Oleh: Khodijah Ummu Hannan
Wacana-edukasi.com, OPINI– Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah gambaran nasib rakyat negeri ini. Pasca pandemi covid 19, roda perekonomian negeri ini belum pulih total. Namun, berbagai kenaikan harga terus melambung, tentu itu semakin melemahkan daya beli masyarakat secara signifikan. Kondisi ini diperburuk oleh kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Kenaikan PPN akan mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2025. Sebuah “kado” tahun baru yang istimewa. Meskipun tidak semua komoditas tidak terdampak kenaikan PPN, seperti diungkapkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Ia menegaskan bahwa kenaikan PPN tidak berdampak kepada kenaikan harga BBM, begitu juga dengan harga TDL pada kuartal pertama Tahun 2025, untuk pelanggan non subsidi. Kenaikan PPN 12 persen, tidak berdampak pula bagi harga beras premium, seperti disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (money.kompas.com, 20 Desember 2024).
Pemerintah pun kabarnya berencana memberikan bantuan sosial (bansos) dan berbagai subsidi lainnya. Saat ini pemerintah sendiri sedang mempersiapkan data dan skema untuk penyaluran bansos kepada kelas menengah yang terdampak oleh kenaikan PPN 12 persen. Upaya tersebut supaya bantuan tepat sasaran (katadata.co.id, 12 Desember 2024). Meski demikian, beban ekonomi masyarakat yang kian berat tetap menjadi kenyataan yang sulit diabaikan. Kebijakan ini, bagi sebagian besar rakyat, terasa seperti tambahan beban di tengah situasi yang belum sepenuhnya membaik.
Dampak Kenaikan PPN
Kenaikan PPN menjadi 12 persen berdampak signifikan terhadap perekonomian, juga memengaruhi daya beli masyarakat dan aktivis bisnis di berbagai sektor. Menurut Bhima Yudhistira Direktur Center of Economics and Law Studies, kenaikan ini berpotensi membuat pengeluaran rumah tangga kelas menengah melonjak hingga Rp 350.000 per bulan. Terutama untuk kebutuhan pangan dan transportasi (money.kompas.com, 20 Desember 2024).
Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, menekankan perlunya bansos bagi kelas menengah untuk mencegah mereka terjerumus ke dalam kemiskinan akibat terdampak kenaikan PPN 12 persen (katadata.co.id, 12 Desember 2024). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN tidak hanya memengaruhi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga memberikan tekanan pada kelas menengah yang rentan terhadap gejolak ekonomi.
Sebelumnya, pada kenaikan PPN 11 persen, dampaknya sudah terasa bagi masyarakat, terutama dalam penurunan daya beli. Tercatat terjadi penurunan konsumsi sekitar 5 persen, terutama untuk barang-barang kebutuhan pokok (INDEF, 2022). Selain itu, kenaikan inflasi pasca-kenaikan PPN 11 persen tercatat naik 0,2-0,4%, dan angka kemiskinan pun ikut meningkat. Kenaikan PPN 11 persen menunjukkan dampak yang uang signifikan untuk rakyat, sudah tentu kenaikan 12 persen dapat memperburuk kondisi perekonomian, terutama bagi kelompok menengah ke bawah. Ketika dampak negatifnya jelas lantas mengapa pemerintah tetap menaikkannya?
Pajak dalam Pandangan Kapitalisme
Beragam penolakan, kritikan dan petisi mengenai kenaikan PPN terus dilakukan oleh rakyat, karena kenaikan ini akan semakin menambah beban rakyat. Akan tetapi, berbagai upaya tersebut tidak mengubah kebijakan. Pemerintah tak bergeming dengan keputusannya. Hal ini karena pajak, di dalam sistem ekonomi kapitalisme, menjadi pemasukan utama negara alias menjadi tulang punggung pembangunan negara. Maka tidak heran apabila negara dengan getolnya terus menaikkan PPN dan bersemangat memburu rakyat dengan beragam pungutan pajak.
Peningkatan signifikan penerimaan pajak jelas terlihat setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS, penerimaan pajak berkontribusi sebesar 82,4% dari total pendapatan negara. Pada tahun 2023, total pendapatan negara mencapai Rp2.634 triliun, sementara tahun 2024 diproyeksikan mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah dengan angka Rp2.802,3 triliun. Mengacu pada laporan Kementerian Keuangan (9/11/2024), hingga 31 Oktober 2024, pendapatan negara telah mencapai Rp2.247,5 triliun atau 80,2% dari target APBN. Potensi penerimaan negara diprediksi akan meningkat drastis apabila kebijakan PPN sebesar 12% benar-benar diterapkan.
Tentu kebijakan ini bermuara pada penerapan sistem kapitalisme sekuler. Dari sini kita bisa melihat bagaimana ketidakmampuan sistem ini menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya dan abainya peran negara untuk mengurusi rakyatnya. Alih-alih mengurusi, rakyat malah dijadikan sapi perahan bagi mereka. Dengan beragam kebijakannya, sistem ini telah membuat jurang pemisah yang sangat tinggi antara si miskin dan si kaya. Oxfam International (2023), mencatat 1% populasi terkaya dunia menguasai lebih dari 45% kekayaan dunia, sementara 50% populasi termiskin hanya memiliki 1,5% dari total kekayaan dunia. Ketimpangan ini terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Apakah kita akan tetap bertahan dengan sistem bobrok ini?
Pajak menurut Paradigma Islam
Secara normatif, Islam telah melarang Negara memungut pajak dari rakyatnya, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. Hal ini didasarkan suatu alasan, bahwa pajak dianggap kezaliman penguasa terhadap rakyatnya. Sementara kezaliman adalah sesuatu yang diharamkan di dalam Islam. Dalam sebuah hadits dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, maka nanti akan dikalungkan tujuh lapis bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Selain itu, ada hadits-hadits yang menunjukkan dengan jelas keharaman menarik pajak dan sejenisnya. Rasulullah saw dalam sebuah riwayat pernah bersabda: “Sesungguhnya pemungut cukai berada di dalam neraka.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Pajak, di dalam khazanah fiqih Islam diistilahkan dengan ad-Dharîbah. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabahni, istilah ini merupakan istilah asing, bukan dari khazanah Islam, yang diadopsi oleh para fuqaha’ tetapi faktanya ada dalam khazanah fiqih Islam. Secara terminologis, Dharîbah adalah harta yang diambil dari rakyat untuk mengurus negara. Di dalam kehidupan kaum Muslim juga ada harta yang diambil negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Karena itu, istilah Dharîbah ini kemudian digunakan dan penggunaannya diperbolehkan oleh syariat Islam.
Dharîbah (pajak) dalam Islam merupakan harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk memenuhi kebutuhan dan pengeluaran yang penting bagi masyarakat, terutama ketika Baitul Mal tidak memiliki dana yang cukup. Baitul Mal sendiri memiliki pemasukan rutin seperti fai’, kharaj, ‘usyûr, serta hasil pengelolaan harta umum, yang seharusnya mencukupi kebutuhan negara. Selama pemasukan tersebut cukup, negara tidak akan memungut pajak dari rakyat. Selain itu, syariat Islam telah mengatur secara jelas pos-pos pengeluaran yang harus dipenuhi oleh Baitul Mal, baik dalam kondisi adanya dana maupun tidak.
Namun, jika pemasukan rutin tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan wajib, negara akan terlebih dahulu meminta sumbangan sukarela dari kaum Muslim. Jika sumbangan ini pun tidak mencukupi, kewajiban pembiayaan kebutuhan negara beralih kepada seluruh kaum Muslim. Hal ini didasarkan pada kewajiban yang diberikan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk memenuhi kebutuhan mendesak, terutama yang dapat menyebabkan kemudaratan jika diabaikan.
Islam mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa kaum Muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan saling membahayakan” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam kondisi seperti ini, negara diberi hak oleh Allah SWT untuk memungut pajak (dharîbah) dari kaum Muslim yang mampu, guna menutupi kebutuhan dan kemaslahatan yang mendesak. Dengan demikian, penetapan pajak dalam Islam sebenarnya hanya berlaku dalam kondisi darurat, bukan dalam kondisi normal. Pada asalnya, memungut pajak adalah haram, namun menjadi diperbolehkan ketika terjadi darurat yang mengharuskan kaum Muslim menanggung kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh Baitul Mal.
Selain itu, pajak hanya dikenakan pada Muslim yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu mereka yang mampu, memiliki kelebihan harta, dan jumlah pajak yang dipungut disesuaikan dengan kebutuhan yang mendesak. Pajak ini juga tidak bersifat permanen, melainkan hanya berlaku selama kondisi darurat tersebut berlangsung, untuk menghindari kemudaratan yang dapat mengganggu kemaslahatan umat.
Khatimah
Itulah Islam dengan keunggulan sistem ekonominya, mampu memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi tanpa membebani rakyatnya sendiri. Masihkah kita ragu untuk berpaling dari sistem kapitalisme sekuler, yang jelas menjadi penyebab kesengsaraan.
Views: 20
Comment here