Oleh: Nana Juwita, S.Si.
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Listrik ternyata tidak dapat dinikmati oleh setiap warga negara negeri ini. Apalagi bagi masyarakat yang tinggal di wilayah desa tertinggal atau bahkan sangat tertinggal maka dapat dipastikan rumah-rumah masyarakat di daerah tersebut tidak dapat merasakan aliran listrik. Padahal listrik merupakan kebutuhan penting yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Namun hal ini tidak terwujud karena adanya liberalisasi tata kelola listrik pada sumber energi primer dan layanan listrik, yang hanya berorientasi mendapatkan keuntungan. Akibatnya penyediaan listrik di pedesaan tidak terlalu diperhatikan karena mahalnya biaya.
Jika listrik belum merata disetiap rumah rakyat pada saat ini, harusnya negara hadir di tengah-tengah umat, untuk menyediakan sarana terkait dengan pengadaan listrik di setiap wilayah negeri ini. Tidak ada perbedaan antara masyarakat yang hidup di daerah tertinggal (desa) dengan daerah maju atau kota, karena memenuhi kebutuhan hidup umat adalah kewajiban bagi penguasa. Namun sayang disaat masyarakat butuh akan aliran listrik, negara malah disibukkan dengan pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) yang justru tidak jauh lebih penting dari pada mengalirkan listri disetiap rumah warga. Besarnya dana yang digelontorkan untuk pembangun IKN bisa jadi tidak sebanding dengan pengadaan aliran listrik bagi rakyat. Seharusnya negara dapat mengutamakan kebutuhan rakyat akan listrik dari pada pembangunan IKN tersebut.
Dikutip dari (www.beritasatu.com, 23/11/24) diperkirakan ada 22.000 kepala keluarga (KK) di Jawa Barat (Jabar) belum teraliri listrik. Dedi Mulyadi yang merupakan calon gubernur (cagub) Jawa Barat (Jabar) nomor urut 4 menyampaikan jika menang dalam Pilkada, maka Ia menargetkan dalam dua tahun pemerintahannya seluruh warga Jawa Barat akan mendapat aliran listrik. Yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam, seperti air, maupun angin bisa dikelola untuk menghasilkan listrik sehingga bisa menerangi kawasan terpencil. Semua Ini tinggal dimaksimalkan oleh desa, atau badan usaha milik desa untuk membuat listrik sendiri.
Sementara itu Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu menyampaikan bahwa di Papua ada 112 desa/kelurahan yang belum mendapat aliran listrik. Sedangkan pada tahun 2024, program BPBL (Bantuan Pasang Baru Listrik) ditargetkan dapat menyasar 122.000 rumah tangga yang tersebar di 36 Provinsi. (tirto.id, 10/06/24).
Dari paparan di atas terlihat bahwa aliran listrik memang belum merata di setiap wilayah negeri ini. Negara masih secara bertahap dalam rangka mengupayakan adanya aliran listrik tersebut. Padahal pengadaan listrik sesuatu yang harus disegerakan karena ini merupakan kebutuhan primer bagi umat, yang sudah semestinya negara menjaminnya. Namun hal ini sulit didapat oleh rakyat, akibat abainya penguasa dalam mengurusi urusan umat. Hal ini wajar terjadi ketika kapitalisme sekularisme masih dijadikan asas dalam mengatur urusan umat. Sehingga penyediaan hajat hidup ini dilakukan oleh korporasi yang menyebabkan harga listrik menjadi mahal. Negara lepas tangan menjamin pemenuhan kebutuhan yang krusial bagi rakyatnya. Bahkan negara justru memalak rakyat melalui tata kelola listrik yang kapitalistik ini.
Dalam Islam, listrik adalah milik umum, harus dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk listrik gratis atau bahkan murah (mudah dijangkau). Apa lagi dengan adanya potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, maka negara tidak boleh ragu-ragu untuk menyalurkan dana dalam rangka membangun pangkalan listrik di daerah atau wilayah-wilayah yang belum teralirkan listrik. Islam menjelaskan bahwa listrik termasuk ke dalam kepemilikan umum, oleh karena itu Islam melarang bahwa pengelolaan listrik diserahkan pada perorangan atau swasta bahkan asing. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW, pernah bersabda:
’’Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang dan api. (HR Abu Dawud).’’
Islam melarang penyerahkan pengelolaan listrik kepada swasta. Justru negara/penguasa yang bertanggung jawab memastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya, dengan harga listrik murah atau bahkan gratis, layanan merata sampai ke pelosok. Dalam mengelola layanan listrik ini, negara menyediakan sarana prasarana terbaik sehingga memudahkan rakyat dalam mengaksesnya.
Demikian juga Islam memiliki mekanisme dan pengaturan dalam hal kepemilikan, juga memiliki mekanisme tentang barang-barang apa saja yang boleh dimiliki oleh individu, negara dan masyarakat. Untuk perkara apa saja pemanfaatan harta kekayaan tersebut, dan sebagainya. Ini karena aturan Islam itu dibuat oleh Allah SWT, Pemilik alam dan seluruh isinya, Zat Yang Maha Mengetahui dan Maha Adil. Yang tidak memiliki kepentingan apapun di dalam pengaturan-Nya melainkan hanya untuk kebaikan umat manusia.
Islam tidak membeda-bedakan terkait pemenuhan kebutuhan primer (listrik), setiap wilayah yang menjadi tanggung jawab Khilafah. Wajib bagi negara untuk mengalirkan listrik keseluruh wilayah Khilafah tanpa kecuali. Dimana segala bentuk pembiayaan atas hal tersebut diambil dari Baitul Mal negara yang merupakan kas pemasukan negara. Sesungguhnya hanya Islam yang mampu menjamin seluruh hajat hidup manusia termasuk kebutuhan akan listrik, karena Islam hadir sebagai solusi atas segala persoalan yang dihadapi oleh umat.
Views: 1
Comment here