Opini

PPN Naik Lagi, Rakyat Gigit Jari

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nana Juwita, S.Si.

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Lagi dan lagi, beban hidup rakyat akan terus bertambah dengan adanya rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 12 %. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan, menyampaikankan bahwa kenaikan tarif PPN awal tahun depan 1 Januari 2025 akan tetap berjalan. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN di Indonesia mengalami perubahan yakni pada 1 April 2022, tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen. Pada 1 Januari 2025, tarif PPN direncanakan naik menjadi 12 persen.(antaranews.com,16/11/24).

Adanya upaya kenaikan PPN ini dipastikan akan menambah beban rakyat, karena hukum alam akan terjadi, ketika PPN naik maka harga barang dan jasa sudah dapat dipastikan akan naik juga. Jika ini terjadi yang terkena imbasnya adalah rakyat kecil dan juga menengah. Kalau sudah begini bagaimana rakyat akan sejahtera? yang pasti hidup rakyat semakin sulit.

Walaupun kenaikan tarif PPN ini diklaim sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun faktanya belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sementara yang pasti adalah kesengsaraan rakyat, terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit, menurunkan daya beli masyarakat, dll. Apalagi, ada problem korupsi dan pemerintah yang gemar berutang. Sehingga utang negara semakin bertambah, dan Indonesia sulit lepas dari jeratan utang luar negeri.

Achmad Hanif Imaduddin yang merupakan Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menyampaikan bahwa kenaikan PPN ini memang bisa jadi salah satu alternatif kebijakan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, dengan Jumlah penduduk kelas menengah yang besar pada 2024 yang diperkirakan mencapai 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total penduduk di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada jumlah kelas menengah yang semakin menurun dan daya beli yang semakin rendah. Dengan pertimbangan ini kebijakan menaikkan PPN dirasa tidak etis dan tidak relevan, Sebab jika PPN naik, maka harga barang dan jasa juga naik. Pada akhirnya masyarakat akan lebih berhati-hati untuk mengeluarkan uangnya, alhasil konsumsi rumah tangga menurun. Dan jika konsumsi rumah tangga menurun, maka tidak akan ada perputaran ekonomi. (tirto.id,15/11/24).

Indonesia yang merupakan negara dengan berlimpah sumber daya alam ternyata m erupakan negara dengan tarif PPN tertinggi di wilayah ASEAN periode 2023-2024. Tarif PPN di Indonesia yang direncanakan naik 12 % tersebut akan menyamai tarif PPN Filipina yang kini sebesar 12%. Sedangkan Kamboja dan Vietnam masing-masing sebesar 10%. Thailand dan Laos dengan tarif PPN yang sama sebesar 7%, Myanmar memberikan standar pajak komersial sebesar 5%. Timor Leste dengan pajak penjualan impor sebesar 2,5%. Semua ini berdasarkan data yang diterbitkan oleh PricewaterhouseCoopers (PwC). (cnbcindonesia.com, 15/11/24).

Semua ini merupakan konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Di sisi lain negara hanya menjadi regulator dan fasilitator, yang melayani kepentingan para pemilik modal, ini adalah keniscayaan dalam sistem kapitalisme yang diterapkan pada saat ini. Karena sumber utama pendapatan negara yang menerapkan sistem kapitalisme adalah pajak. Sementara kekayaan sumber daya alam yang berlimpah dikelola oleh swasta ataupun asing, padahal sumber daya alam tergolong pada kategori kepemilikan umum. Yang semestinya negara dapat memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tersebut untuk menopong pemasukan negara, dalam rangka mengurusi urusan umat. Namun sayang seribu sayang kekayaan alam tersebut tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi umat, hal ini disebabkan penerapan sistem kapitalisme sekularistik yang tidak bersandar pada sistem ekonomi Islam. Dengan tujuan semata-mata hanya untuk melayani kebutuhan rakyat.

Pajak di dalam sistem ekonomi kapitalisme dengan berbagai macam jenisnya tersebut, mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, harga barang meningkat karena dalam mata rantai proses produksi setiap tahapannya akan dikenakan pajak. Sesungguhnya pajak adalah bentuk kezhaliman yang seolah menjadi legal karena terbentuk melalui undang-undang atau regulasi, sehingga negara merasa berhak untuk mengambil harta yang sebenarnya bukan menjadi miliknya. Maka tidak heran jika saat ini banyak orang yang berusaha mencoba untuk dapat terhindar dari pajak.

Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam bahwa pajak (dlaribah) akan dipungut oleh negara ketika Baitul Mal mengalami kekosongan harta/uang, dalam hal untuk membiayai segala bentuk pelayanan bagi umat. maka dalam kondisi kas negara dalam keadaan kosong, negara hanya mengambil pajak dari orang-orang yang tergolong kaya. Pungutan pajak dalam sistem Islam tidak bersifat permanen namun hanya sementara. Tidak seperti di dalam sistem kapitalisme bahwa setiap rakyat dipungut pajak secara terus-menerus, sementara para pengusaha malah tidak jarang mendapat pengampunan pajak. Ini semua akibat dari penerapan undang-undang atau peraturan yang tidak bersumber dari hukum Islam.

Oleh karena itu Islam jelas melarang seluruh pungutan apapun bentuk dan jenisnya , karena setiap pungutan haruslah memiliki dalil (legislasi) syar’i. Jika tidak maka hal tersebut tertolak sebagaimana Allah SWT berfirman dalam (TQS.Ali-Imran:161), yang artinya:

Barang siapa berbuat ghulul (curang terhadap harta) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa (harta) yang dicuranginya itu.

Oleh karena itu umat harus memahami bahwa fungsi dan kedudukan dlaribah (pajak) di dalam sistem Islam, adalah sebagai solusi terakhir yang menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat dan utuhnya negara khilafah. Bukan sebagai ujung tombak perekonomian, sebagaimana yang trjadi di negara-negara yang menjalankan sistem ekonomi kapitalisme.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here