Oleh: Witta Saptarini, S.E. (Guru dan Penulis Buku Titian Aksaraku)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– PPN 12% batal secara umum? Jangan happy dulu, meski klaim diberlakukan pada barang dan jasa yang terkategori mewah, namun dampak tarik ulur kebijakan ini menimbulkan huru-hara di tengah masyarakat. Pasalnya, sebelum ketuk palu, harga barang dan jasa lain sudah terlanjur naik, akibat ekspektasi inflasi masyarakat yang sudah terbentuk. Bahwasanya, pertumbuhan ekonomi mulai melambat, diiringi penurunan harga komoditas yang notabene sumber pendapatan masyarakat. Menurut pengamat pajak Center For Indonesia Taxation Analysis, Fajri Akbar mengatakan, “ Penentuan harga tidak hanya dilihat dari perspektif besaran tarif pajak saja, melainkan menjadi keputusan perusahaan atau pedagang.” Karenanya, tak mudah mengoreksi dan mengembalikan damage yang timbulkan akibat penerapan kebijakan publik. Tak cukup sampai disitu, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira memaparkan, bahwa akan ada gap terhadap tambahan pendapatan negara yang cukup signifikan yaitu sebesar 60 triliun rupiah, bila PPN 12% hanya berlaku parsial alias untuk barang dan jasa premium. Kendatipun demikian, tetap tidak menghalangi lonjakan inflasi. Artinya, bila tak ada tax effort dengan efisiensi anggaran atau mencari pendapatan pajak-pajak baru, jelas akan memengaruhi tax ratio sepanjang tahun 2025. (BBC News Indonesia, 4/1/2025)
Ya, no effort no result, pemerintah berupaya menyinergikan kebijakan-kebijakan lain, selain untuk menutup gap dan penerimaan pajak tercapai, pun demi APBN yang sehat. Pemerintah juga berambisi menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara OECD, negara klasifikasi industri, kaya, maju, dan kuat. Sebut saja beberapa di antaranya, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Korea Selatan. Sementara, sektor manufaktur Indonesia saat ini turun, inovasi lemah, dan sektor pertanian minim dilirik generasi muda. Bahkan, dari sisi PPN masih jauh tertinggal di bawah negara OECD. Sebab, sektor ekonomi informal yang dominan alias tidak bisa dipajaki, berimplikasi pada terbatasnya tax base dan tax ratio yang tak pernah optimal. Kendatipun demikian, tak menyurutkan hasrat menjadi bagian OECD. Ibarat lari maraton tanpa rintangan, pemerintah tak henti bermanuver, sederet kebijakan pun siap diluncurkan
Hujan Pungutan dan Impitan
Selain PPN 12% pada barang dan jasa kategori premium, inilah deret kebijakan fiskal alias pungutan yang siap menghujani dan memengaruhi daya beli masyarakat di sepanjang tahun 2025. Di antaranya, potongan gaji untuk Tapera dan dana pensiun tambahan wajib, asuransi wajib kendaraan bermotor, pengalihan subsidi, kenaikan iuran BPJS kesehatan, tarif KRL berbasis NIK, dan UKT. Bahkan, dampak tarik ulur dan ketidakjelasan kebijakan kenaikan PPN 12% ini pun, menyebabkan harga barang dan jasa lain belum turun hingga saat ini. Hendri Saparini, Econom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menyatakan bahwasanya hal ini menunjukkan Indonesia tidak memiliki kebijakan fiskal yang jelas, sulit ditebak. Termasuk PPN yang politiknya dinilai tidak jelas, hingga masyarakat, pelaku usaha dan bisnis riuh rendah mendiskusikannya. Pasalnya, kebijakan pajak di negeri ini sangat memengaruhi hajat hidup orang banyak, mengancam daya beli, mengganggu roda dunia usaha di tengah kondisi perekonomian yang kian mengimpit.
Meng-capture keresahan publik saat ini bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, tanpa kenaikan tarif PPN pun berbagai sektor usaha termasuk industri dan retail tengah babak belur, akibat lemahnya daya beli, serta bersaing dengan barang impor. Mirisnya, pemerintah menjalankan policy kenaikan PPN berdasarkan asumsi dan skenario, demi mewujudkan cita-cita menaikkan tax ratio agar APBN aman. Namun, asumsi tak selalu sesuai dengan realitasnya. Salah satu contohnya, asumsi bahwa pusat perbelanjaan yang selalu ramai dipadati pengunjung, faktanya sekadar window shopping yang terkonfirmasi oleh penurunan tingkat penjualan.
Alih-alih stimulus package yang common dilakukan untuk memitigasi dapak negatif kebijakan publik pun tak menjamin, hanya secuil hiburan. Faktanya, sepanjang tahun 2024, Indonesia tidak merasakan perubahan yang signifikan. Justru disparitas dan kesenjangan sosial makin kentara, judol dan pinjol pun kian menjamur. Tak heran, Indonesia menduduki peringkat ke-6 negara dengan ketimpangan ekonomi dan 20 besar indeks kriminalitas tertinggi di dunia. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2024 pun semu dan tidak merata, karena hanya dinikmati oleh golongan elite dan konglomerat.
Konsekuensi Penerapan Sistem Kapitalisme
Perlu kita pahami, situasi ini sebagai refleksi penerapan sistem ekonomi kapitalisme, yang memosisikan pajak sebagai the largest sources pemasukan negara. Bahkan, sifatnya annual bukan temporal alias direncanakan tiap tahunnya, serta wajib menjadi tanggungan rakyat. Namun, rakyat pun ‘denial’ terhadap prinsip pungutan pajak ala kapitalisme yang tak sesuai esensinya. Pertama, keadilan yang faktanya menggeneralisasi kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Kedua, kelayakan yang faktanya memberatkan wajib pajak. Ketiga, kepastian hukum, namun tak pasti. Keempat, prinsip ekonomi tepat sasaran. Ya, lagi-lagi rakyat menjadi sasaran objek penderita. Kelima, efisiensi namun inefisiensi. Artinya, semua prinsipnya ‘oke gas’ alias memaksa.
Di sisi lain, pasar ala ekonomi kapitalis berjalan sesuai mekanismenya sendiri alias natural. Sebab, prinsip liberal yang melandasinya membatasi ruang politis. Artinya, pemerintah tak berkewajiban mengintervensi harga pasar, melainkan hak penuh individu. Maka, implikasi dari prematurnya kebijakan publik sulit dikoreksi dan dimitigasi, seperti halnya dalam konteks tarik ulur dan ketidakjelasan kenaikan PPN 12%. Alih-alih mengurangi beban rakyat, paket stimulasi pun sekadar hiburan menanti kejutan pungutan-pungutan dan impitan.
Tak heran, ideologi kapitalis hanya melahirkan citra penguasa populis, terefleksi pada kebijakannya yang bengis, tak peduli rakyat menangis. Sekalipun seolah tampak keberpihakan, namun sekadar penyesatan narasi dan bias aksi. Jelas, kebijakan publik dalam sistem kapitalisme hanya mengabaikan rakyat. Demi APBN sehat, tak peduli rakyat sekarat. Ibarat sapi perah yang makin kurus tak diurus, rakyat habis diperah dari segala arah tak diriayah. Penguasa hanya setia melayani para oligarki bukan rakyat pribumi. Ya, atas nama keuntungan oligarki diperlihara, namun berbisnis dengan rakyatnya. Pasalnya, ideologi yang memandang aturan kehidupan dan kebijakannya atas asas manfaat ini, memiliki korelasi kuat dengan untung rugi, bukan benar salah, apalagi surga dan neraka. Pun, peralihan kekuasaan tak ubahnya peran pengganti dengan skenario dan alur yang sama. Alhasil, mendamba sejahtera dalam sistem yang sama hanyalah fatamorgana.
Bila Islam Diterapkan
Tahun 2024 masih tercatat sebagai tahun politik dengan berbagai dinamikanya, rakyat dihantui problem kehidupan yang kian mengimpit, demi senyuman penuh saldo dan kebahagiaan segelintir elite. Pun, pergantian rezim yang belum berpihak pada Islam. Ya, dengan penuh kesadaran, tentu kita ingin terlepas dari perangkap sistem fasad dan zalim yang bersembunyi di balik narasi “si paling merakyat”. Wajar, jika kerinduan umat kian menggebu akan hadirnya tatanan kehidupan adil dan sejahtera. Ya, datangnya kembali perisai bagi seluruh umat di dunia, sebuah institusi yang menjalankan sistem pemerintahannya atas mandat Sang Pencipta, yang melahirkan pemimpin ideologis dan terefleksi pada kebijakannya yang humanis, yakni Khilafah.
Bila dianalogikan dalam dunia persepakbolaan, sistem kepemimpinan Islam ibarat seorang keeper bukan striker, yang mana dia menjaga bukan merampas. Ya, pengurus dan penjaga, bukan penyerang dan perampas hak rakyat, hingga melarat. Sebab, Islam melarang keras memalak rakyat dengan rupa-rupa pajak. Sebagaimana Rasulullah saw., bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Abu Daud, “Tidak akan masuk bahkan mencium bau surga bagi pemungut pajak (dengan zalim).”
Dalam Khilafah, anggaran negara tidak diambil dari pajak, melainkan dari beraneka ragam sumber yang telah ditetapkan syarak, yakni berupa jizyah, kharaj, ganimah, usyur, fai, harta orang murtad, harta tanpa ahli waris, dan dharibah (pajak) yang pemungutannya bersifat temporal bukan annual. Artinya, tidak zalim. Selain itu, sistem ekonomi syariah yang tangguh dengan pengelolaan berbagai macam kepemilikan sesuai haknya, dan SDA secara mandiri, sejarah telah mencatat, hanya Khilafah dengan predikat model negara terbaik, yang mengantarkan pada tatanan kehidupan nan adil dan sejahtera.
Views: 45
Comment here