Opini

Mengurai Problem Sistem Pendidikan Modern

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Shabrina Nibrasalhuda (Aktivis Mahasiswi)

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Bareskrim Polri mengungkap modus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang berkedok program magang (ferienjob) ke Jerman. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro, menjelaskan bahwa sebanyak 1.047 mahasiswa telah diberangkatkan ke Jerman melalui program magang ilegal tersebut.

Hasil pendalaman dari KBRI Jerman menunjukkan adanya keterlibatan sekitar 33 universitas di Indonesia yang menawarkan program Ferienjob ini. Sebanyak 1.047 mahasiswa menjadi korban TPPO yang diberangkatkan oleh tiga agen tenaga kerja di Jerman. Sosialisasi terkait program ini dilakukan oleh PT Cvgen dan PT SHB kepada pihak universitas.

Dalam aksinya, pihak penyelenggara mengklaim bahwa program magang ke Jerman ini merupakan bagian dari program magang merdeka yang terdaftar di Kemdikbud Ristek dan menawarkan konversi setara dengan 20 SKS. Namun, Djuhandani menegaskan bahwa PT SHB tidak terdaftar dalam program MBKM Kemendikbud Ristek ataupun sebagai agen perekrutan tenaga kerja di Kemenaker.

Jenis pekerjaan yang ditawarkan dalam Ferienjob lebih bersifat fisik, seperti mengangkat kardus logistik, packing barang, mencuci piring di restoran, atau bekerja sebagai porter di bandara. Program ini bertujuan memenuhi kebutuhan tenaga kerja fisik di berbagai perusahaan Jerman.

Mahasiswa dijanjikan gaji Rp20 juta hingga Rp30 juta per bulan dan program ini disebut sebagai bagian dari MBKM Mandiri dari kampus. Untuk mengikuti program ini, mahasiswa diwajibkan membayar biaya pendaftaran Rp150 ribu kepada CV-Gen, 150 Euro untuk LoA, dan 200 Euro kepada PT SHB untuk pengurusan izin kerja Jerman. Selain itu, mahasiswa juga harus membayar dana talangan Rp30 juta hingga Rp50 juta yang nantinya dipotong dari gaji mereka.

Janji konversi SKS menjadi daya tarik tambahan bagi mahasiswa, sehingga program ini dianggap sebagai “jalan pintas” untuk menggantikan mata kuliah yang sulit dengan nilai hasil magang. Namun, dalam banyak kasus, konversi tersebut tidak linier dengan bidang studi mahasiswa.

Mahasiswa tertarik pada program ini karena dianggap sebagai “program resmi” dari kampus, dengan tambahan kesempatan untuk bepergian ke luar negeri, khususnya Jerman. Jerman dipilih karena dianggap sebagai negara maju dan memiliki penilaian akreditasi internasional seperti ASIIN, yang sangat diidamkan oleh perguruan tinggi Indonesia dalam mendukung pemeringkatan WCU (World Class University).

Program ini juga merupakan kelanjutan dari berbagai inisiatif sebelumnya seperti KBE, triple helix, penta helix, hingga MBKM, yang menunjukkan adanya dominasi kepentingan industri dalam dunia pendidikan.

Kasus TPPO yang melibatkan 33 perguruan tinggi (PT) memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin banyak PT secara serentak tidak menyadari bahwa program Ferienjob ini adalah bentuk TPPO yang disamarkan sebagai bagian dari program MBKM? Hal ini mengindikasikan adanya kesalahan dalam paradigma sistemik yang melandasi implementasi MBKM.

Paradigma ini perlu ditelaah secara mendalam. Apakah benar program MBKM dirancang untuk kepentingan mahasiswa? Mengapa program ini dilakukan secara masif dan implementasinya terkesan dipaksakan di lingkungan kampus? Tidak heran jika banyak PT kehilangan kendali, terutama karena mereka juga dikejar target akreditasi dan pemeringkatan WCU (World Class University), yang salah satu indikatornya adalah kerja sama internasional. Semua ini diarahkan oleh kebijakan pemerintah yang mewajibkan PT mengikuti aturan tertentu.

Kesalahan dalam kasus ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada kampus. Pemerintah, sebagai pencetus ide sekaligus penanggung jawab utama pendidikan, juga harus bertanggung jawab. Kebijakan pendidikan yang dirancang negara tidak boleh menghasilkan interpretasi ganda atau menciptakan celah bagi penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah semestinya mengelola pendidikan dengan pendekatan yang menyerupai orang tua mengasuh anaknya.

Masalah utama terletak pada tujuan pendidikan yang cenderung materialistis dan berorientasi pada dunia kerja, yang merupakan konsekuensi logis dari sistem kapitalisme. Program MBKM, yang dirancang oleh Kemdikbud Ristek di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim, bertujuan memberikan pengalaman kerja kepada mahasiswa dan mempersiapkan mereka memasuki dunia kerja. Program ini juga berusaha mengatasi masalah tingginya angka pengangguran terdidik dengan membekali mahasiswa keterampilan untuk bersaing di pasar global atau menciptakan lapangan kerja sendiri.

Namun, filosofi pendidikan yang berorientasi pada kerja ini telah menyempitkan visi intelektual, mengubah mahasiswa menjadi pekerja alih-alih pemikir. Program magang berbasis kerja ini juga menggeser peran intelektual muda dari menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi menjadi bagian dari sistem kapitalis. Bukannya bekerja untuk masyarakat, mahasiswa justru diarahkan untuk menjadi bagian dari roda ekonomi kapitalistik.

Pengawasan terhadap program magang MBKM juga sering kali lemah. Banyak kampus hanya mengizinkan mahasiswa mengikuti program tanpa memberikan panduan yang memadai, sehingga mahasiswa sering kebingungan dan akhirnya tunduk pada aturan perusahaan yang kerap eksploitatif. Beberapa mahasiswa menghadapi deskripsi pekerjaan yang tidak jelas, jam kerja berlebihan, atau kondisi tanpa kompensasi yang layak, yang bahkan menyebabkan burnout. Kritik mahasiswa terhadap eksploitasi sering kali tidak ditindaklanjuti dengan serius, sehingga perusahaan merasa bebas bertindak semena-mena.

Sikap abai pemerintah terhadap magang resmi MBKM memperburuk situasi, apalagi terkait magang ilegal seperti kasus Ferienjob. Minimnya pengawasan memungkinkan terjadinya pelanggaran, seperti kerja paksa, penipuan kontrak, atau bahkan eksploitasi seksual. Dalam kasus Ferienjob, misalnya, mahasiswi diinapkan bersama pria asing, menimbulkan risiko keamanan dan kenyamanan.

Secara fundamental, visi pendidikan berbasis kapitalisme perlu dikoreksi. Intelektual seharusnya berperan sebagai pemikir yang mampu mengidentifikasi akar masalah masyarakat, bukan hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi. Namun, tuntutan ekonomi telah membuat banyak mahasiswa kehilangan kemampuan untuk melihat persoalan mendasar di balik sistem ekonomi yang menjerat.

Sebanyak apapun program yang dirancang pemerintah, selama sistem ekonomi neoliberal masih diadopsi, masalah seperti kemiskinan sistemik tidak akan terselesaikan. Program-program ini hanya menjadi solusi sementara tanpa mengatasi akar masalah. Sementara itu, rakyat terus menghadapi dominasi kapitalisme, sementara negara berlepas tangan di balik kebijakan yang tidak menyentuh akar persoalan.

Untuk mengarahkan pendidikan agar menghasilkan pemikir daripada pekerja siap pakai, diperlukan perubahan mendasar dalam tujuan pendidikan. Pendidikan harus kembali ke esensinya, yaitu membentuk individu yang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan pribadi tetapi juga memberikan solusi bagi masyarakat.

Pendidikan idealnya melahirkan individu yang unggul dalam keilmuan dan peka terhadap permasalahan masyarakat. Intelektual diharapkan memberikan solusi melalui gagasan mereka, sementara negara memerlukan peran strategis mereka dalam memajukan peradaban. Dalam Islam, ilmu diibaratkan sebagai sumber kehidupan, dan ahli ilmu adalah penerang yang mengusir kegelapan dalam masyarakat.

Islam memberikan perhatian besar pada proses pendidikan, dengan tugas utama intelektual meliputi penelitian, pengabdian, dan edukasi masyarakat. Namun, sistem pendidikan saat ini sering kali memaksa intelektual untuk mengikuti arus kebijakan kapitalistik yang berorientasi pada dunia kerja. Sementara kontribusi dalam bidang ekonomi praktis diperlukan, peran intelektual dalam menganalisis dan memperbaiki sistem secara mendalam tak boleh diabaikan. Jika hal ini diabaikan, program-program pendidikan yang dirancang justru dapat menimbulkan masalah, termasuk eksploitasi mahasiswa sebagaimana terlihat dalam program magang MBKM.

Kasus TPPO yang melibatkan program magang di Jerman menjadi peringatan serius bagi dunia akademik untuk mengevaluasi arah pendidikan tinggi. Sudah saatnya negara mengambil langkah aktif untuk memanfaatkan hasil riset akademisi bagi kepentingan masyarakat dan menciptakan sistem pendidikan yang mendukung intelektual dalam menjalankan peran mereka.

Islam menyediakan paradigma pendidikan yang memuliakan ahli ilmu. Tujuan pendidikan dalam Islam bukan hanya menghasilkan tenaga kerja terampil, tetapi juga individu yang memahami syariat Islam dan ahli di berbagai bidang ilmu, baik keislaman maupun sains. Pendidikan dianggap sebagai kewajiban, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).

Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan pokok yang bertujuan membangun masyarakat cerdas dan merdeka dari kebodohan, penjajahan, atau penguasaan oleh negara lain. Orientasi pendidikan dalam Islam diarahkan untuk memperoleh ridha Allah, membentuk kepribadian Islami, dan mempersiapkan generasi yang ahli di bidangnya.

Negara dalam Islam bertanggung jawab penuh atas pendidikan rakyat. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin.” (HR Bukhari), negara bertugas memastikan setiap individu mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa hambatan biaya.

Dalam sistem Islam, praktik magang dikelola secara profesional dan berintegritas. Pemagangan disesuaikan dengan bidang studi mahasiswa, disertai pengawasan ketat dari pihak kampus. Sekolah atau kampus juga memberikan bekal administratif dan keilmuan yang memadai kepada peserta magang, serta memastikan komunikasi langsung dengan tempat magang tanpa melibatkan pihak ketiga. Hal ini mencegah eksploitasi dan perdagangan orang.

Khilafah akan memastikan transparansi dalam hubungan antara mahasiswa, kampus, dan tempat magang, termasuk hak dan kewajiban masing-masing pihak. Konflik atau pelanggaran akan diselesaikan melalui mahkamah peradilan. Sanksi tegas diberikan kepada pihak yang terbukti mengeksploitasi mahasiswa. Semua pengurusan ini diselenggarakan secara gratis, tanpa membebani mahasiswa.

Pembiayaan pendidikan dalam sistem Khilafah diperoleh melalui pengelolaan sumber daya alam yang menjadi kepemilikan umum. Hasilnya digunakan untuk membiayai pelayanan publik, termasuk pendidikan, sehingga pendidikan gratis namun berkualitas dapat diwujudkan. Dengan sistem ini, potensi mahasiswa diarahkan untuk membangun peradaban yang mulia, sesuai nilai-nilai Islam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here