Oleh: Nana Juwita, S.Si.
Wacana-edukasi.com, OPINI– Dikutip dari www.tempo.co, (22/11/24), bahwa BPS (Badan Pusat Statistik) telah merilis data terkait dengan standar hidup layak rakyat Indonesia berkisar Rp 1,02 juta per bulan yang dianggap bahwa standar tersebut sangat kecil dan dapat merugikan rakyat. Semua ini akibat penerapan sistem ekonomi yang berasas pada sekularisme kapitalisme yang mengukur standar hidup layak dari pendapatan perkapita. Di mana pendapatan per kapita merupakan acuan bagi negara dalam rangka untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyatnya. Yaitu dengan cara menghitung jumlah pendapatan seluruh penduduk Indonesia, sehingga didapat jumlah rata-rata penduduk suatu negara, kemudian dibagi dengan total jumlah penduduknya. Kemudian didapatlah pendapatan per kapita dari penduduk tersebut.
Dari realita di atas tampaklah bahwa kesejahteraan umat diukur dari pendapatan perkapita, sementara di sistem kapitalisme saat ini, bisa saja kekayaan satu individu yang ada di negeri ini dapat memengaruhi total pendapatan perkapita tersebut. Sementara masyarakat Indonesia sebenarnya lebih banyak hidup di kisaran menengah ke bawah, bahkan bisa dikatakan tergolong miskin. Jika pendapatan perkapita dijadikan acuan untuk mengukur kesejahteraan umat, maka jelas ini adalah sebuah kesalahan akibat mengambil tolok ukur kesejahteraan bukan dari hukum Islam.
Bayangkan bagaimana mungkin uang sebesar Rp 1,02 juta per bulan mampu memenuhi kebutuhan hidup umat? Sementara bisa jadi dalam satu keluarga memiliki jumlah tanggungan yang wajib dinafkahi berbeda beda. Karena selain memenuhi kebutuhan makan, rakyat juga harus memenuhi kebutuhan pokok kolektif seperti kesehatan dan pendidikan.
Belum lagi beban pajak yang wajib dibayar. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi umat dengan pendapatan yang sangat minim tersebut mampu memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, ujung-ujungnya umat akan sangat berhemat dengan cara mengurangi jatah kebutuhan makan demi untuk menanggung kebutuhan yang lainnya.
Atas hal tersebut negara zalim ketika menentukan standar hidup layak dengan jumlah minimal yang sejatinya tidak layak untuk terwujud kesejahteraan. Dikutip dari laman www.cnnindonesia.com, (28/11/24), Mirah Sumirat selaku Presiden ASPIRASI (Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), mengkritik penggunaan istilah ‘standar’ dalam survei BPS yang dinilai kurang tepat dan membuat masyarakat kebingungan. Semestinya bukan standar hidup layak judulnya, lebih tepat disebut rata-rata pengeluaran, begitu yang disampaikan oleh Mirah ketika menanggapi data dari BPS tersebut. Terlepas dari perdebatan istilah milik BPS, Mirah menilai kecilnya angka standar hidup layak itu mencerminkan upah murah yang diterima buruh Indonesia. Ia menegaskan pendapatan pekerja yang diperoleh saat ini memang jauh dari kata layak.
Islam menjadikan negara sebagai raa’in yang wajib mengurus rakyat termasuk menjamin terwujudnya kesejahteraan individu per individu. Hal ini akan terwujud dengan penerapan Islam secara kafah. Dimana tujuan dari politik ekonomi Islam adalah untuk menjamin terealisasinya kebutuhan primer (basic need) setiap orang secara menyeluruh. Kemudian Islam akan menjadikan tiap individu agar mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Hal ini sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu.
Sistem Islam mewajibkan penguasa untuk dapat menjamin kebutuhan rakyatnya secara menyeluruh. Baik kebutuhan pangan, sandang dan papan. Sekaligus pendidikan juga kesehatan, dan keamanan. Selain itu negara memberikan rambu-rambu atau aturan bagi individu yang hidup dalam naungan Islam dalam hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut berdasarkan syariat islam.
Islam tidak melarang rakyatnya untuk menjadi kaya, asal jelas asal kekayaannya tersebut bukan hasil dari korupsi atau mencuri, bahkan melakukan bisnis yang tidak sesuai dengan syariat. Namun Islam juga menentukan aktivitas atau amal perbuatan apa saja yang dibolehkan dalam rangka untuk meraih taraf hidup yang lebih baik tersebut.
Karena itu , Islam telah menjamin terpenuhinya pemenuhan kebutuhan primer setiap warga negara secara menyeluruh. Yaitu dengan mewajibkan setiap laki-laki untuk bekerja agar dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer dalam keluarganya. Bagi laki-laki yang dengan sengaja menelantarkan keluarganya dalam hal nafkah, maka negara akan memberikan sanksi kepadanya sesuai dengan aturan Islam. Sementara laki-laki yang tidak mampu bekerja karena alasan tertentu bukan karena kemalasannya maka Islam mewajibkan kepada anak atau ahli warisnya untuk bekerja. Seandainya anak dan ahli warisnya tidak ada, maka negara melalui Baitul Mal-lah yang akan menjamin seluruh kebutuhannya. Oleh karena itu penguasa juga harus memastikan bahwa tiap orang yang hidup dalam naumgan Islam memiliki pekerjaan.
Sistem ekonomi Islam memiliki mekanisme dan pengaturan dalam hal kepemilikan, juga mekanisme tentang barang-barang apa saja yang boleh dimiliki oleh individu, masyarakat dan negara. Islam dengan sangat jelas mengelompokkan jenis-jenis kepemilikan: kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Sehingga tiap individu yang hidup dalam naungan Islam akan taat terhadap aturan kepemilikan tersebut.
Negara juga tidak dibenarkan memberikan privatisasi secara bebas dalam hal pengelolaan sumber kepemilikan umum. Karena penguasa wajib melindungi umat dan juga sumber daya alam yang ada dalam negara. Semata-mata hanya untuk kepentingan umat.
Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Syari bagi kaum Muslim, dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari harta tersebut, akan tetapi mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi. Kebebasan hak memiliki yang ada dalam kapitalisme inilah yang menyebabkan kesejahteraan tidak merata dirasakan oleh umat negeri ini, sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tersingkir.
Sedangkan kepemilikan negara merupakan sesuatu yang juga termasuk ke dalam milik perorangan, seperti tanah, bangunan dan barang-barang yang dapat dipindahkan. Akan tetapi, jika berhubungan dengan hak kaum Muslim, maka pengaturannya menjadi tugas negara. Pengaturannya diserahkan kepada Khalifah, karena Khalifah lah yang memiliki wewenang dalam mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan hak seluruh kaum Muslim. Jenis-jenis pemilikan negara mencakup: padang pasir, gunung, pantai dan tanah mawat yang tidak ada pemiliknya, rawa-rawa dan endapan sungai, ash-shawafi (tanah-tanah yang negerinya ditaklukkan oleh negara Khalifah, baik milik penguasa, para panglima perang, tanah milik musuh yang terbunuh dalam peperangan, atau tanah yang ditinggal lari oleh pemiliknya karena negerinya ditaklukkan, termasuk bangunan), dll.
Islam menjelaskan setiap jenis kepemilikan memiliki tata cara pengaturan dan cara-cara penggunaan atas harta milik masing-masing jenis. Seorang penguasa, tidak dapat menggunakan begitu saja harta milik umum (dari hasil penjualan minyak,emas dan gas misalnya) untuk kepentingan individu, kelompok dan negara. Atau seorang Khalifah dengan dalih kemaslahatan umat mengambil alih bangunan atau tanah milik individu rakyat dan menjadikannya milik negara. Dengan kata lain, pengaturan tentang pemilikan, cara-cara perolehannya, pemanfaatannya/penggunaannya, dan distribusinya (jika menyangkut pemilikan negara dan umum) ditentukan oleh syariat Islam secara detail. Semua ini untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera dan tentram bagi seluruh umat manusia.
Sejarah membuktikan pada masa kejayaan Islam, di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, amil zakat tidak menemukan satu orang pun yang berhak menerima zakat, ini menunjukkan bahwa pada saat itu umat dalam kondisi sejahtera, sehingga mereka tidak merasa berhak untuk menerima zakat. Begitupun pada saat itu domba dan serigala mampu hidup bersama, bahkan penggembala pada saat itu sangat mengagumi Umar bin Abdul Aziz dengan mengatakan bahwa: ’’ jika pemimpinnya baik, maka semua orang yang dipimpinnya pun tidak akan menderita sakit’’.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam mampu melahirkan sosok pemimpin yang adil dan menyejahterakan pada masa itu hingga hewan pun tidak akan saling memangsa. Hal ini sungguh sangat jauh berbeda dimana hari ini Islam tidak lagi dijadikan aturan untuk mengatur urusan umat manusia. Sementara kesejahteraan hanya akan ada pada sistem Islam saja. Wallahu a’lam bishawab
Views: 4
Comment here