdapat berbagai nash yang menyatakan bahwa undang-undang buatan manusia selain syariah Islam merupakan bentuk kekufuran yang nyata.
Selain itu, di dalam Islam tidak diperbolehkan adanya berbagai bentuk pungutan pajak tidak langsung dan pungutan tambahan, termasuk pajak atas barang dan jasa (seperti PPN), biaya pengadilan, retribusi pelayanan pemerintah, pajak properti dan berbagai pungutan lainnya. Bentuk bentuk tersebut termasuk kazaliman yang dilarang dan termasuk kategori pajak yang dikatakan oleh Rasulullah Saw, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai)” (HR Ahmad, Ad Darimi dan Abu Ubaid).
Islam menetapkan sumber pendapatan negara dari banyak hal. Negara hanya memungut pajak pada saat tertentu dan hanya pada orang kaya saja. Berbeda dengan negara dalam sistem kapitalisme yang justru banyak menetapkan pungutan pada rakyat.
Dalam Islam, negara justru menjamin pemenuhan kebutuhan pokok dan sistem upah yang manusiawi, sehingga rakyat hidup sejahtera tanpa pungutan pajak. Oleh karena itu, kaum muslim wajib mendorong agar negara ini, termasuk pengelolaan ekonominya diatur sesuai dengan syariah Islam yang berasal dari Allah Swt. Yang Maha Mengetahui dan Maha Pemberi Kabar.
Views: 26
Comment here