Oleh : Wiwin
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA— Tanggal 1 Januari 2025 rakyat negeri ini mendapat kado istimewa yang terasa pahit dari Pemerintahan yang Baru berupa Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Tanggapan keras dari masyarakat seperti para akademisi, mahasiswa, pengusaha, buruh bahkan sampai dilakukan demonstrasi dan penandatanganan Petisi oleh 197 ribu warga agar kebijakan itu dibatalkan, tidak satu pun dikabulkan. Kebijakan Menaikkan PPN menjadi 12% tetap diresmikan Pemerintah (CNN Indonesia , 28/12/2024).
Rakyat kecewa karena Pemerintah tidak berempati pada kehidupan mereka. Kenaikan PPN akan menambah kesulitan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sedang terpuruk saat ini. Gelombang PHK belum usai, bertambah lagi penderitaan dengan kenaikan PPN.
Kenaikan PPN jadi sorotan karena akan berpengaruh pada naiknya harga barang. Harga barang naik, sedang pendapatan tetap atau bahkan menyusut akibat PHK, mengakibatkan menurunnya daya beli. Kebutuhan pokok tidak terpenuhi akhirnya akan memicu masalah sosial.
Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani (CNBC, 25/11/2024) beralasan bahwa kenaikan PPN saat ini bukan kebijakan yang membabi buta. Kebijakan ini adalah hasil dari pengesahan UU no 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan di masa Pemerintahan Jokowi, dengan tujuan untuk menjaga APBN agar tetap sehat.
Siapa yang Diuntungkan dengan Kenaikan PPN?
Mantan Menteri Keuangan, Brodjonegoro mengungkapkan bahwa usulan kenaikan PPN datang dari pengusaha. Pengusaha meminta pada Pemerintah untuk menurunkan Pajak Penghasilan (PPH) Badan agar investasi ke Indonesia meningkat sebab PPH yang kompetitif di bandingkan dengan Singapura. Kemudian untuk menstabilkan penerimaan pajak, maka PPN dinaikkan.
Brodjonegoro tidak setuju waktu itu karena ada ketidakadilan. PPN dikenakan pada barang dan jasa yang digunakan oleh seluruh rakyat, sedangkan PPH Badan hanya dikenakan pada perusahaan yang telah menjadi wajib pajak, yaitu perusahaan yang berpenghasilan tinggi. Masa untuk keuntungan segelintir pengusaha, seluruh rakyat jadi tumbal dibebani dengan pajak yang mencekik leher. Dengan kata lain, negara memalak rakyat.
Keniscayaan Pajak di Sistem Kapitalisme
Dalam Negara dengan sistem Kapitalisme, pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang utama selain utang luar negeri. Oleh karena itu pajak di negara ini adalah satu keniscayaan. Pembangunan dan kegiatan bernegara dibiayai dari Pajak.
Pada hakekatnya ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, rakyat membiayai sendiri kebutuhannya karena pajak asalnya dari rakyat. Dengan kata lain, negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Sekarang kita rasakan berbagai subsidi mulai dikurangi bahkan ditiadakan. Pelan tapi pasti terjadi pemalakan oleh negara Kapitalisme.
Dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, memberi fasilitas dan aturan, untuk melayani kepentingan para pengusaha (pemilik modal). Rakyat kecil akan terabaikan bahkan rakyat menjadi sasaran utama berbagai pungutan negara yang bersifat wajib sebagai konsekuensi warga negara. Pajak bila tidak dibayar, menjadi utang dan rakyat dikenai sanksi. Pungutan pajak benar-benar menyengsarakan rakyat karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat.
Sebaliknya banyak kebijakan pajak yang justru memberikan keringanan pada para pengusaha dengan alasan untuk meningkatkan investasi. Katanya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat, tetapi kenyataannya tidak begitu. Rakyat kesulitan mendapat pekerjaan, bahkan yang sudah bekerja pun di PHK.
Pajak dalam sistem Islam
Negara yang menerapkan sistem Islam (Khilafah) tidak memberlakukan pajak pada rakyatnya. Haram memungut pajak pada rakyat. Yang ada, pemerintah/penguasa (Khalifah) harus bertanggung jawab mengurus (raa’in) dan melindungi (junnah) rakyatnya. Khalifah adalah pelayan rakyat bukan pemalak rakyat.
Sistem ekonomi dalam negara Islam (khilafah) memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam konsisi tertentu seperti di saat kas negara kosong akibat musim paceklik, atau terjadi peperangan. Dan hanya diberlakukan pada kalangan tertentu yaitu orang-orang kaya, serta tidak sepanjang waktu. Negara juga tidak mengandalkan utang luar negeri untuk pembangunan infrastruktur.
Negara Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam seperti ghanimah (harta rampasan perang), fa’i (harta yang diperoleh tanpa pertempuran), kharaj (pajak hasil tanah milik orang non muslim) dan dari pengelolaan harta milik umum.
Sumber daya alam (SDA) seperti barang tambang ( nikel, minyak bumi, emas, perak, batu bara dll) air, hutan, laut dan isinya termasuk harta milik umum (rakyat). Pengelolaannya harus oleh negara tidak boleh dikuasai oleh swasta atau asing. Hasil pengelolaan SDA harus dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat seperti fasilitas umum dan kemudahan lainnya. Maka dengan pengaturan sistem ekonomi islam, khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu.
Tidak ada alternatif lain selain sistem Islam Kafah yang membebaskan rakyat dari penderitaan saat ini.
Views: 16
Comment here