Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Akhir-akhir ini bertebaran di sosial media pernyataan bahwa Islam dan feminisme memiliki nilai yang sama. Beberapa komentar menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW dan Ibunda Khadijah ra adalah tokoh feminis. Bahkan, salah satu situs media Rumah Kitab menulis klaim bahwa Bunda Khadijah sebagai model kepemimpinan feminis paripurna (rumahkitab.com, 16/10/2024).
Sangat disayangkan, paham feminisme ini justru berkembang di kalangan muslimah muda terpelajar. Didukung dengan sekularisasi pendidikan dan branding para tokoh feminis Barat yang selalu mendapat tempat untuk menyuarakan pendapatnya. Para pengusung feminis juga kerap mengkritik Islam dengan mencomot aturan-aturan yang dianggap mendiskriminasi perempuan, seperti kewajiban menutup aurat, hukum kesaksian perempuan, poligami, pembagian waris, serta kepemimpinan dalam Islam.
Meskipun Islam dan feminisme memiliki irisan yang sama mengenai kehormatan dan derajat perempuan, tapi landasan berpikirnya sudah jelas berbeda. Feminisme lahir dari sejarah kelam gereja-gereja Barat pada abad ke-19 hingga abad ke-20 yang menempatkan perempuan sebagai manusia level 2. Pada saat itu, perempuan dirasa tidak berhak mendapat pendidikan dan tidak dapat berperan dalam politik. Feminisme dilandaskan oleh pemberontakan atas ketertindasan perempuan di bawah aturan gereja-gereja Barat. Sedangkan Islam dilandaskan pada wahyu Allah Swt. sehingga melahirkan aturan yang paripurna. Maka sudah jelas, Muslimah tidak memerlukan nilai-nilai feminisme.
Lebih jauh lagi, apa dampak feminisme terhadap kehidupan perempuan khususnya bagi Muslimah? Landasan gerak feminisme yang tidak tepat berkembang melahirkan pemikiran serta konsep-konsep pemberdayaan perempuan yang justru tidak sesuai dengan fitrah perempuan. Dalam jangka panjang, perempuan akan dijadikan sebagai penggerak ekonomi yang mengharuskan mereka keluar dari rumah, memiliki sedikit (bahkan tidak sama sekali) waktu untuk menuntut ilmu agama, dan abai pada perannya sebagai Muslimah.
Pada akhirnya, standar keberhasilan perempuan dari kacamata feminisme adalah seberapa banyak materi yang dapat dihasilkan. Bukankah persepsi ini justru dapat menekan posisi perempuan dan membawa dampak terhadap mental. Perlu diketahui pula, bahwa agenda feminis tidak hanya kesetaraan gender, tapi juga turut menyuarakan kebebasan orientasi seksual, transgender, dan hak asasi manusia (HAM).
Maka, sebagai solusi dari permasalahan ini adalah terus mendakwahkan Islam kafah. Penting untuk memberikan pemahaman bahwa Allah Swt. memosisikan laki-laki dan perempuan pada derajat yang sama. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki kewajiban beribadah dan memiliki peluang yang sama untuk mendapat pahala. Allah Swt. pula telah menyesuaikan tugas dan kewajiban perempuan sesuai dengan fitrahnya.
Perlu juga menekankan bahwa aturan-aturan dalam Islam tidak dapat dinilai dan ditinjau hanya sebagian saja. Jika para feminis benar ingin menilai apakah aturan Islam sudah berkeadilan sesuai gender, maka tinjaulah dari keseluruhan aturan dan konsep yang ada dalam Islam. Muslimah yang memahami Islam secara menyeluruh akan melihat bahwa ajaran Islam telah memberikan solusi terbaik bagi permasalahan perempuan tanpa harus mengadopsi nilai-nilai feminisme.
Ria Rosiandini
Ngaglik, Sleman, DIY
Views: 7
Comment here